Jumat, 11 Mei 2018

Bank Syariah

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara antara satuan-satuan kelompok masyarakat/unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (Surplus Unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan Dana (deficit unit). Melalui bank, kelebihan dana-dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank berbasis bunga melaksanakan peran tersebut melalui kegiatannya sebagai peminjaman dan pemberi pinjaman yang disebuat dengan hubungan antara kreditur dengan debitur. Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara bank syari’ah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahibul maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu, tingkat laba bank syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham tetapi juga berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada nasabah penyimpanan dana. Dengan demikian kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha, pengelola investasi yang baik akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuannya menghasilkan dana.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber-sumber Dana Bank Syari’ah
 Pertumbuhan setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan  kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, masalah bank yang paling utama adalah dana. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata lain bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.
dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank da¬lam bentuk tunai, atau aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank tidak hanya berasal dari para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga berasal dari titipan atau penyertaan dana orang lain atau pihak lain yang sewaktu-¬waktu atau pada suatu saat tertentu akan ditarik kembali, baik sekali¬gus ataupun secara berangsur-angsur.
DALAM PANDANGAN SYARIAH UANG, BUKANLAH MERUPAKAN SUATU KOMODITI RNELAINKAN HANYA MERUPAKAN ALAT UNTUK MENCAPAI PER¬TAMBAHAN NILAI EKONOMIS
SUMBER DANA BANK SYARI’AH TERDIRI DARI:
 1.  MODAL INTI (CORE CAPITAL)
MODAL INTI ADALAH DANA MODAL SENDIRI, YAITU DANA YANG BERASAL DARI PARA PEMEGANG SAHAM BANK, YAKNI PEMILIK BANK. PADA UMUMNYA DANA MODAL INTI TERDIRI DARI:
•MODAL YANG YANG DISETOR OLEH PARA PEMEGANG SAHAM, SUMBER UTAMA DARI MODAL PERUSAHAAN ADALAH SAHAM.
•CADANGAN, YAITU SEBAGIAN LABA BANK YANG TIDAK DIBAGI, YANG DISISIHKAN UNTUK MENUTUP TIMBULNYA RISIKO KERUGIAN DI KEMUDIAN HARI.
•LABA DITAHAN, YAITU SEBAGIAN LABA YANG SEHARUSNYA DIBAGIKAN KEPADA PARA PEMEGANG SAHAM, TETAPI OLEH PARA PEMEGANG SAHAM SENDIRI (MELALUI RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM) DIPUTUSKAN UNTUK DITANAM KEMBALI DALAM BANK.
 2.  KUASA EKUITAS (MUDHARABAH ACCOUNT)
BANK MENGHIMPUN DANA BAGI-HASIL ATAS DASAR PRINSIP MUDHARABAH, YAITU AKAD KERJA SAMA ANTARA PEMILIK DANA (SHAHIBUL MAAL) DENGAN PENGUSAHA (MUDHARIB) UNTUK MELAKUKAN SUATU USAHA BERSAMA, DAN PEMILIK DANA TIDAK BOLEH MENCAMPURI PENGOLAHAN BISNIS SEHARI-HARI. KEUNTUNGAN YANG DIPEROLEH DIBAGI ANTARA KEDUANYA DENGAN PERBANDINGAN (NISBAH) YANG TELAH DISEPAKATI SEBELUMNYA. KERGUIAN FINANCIAL MENJADI BEBAN PEMILIK DANA, SEDANGKAN PENGELOLA TIDAK MEMPEROLEH IMBALAN ATAS USAHA YANG DILAKUKAN.
Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan jasa bagi para investor berupa:
•Rekening investasi umum, di mana bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah
•Rekening investasi khusus, di mana bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu yang mereka setujui atau mereka kehendaki.
•Rekening Tabungan Mudharabah; prinsip mudharabah juga digunakan untuk jasa pengelolaan rekening tabungan.
 3.  Dana Titipan (Wadi’ah/non Remunerated Deposit)
 Dana titipan adalah dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank,  yang umumnya berupa giro atau tabungan. Pada umumnya motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya sewaktu-waktu.
•Rekening Giro Wadi’ah
 Bank Islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk  rekening wadi'ah. Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadi'ah yad dhamanah.
•Rekening Tabungan Wadi’ah
 Prinsip wadi'ah yad dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat-keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali
B. Penggunaan Dana Bank
 Alokasi penggunaan dana bank Syariah pada dasarnya dapat di- bagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank, yaitu:
 1.  EARNING ASSETS ADALAH BERUPA INVESTASI DALAM BENTUK:
 a.  Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah);
 b.  Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (Musyarakah);
 c.  Pembiayaan berdasarkan prinsip jual-beli (Al Bai');
 d.  Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (Ijarah)
 e.  Surat-surat berharga Syariah
 2.  Non Earning Assets terdiri dari:
 a.  Aktiva dalam bentuk tunai (cash assets).
 b.  Pinjaman (qard)
 c.  Penanaman dana dalam aktiva tetap dan inventaris (premises and equipment)
C. Sumber dan Alokasi Pendapatan
 1.  Sumber pendapatan bank syariah
Sumber pendapatan bank syariah terdiri dari:
 a.  Bagi hasil atas kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah
 b.  Keuntungan atas kontrak jual-beli (al bai’)
 c.  Hasil sewa atas kontrak ijarah dan ijarah wa iqtina dan
 d.  Fee dan biaya administrasi atas jasa-jasa lainnya.
 2.  Pembagian keuntungan (profit distribution)
 Berdasarkan kesepakatan mengenai nisbah bagi hasil antara bank dengan para nasabah tersebut, bank akan mengalokasikan penghasil¬annya dengan tahap-tahap sebagai berikut:
 (a)  Tahap pertama, bank menetapkan jumlah relatif masing-masing dana simpanan yang berhak atas bagi-hasil usaha bank menurut tipenya, dengan cara membagi setiap tipe dana-dana dengan selu¬ruh jumlah dana-dana yang ada pada bank dikalikan 100% (sera¬tus persen);
 (B)  TAHAP KEDUA, BANK MENETAPKAN JUMLAH PENDAPATAN BAGI-HASIL UNTUK MASING-MASING TIPE DENGAN CARA MENGALIKAN PERSENTASE (JUMLAH RELATIF) DARI MASING-MASING DANA SIMPANAN PADA HURUF A DENGAN JUMLAH PENDAPATAN BANK;
 (c)  Tahap ketiga, bank menetapkan porsi bagi-hasil untuk masing-¬masing tipe dana simpanan sesuai dengan nisbah yang diperjanji¬kan;
 (d)  Tahap keempat, bank harus menghitung jumlah relatif biaya operasional terhadap volume dana, kemudian mendistribusikan beban tersebut sesuai dengan porsi dana dari masing-masing tipe simpanan.
 (e)  Tahap kelima, bank mendistribusikan bagi-hasil untuk setiap pemegang rekening menurut tipe simpanannya sebanding dengan jumlah simpanannya.
 3.  Revenue Sharing
 Berdasarkan asumsi bahwa para nasabah belum terbiasa meneri¬ ma kondisi berbagi hasil dan berbagi risiko, maka sebagian bank Svariah di Indonesia saat ini menempuh pola pendistribusian pendapatan (revenue sharing), di samping untuk menerapkan profit sharing bank harus secara terinci menmaparkan biaya-biaya operasional yang dibebankan kepada para pemilik dana.[1]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara umum, terdapat delapan jenis risiko yang dikandung oleh produk-produk perbankan syariah. Risiko-risiko tersebut antara lain:
1. Risiko Pembiayaan, yaitu risiko yang timbul akibat debitur gagal memenuhi kewajibannya.
2. Risiko Pasar, yaitu risiko yang timbul akibat adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki bank yang dapat merugikan bank.
3. Risiko Likuiditas, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo.
4. Risiko Operasional, yaitu risiko yang terjadi karena tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank;
5. Risiko Hukum, yaitu risiko yang timbul yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan hukum, lemahnya regulasi, ataupun kelemahan dalam pengikatan.
6. Risiko Reputasi, yaitu risiko yang disebabkan karena adanya publikasi negatif atau persepsi negatif terhadap bank;
7. Risiko Strategik, yakni risiko yang timbul karena pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat, atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal;
8. Risiko Kepatuhan, yakni risiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dipetakan terhadap produk-produk perbankan syariah maka risiko-risiko yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1. Tabungan: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
2. Deposito: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
3. Giro: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
4. Pembiayaan Murabahah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum
5. Salam: Risiko Pembiayaan dan Risiko Operasional
6. Rahn: Risiko Operasional dan Risiko Pasar
7. Ishtisna: Risiko Pembiayaan dan Risiko Operasional
8. Pembiayaan Mudharabah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum
9. Pembiayaan Musyarakah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum
Adanya risiko-risiko bagi bank tersebut bukan berarti bahwa produk tersebut tidak aman (unsecured). Bank Syariah sudah pasti telah memperhitungkan risiko-risiko ini sebelum produk tersebut disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat tidak perlu khawatir pula, karena dalam pelaksanaan operasionalnya, seluruh bank syariah diawasi. Lembaga-lembaga pengawasan yang memastikan setiap bank syariah dapat mengendalikan risiko dengan baik antara lain Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2003.
Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006. (Edisi revisi)
Muhammad, Bank Syariah, Yogyakarta, Ekonisia, 2002.
Posted by: Husnul Khotimah, Maria Ulfah, Miftahurrahman, Mila Andriyani



[1] Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2003).

[2] Muhammad, Bank Syariah, (Yogyakarta, Ekonisia, 2002).

[3] Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2003). Edisi revisi.

Jumat, 04 Juli 2014

Riwayat Hidup Dan Latar Belakang Pendidikan Emile Durkheim




Emile Durkheim lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Dia hidup dalam keluarga Yahudi yang taat. Ayahnya adalah seorang rabbi atau pendeta Yahudi, begitu pula kakeknya.[1] Ibunya adalah wanita sederhana, ahli sulam-menyulam. Kalau mengikuti kebiasaan tradisional, seharusnya Durkheim sudah menjadi seorang rabbi.
Namun Durkheim ternyata menyimpang dari kebiasaan ini, salah satunya mungkin disebabkan suatu pengalaman mistik yang dijalaninya. Bahkan karena pengaruh seorang guru wanita beragama katolik, ia memeluk agama Katolik. Pada akhirnya ia justru beralih menjadi seorang agnostic, seorang yang menangguhkan eksistensi Tuhan. Durkheim adalah seorang yang aktif dan patriotis. Dalam berkecamuknya perang tenaganya digunakan untuk mengobarkan semangat patriotisme membela negara. Bahkan perang juga merenggut nyawa anak tunggalnya Andre. Akibat terserang sakit jantung dan kehilangan putra tercintanya, Ia menemui ajal saat menjelang usia 60 tahun tahun 1917 di Fontaineblau.


[1] Doyle Paul Johnson, Teori  Sosiologi klasik dan modern I, terj. Robert MZ Lawang : (Jakarta, Gramedia Cet. Ketiga,1994)  Hal. 167

Karya-Karya Ilmiah Imam al-Ghazali




Imam al-Ghazali  adalah seorang penulis yang produktif, ia meninggalkan kita warisan keilmuan yang tiada tara harganya. Disebutkan, ia menyusun kurang lebih 228 karya. Karya-karyanya tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu terutama dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan sejarah.[1])
Adapun karya-karya Imam Al-Ghazali yang telah ditulisnya dalam berbagai disiplin ilmu antara lain:
1) Bidang Akhlak dan Tasawuf
a)      Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama)
b)      Minhaj al-‘Abidin (Jalan Orang-orang Yang Beribadah)
c)      Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)
d)     Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan)
e)      Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak Orang-orang yang Baik dan Keselamatan dari Kejahatan)
f)       Misykah al-Anwar (Sumber Cahaya)
g)      Asrar ‘Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama)
h)      Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang Megah dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat)
i)        Al-Qurbah ila Allah ‘Azza wa Jalla (Mendekatkan Diri kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung)
j)        Adab al-Sufiyah.
k)      Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku)
l)        Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaan)
m)    Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang Soal-soal Batin)
Bidang Fiqh
a)      Al-Basit (Yang Sederhana)
b)      Al-Wasit (Yang Pertengahan)
c)      Al-Wajiz (Yang Ringkas)
d)     Al-Zari’ah ila Makarim al-Syari’ah (Jalan Menuju Syari’at yang Mulia)
e)      Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (Batang Logam Mulia: Uraian tentang Nasihat kepada Para Raja)
3) Bidang Ushul Fiqh
a)      Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (Pilihan yang Tersaring dari Noda-noda Ushul Fiqh)
b)     Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil (Obat Orang yang Dengki: Penjelasan tentang Hal-hal yang Samar serta Cara-cara Pengilhatan)
c)      Tahzib al-Ushul (Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh)
d)      Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh)
e)       Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i.
f)       Kitab Asas al-Qiyas.
4) Bidang Filsafat dan Logika
a)      Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf)
b)     Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf)
c)      Mizan al-‘Amal (Timbangan Amal)
d)      Mi’yar al-‘Ilm fi al-Mantiq.

5) Bidang Teologi dan Ilmu Kalam

a)       Al-Iqtisad fi al-I’tiqad (Kesederhanaan dalam Beritikad)
b)      Fais}al at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara Islam dan Kezindikan)
c)      Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang Lurus)
d)      Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.

6) Bidang Ilmu al-Qur’an

a)      Jawahir al-Qur’an (Mutiara-Mutiara al-Qur’an)
b)     Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata Takwil dalam Menafsirkan al-Qur’an).[2]) 

7) Bidang Politik

a)       Al-Mustazhiri, nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan Pemerintah Mustazhir yang Legal)
b)      Fatihat al-‘Ulum (Pembuka Pengetahuan)
c)Suluk as-Sulthaniyah (Cara Menjalankan Pemerintahan).[3])


[1]) Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, hal. 533.
[2]) Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 406. John L. Esposito, Op.Cit, hal. 113. Hasan Ibrahim Hasan,Op. Cit, hal.533-536.
[3]) Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit, hal. 74-86.

Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali




Kehidupan pemikiran periode al-Ghazali  dipenuhi dengan munculnya berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran, disamping munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali . Di antaranya Abu ‘Abdillah al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430 H.) ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di Spanyol, al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh Asy’arisme, dan Hasan as-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah.
Al-Ghazali  menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya  menjadi empat aliran populer, yaitu Mutakallimun, para filosof, al-Ta’lim dan para sufi.[1] Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan al-dzauq (intuisi).
Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali  yang semula memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi – Bisa dilihat dari karya-karyanya sebelum penyerangannya terhadap Filsafat – mengalami keraguan (syak). Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi idealnya, kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab menurut Hadits nabi “ Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya, yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orangtuanya.[2] Oleh karenanya ia mencari hakekat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali  menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakini kebenarannya.
Bertolak dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, al-Ghazali  menduga bahwa kebenaran hakikat diperoleh dari yang  tergolong al-hisriyat (inderawi) dan al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan aksiomatis).[3] Sebab kedua pengetahuan ini bukan berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya. Ketika ia mengujinya kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan bersalah. Kepercayaan al-Ghazali  terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal.  Seperti pengetahuan aksiomatis yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (Fardhi)  saja, dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual.
Al-Ghazali  kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional. Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi, bahwa pada situasi-situasi tertentu (akhwal ) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mati.[4] Al-Ghazali  menyimpulkan ada situasi normal dimana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan intelektual al-Ghazali  berakhir pada wilayah tasawuf dimana ia meyakini al- dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh melalui nur yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati manusia.[5]
Namun demikian pandangan al-Ghazali  yang bernuansa moral juga tidak terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat kaitannya dengan pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat, al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya,  terutama Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Maskawaih. Definisi jiwa (al-nafs) yang ditulisnya dalam kitab Maarijal Quds dan pembagiannya dalam  jiwa vegetatif, jiwa sensitif, dan jiwa manusia hampir tidak berbeda dengan yang ditulis Ibnu Sina dalam bukunya Al Najal.[6] Kesimpulan ini didukung oleh pernyataannya sendiri  dalam kitab Tahafut al-  Falasifat bahwa yang dipercaya dalam menukil dan mentashkik filsafat Yunani adalah al-Farabi dan Ibnu Sina.


[1] Al-Ghazali, al Munqidz minal Dhalal, (Kairo: Silsifat al Tsaqofat al Islamiyah, 1961) hal. 13
[2] Ibid, hal. 7
[3] Ibid,
[4] Ibid, hal.10-11
[5] Ibid,
[6] Sulaiman Dunia, Al Haqiqat Fi Nazli Ulum Al Ijtimaiyat (Kairo: Daar al Ma’arif 1971) hal. 260