Selasa, 24 Juni 2014

Pengertian Salat




Kata salat adalah bentuk ism masdar  dari s}alla> - yus}alli> - s}ala>h.  Kata salat dari segi bahasa mempunyai arti beragam, yaitu doa, rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada Rasulullah SAW., dan berarti ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud.[1]  Keragaman arti salat di atas adalah berdasarkan dengan fenomena dan konteks yang ada dalam al-Qur’an, yaitu “doa dan ampunan” dalam Q.S. Al-Taubah (9) ayat 103, “berkah” dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 157, sedangkan arti salat sebagai ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskannya.
Beragamnya arti salat di atas dapat dirumuskan menjadi arti salat secara bahasa yaitu suatu doa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan-Nya, mensyukuri nikmat, menolak bencana, atau menegakkan suatu ibadah.[2]
Term salat dalam arti doa dan ampunan telah digunakan sejak zaman Jahiliyyah. Namun demikian, term aqi>mu> al-s}ala>h  menurut Hasbi Ash-Shiddieqy  tidak menunjuk kepada makna yang telah dikenal pada zaman Jahiliyyah itu, tetapi menunjuk kepada yang diistilahkan oleh syariat agama.[3]  Menurutnya, salat berarti berdoa dan memohon kebajikan kepada Allah dan pujian. Namun secara hakekat, salat merupakan upaya berhadap hati (jiwa) kepada Allah dan mendatangkan rasa takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwanya, rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.[4]
Menurut pandangan Ahli Fiqh, salat merupakan ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan taslim, dengan runtutan dan tartib tertentu yang ditetapkan oleh agama Islam.[5]
Menurut Nurcholish Madjid, takbir salat yang dinamakan takbi>rah al-ih}ra>m berarti takbir yang mengharamkam. Setelah seseorang telah melakukan takbir, diharamkan baginya melakukan perbuatan atau tindakan yang di luar ketentuan salat. Seluruh jiwa dan raga terkonsentrasi penuh dan hanya tertuju kepada Allah. Dalam melakukan salat, tidak dibenarkan melakukan hubungan horizontal (h}abl min al-na>s), kecuali dalam keadaan terpaksa. Keadaan ini merupakan bentuk kekhusyukan dan keinsyafan manusia dalam melakukan pengabdian kepada Allah (h}abl min Alla>h) yang merupakan ciri dari salat yang sempurna.[6]
Pembacaan doa iftitah dalam salat menurut Nurcholish, mengandung pengertian bahwa menghadapkan wajah kepada Allah sebagai tanda kepasrahan manusia sebagai hamba, dan berharap agar tidak dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Adapun kegiatan salat yang diakhiri dengan taslim atau salam, mengandung pengertian bahwa keselamatan dan kesejahteraan itu untuk orang banyak, baik yang ada di depan maupun di sekitarnya. Salam pun merupakan pernyataan solidaritas sosial yang mengandung dimensi “kemanusiaan”.[7]
Salat dalam pandangan Nasaruddin Razak, merupakan suatu sistem ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu. Melaksanakan salat adalah fardu ain atas tiap-tiap muslim yang balig (dewasa).[8]  Sedangkan menurut Harun Nasution, dalam salat telah terjadi dialog antara manusia dengan Allah dengan saling berhadapan. Dialog dengan Tuhan ini wajib dilakukan oleh manusia sebanyak lima kali sehari-semalam.[9]
Kewajiban salat memang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, akan tetapi masih bersifat umum. Penjelasan salat secara detail dinyatakan dalam hadis Nabi SAW. Sistem salat yang kita lakukan sekarang adalah sistem salat yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi kepada generasi pertama kemudian diwariskan secara turun temurun tanpa mengalami perubahan dan hingga kini telah berjalan kurang lebih 14 abad. [10]


[1] Majduddi>n Muh{ammad Ya‘qu>b Al-Fairuz Abadi> (selanjutnya disebut Al-Fairuz), Al-Qa>mu>s Al-Muh}i>t}  (Beiru>t: Maktabah al-Buh{u>s wa al-Dira>sah, 1995), hlm. 173.
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 59.
[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, jilid II (Medan: T.B. Islamiyyah, 1952), hlm. 244.
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 3.
[5] Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 20.
[6] Ibid., hlm. 21.
[7] Ibid.
[8] Nasruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1993). hlm. 51
[9] Harun Nasution, op.cit., hlm. 34. 
[10] Casmini, “Keistimewaan Salat Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Agama”, Hisbah, Vol. 1/ No. 1, Januari-Desember 2002, hlm. 82.

CONTOH KATA PENGANTAR SKRIPSI



KATA PENGANTAR
                                          بسم الله الرحمن الرّحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلامضل له ومن يضلل فلا هادي له. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد.
Alhamdulillah, puji syukur yang tak terhingga penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan kasih sayang, rahmat, karunia dan hidayah-Nya, kepada umatNya yang serius dalam urusan dunia dan akhiratnya. Dia tumpuhan harapan dalam menyelesaikan sskripsi ini, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini walau derasnya cobaan dan rintangan yang dihadapi. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah menuntun umatnya dari zaman, perbudakan menuju zaman yang tanpa penindasan, beserta keluarga, sahabat dan umat Islam di seluruh dunia. Amin.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Dari itu penyusun haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.        Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2.        Bapak Prof. Drs. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3.      Bapak Drs. Makhrus, M.Hum selaku mantan  Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
4.        Bapak M. Nur, S.Ag., M.Ag. selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
5.        Bapak Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag. Selaku pembimbing akademik yang selalu memberi nasehat layaknya orang tua kami.
6.        Bapak Drs. Makhrus Munajat, M.Hum. Selaku pembimbing I dan Bapak Drs. H. Kamsi. MA. Selaku Pembimbing II yang dengan ikhlas mengarahkan dan membimbing penyusun dalam penulisan maupun penyelesaian skripsi ini.
7.        Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SUKA, beserta guru-guruku baik yang formal atau tidak, terima kasih atas segalanya.
8.        Semua pihak yang  berjasa dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Atas semua bantuan yang telah diberikan, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga kita semua oleh Allah senantiasa diberi sehat selamat jasmani rohani dari segala penyakit dan musibah, lancar urusan, banyak dapat rizki yang halal, baik yang datangnya tidak disangka-sangka, tercapai segala apa yang dicita-citakan dan inginkan, lulus dalam segala ujian, diberi kekayaan baik harta, ilmu dan pangkat yang tinggi serta sukses dunia akhirat. Semoga Allah mengabulkan. AminYa Rabbal ‘alamin.
Akhir kata, penyusun  sadar sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif dari pembaca tetap penyusun harapkan demi perbaikan dan sebagai bekal pengetahuan dalam penyusunan-penyusunan berikutnya. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua, khususnya bagi penyusun pribadi, Amin.

                       Yogyakarta,                    2011
Penyusun

               
Ari arkanudin
    NIM. 07370019

































Jumat, 06 Juni 2014

PENGERTIAN LEMBAGA YUDIKATIF DALAM ISLAM



Lembaga yudikatif
Lembaga yang dalam terminologi hukum Islam dikenal sebagai Qada ini memiliki wewenang sebagai pemutus berbagai perkara dan perselisihan yang timbul di kalangan rakyat.50
Dalam hubungannya dengan al-Qur`an surat an-Nisa ayat 59, al-Maududi melumrahkan seseorang untuk saling berbeda pendapat dengan pemimpin mereka. Dalam keadaan semacam ini, putusan yang berdasar al-Qur`an dan as-Sunnah haruslah diterima sebagai putusan final baik oleh rakyat maupun penguasa itu sendiri. Implikasinya adalah bahwa harus ada suatu lembaga yang khusus menangani atau memutuskan pertikaian ini berdasarkan hukum Islam. Namun syari`ah tidak menggariskan bentuk lembaga ini secara pasti. Lembaga tempat penampungan wewenang ini dapat saja berbentuk lembaga kaum ulama ataupun yang disebut sebagai Mahkamah Agung.51
Semua pengadilan yang lebih rendah harus secara yudisial dan administratif berada di bawah Mahkamah Agung. Penunjukkan, pemecatan, penahanan, penaikan pangkat, pemberhentian dan pemindahan para hakim dan pejabat-pejabat pengadilan yang lebih rendah lainnya haruslah sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Agung.52




50 Al-Maududi, Islamic Law, hlm. 224.

51 Ibid., hlm. 266.

52  Ibid., hlm. 319.

PENGERTIAN LEMBAGA EKSEKUTIF DALAM ISLAM



Lembaga eksekutif
Menurut al-Maududi, lembaga eksekutif dalam Islam dinyatakan dengan istilah ul al-amr dan dikepalai oleh seorang Amir atau Khalifah.39 Berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah, umat Islam diperintahkan untuk mentaatinya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran.40 Al-Maududi mendasarkannya pada firman Allah swt dalam al-Qur`an:41
...ولاتطع من أغفلناقلبه عن ذكرناواتّبع هواه وكان أمره فرطا
Juga firman-Nya dalam surat asy-Syu`arā:42
ولاتطيعواأمرالمسرفين الّذين يفسدون فىالأرض ولايصلحون
Dan beberapa Hadis seperti:
لاطاعة في معصية الله إنّماالطّاعة فىالمعروف43
Dengan mengutip sebagian pidato Abu Bakar sesaat setelah dibai`at sebagai Kha-lifah dari riwayat Hussain Haykal, al-Maududi menyatakannya sebagai isi sumpah umum yang harus diucapkan oleh seorang Kepala Negara Islam.44
Dalam suatu negara Islam, pemilihan Kepala Negara harus dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum muslimin tanpa adnya pemaksaan, ancaman atau kekerasan;45 dan tidak ada satu klan atau satu kelompok pun yang memonopoli jabatan ini. Tentang mekanisme lebih rinci mengenai pemilihan ini haruslah disesuaikan dengan tempat dan kondisi suatu negara karena metode-metode ini dirancang hanya untuk menentukan siapa yang paling dipercaya oleh umat dari suatu bangsa.46
Dalam kaitannya dengan hadis mengenai khalifah harus dari suku Qura-isy,47 al-Maududi menjelaskan bahwa hal ini bukanlah berarti hak kekhalifahan hanya untuk satu suku saja yakni Quraisy, tapi sebabnya adalah kondisi masa itu yang mengharuskan diisinya jabatan khalifah hanya oleh seorang dari suku Qura-isy sebagai suku yang memiliki sifat-sifat khusus dalam mencegah timbulnya per-selisihan. Rasulullah saw sendiri ketika menasehati agar jabatan khalifah berada di tangan suku Quraisy juga menjelaskan bahwa jabatan ini tetap berada dikalangan mereka selama masih ada sifat-sifat khusus pada diri mereka. Maka secara otomatis jabatan khalifah ini akan berada di luar lingkungan Quraisy apabila telah tiada lagi sifat-sifat tersebut.48 Uraian ini dan uraian serupa al-Maududi dalam bukunya yang lain telah memaparkan dengan jelas bagaimana sikap al-Maududi dalam kaitannya dengan hadis kekhalifahan suku Quraisy tersebut.49


39 Ibid., hlm. 223. Menurut penulis, istilah ul al-amr tidaklah hanya terbatas untuk lembaga eksekutif saja melainkan juga untuk lembaga legislatif, yudikatif dan untuk kalangan dalam arti yang lebih luas lagi. Namun dikarenakan praktek pemerintahan Islam tidak menyebut istilah khusus untuk badan-badan di bawah kepala negara yang bertugas meng-execute ketentuan perundang-undangaaan seperti Diwan al-Kharāj (Dewan Pajak), Diwan al-Ahda(Kepolisian), wali untuk setiap wilayah, sekretaris, pekerjaan umum, Diwan al-Jund (militer), sahib al-bait al-māl (pejabat keuangan), dan sebagainya yang nota bene telah terstruktur dengam jelas sejak masa kekhilafahan Umar bin Khattab; maka untuk hal ini istilah ul al-amr mangalami penyempitan makna untuk mewakili lembaga-lembaga yang hanya berfungsi sebagai eksekutif. Sedang untuk Kepala Negara, al-Maududi menyebutnya sebagai Amir dan dikesempatan lain sebagai Khalifah.

40 Ibid.

41 Al-Kahfi (18): 28.
42 Asy-Syu`arā (26): 151-152.

43 Muslim, Sahˉih Muslim bi Syarh an-Nawawiy (Ttp.: Dār al-Fikr, 1983), XII: 226-227, “Kitāb al-Imārah,” “Bāb Wujūb Tā`ah al Umarā` fˉi gair Ma`siyah.” Hadis dari Muhammad Ibn al-Musannā dari Muhammad Ibn Ja`far dari Syu`bah dari Zubaid dari Sa`d Ibn `Ubaidah dari Abū `abd al-Rahmān dari `Aliy Ibn Abū Tālib. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Bukhārˉi, Abū Dāwud, an-Nasā`i, Ahmad Ibn Hanbal, dll. Lihat: Abū Hājar Muhammad as-Sa`ˉid Ibn Basyūnˉi Zaglūl, Mausū`ah Atrāf al-Hadˉisׂan-Nabawiy asy-Syarˉif (Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.t.), VII: 256.

44 Isi sumpah itu kurang lebih berbunyi: “Bantulah aku sepanjang aku bertindak dengan benar; tetapi jika aku menyimpang, luruskanlah jalanku. Taatilah aku sepanjang aku taat pada Allah dan Rasul-Nya, tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka tak seorangpun wajib mentaatiku.” Al-Maududi, Islamic Law, hlm. 241.
45 Ibid., hlm. 235. Pernyataannya ini oleh al-Maududi didasarkan pada praktek al-Khulafa ar-Rasyidūn yang tidak mengangkat khalifah kecuali melalui musyawarah terbuka (pengangkatan Abu Bakar); konsultasi Khalifah dengan para sahabat terkemuka yang merupakan perwakilan dari kaum muslimin sebagai hasil dari seleksi alamiah seperti dijelaskan sebelumnya yang kemudian disepakati massa (pengangkatan Umar); pembentukan dewan yang terdiri dari enam orang sahabat yang ditugaskan memilih Khalifah selanjutnya dari kalangan mereka dengan persetujuan kaum muslimin (pengangkatan Usman); dan desakan dari para sahabat senior kepada Ali untuk menduduki jabatan Khalifah yang diikuti dengan bersedianya Ali dan persetujuan dari mayoritas muslim. Lihat: Ibid., hlm. 232-234.

46 Ibid., hlm. 235.

47 Hadis ini tersedia dalam beberapa redaksi atau lafaz. Salah satunya seperti:
الأئمّة من قريش. Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal wa bihā misyih mutakhab kunuz al-`Ummāl fˉi sunan al-Aqwāl wa al-Af`āl (Beirut: Dār as-Sādr, t.t.), III: 129. Hadis dari `Abdullāh dari ayahnya dari Muhammad Ibn Ja`far dari Syu`bah dari `Aliy Abˉi al-Asad dari Bakˉir Ibn Wahb al-Jaziriy dari Anas Ibn Mālik. Hadis yang semakna diriwayatkan juga oleh Bukhārˉi, Muslim dan ad-Dārimˉi. Lihat: A. J. Wensinck, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfāz  al-Hadˉisׂan-Nabawiy (Leiden: Brill, 1936), I: 101.

48 Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 322-323. Masih mengenai kaitan hadis ini dengan pernyataannya bahwa tak ada satu kelompok pun yang memonopoli jabatan khalifah, al-Maududi juga telah membahasnya dalam bukunya Rasa`il wa Masa`il, vol. I, hlm. 76, cet. ke-3, Lahore. Lihat: Al-Maududi, Islamic Law, hlm. 235 (footnote no. 2). 

49 Kritik balik untuk Munawir Sjadzali dengan pernyataannya, “...Cukup menarik bahwa al-Maududi diam tentang hadis yang mengharuskan Kepala Negara dari suku Quraisy.” Lihat: Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 176.