Selasa, 29 Januari 2013

Fiqh (Pembahasan Zina)

Bab I
PENDAHULUAN
Di era globalisasi ini, banyak orang-orang yang potomg kompas begitu saja. Mereka tidak ingin bekerja keras dan berusaha untuk suatu kebutuhan hidupnya. Banyak yang beranggapan bahwa “mencari yang haram saja susah setengah mati, apalagi yang halal”. Stetemen seperti ini tentunya bukan Cuma asal ada atau muncul begitu saja tetapi ini berdasarkan fakta dilapangan yang faktornya kalau boleh pemakalah sajikan dalam makalah ini adalah karena sultinya lapangan kerja dengan kata lain sulitnya ekonomi. Apa korelasinya stetemen di atas dengan judul makalah? Yaitu satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan adalah dengan menjual diri baik dari kaum perempuan maupun laki-laki. Padahal al-Qur’an dan hadits sangat antusias dengan perbuatan ini. Dalam ilmu fikih dikenal “hifdzul nasl”. Sehingga zina (pelacuran) ada di urutan ke dua setelah pembunuhan.

semoga makalah ini bisa sedikit menyumbang keilmuan teman-teman mahasiswa. Dan pemakalah sangat berharap saran dan kritikannya untuk membangun keintelektualan pemekalah karena pemakalah sadar akan kekurangan dan kehilafan.














Bab II
Pokok Masalah

a.    Tinjauan Dari Agama
Agama adalah suatu ajaran yang menjadi pedoman bagi pemeluknya untuk menjalankan kehidupan. Dalam gerak gerik pola hidup orang, agama sangat berperan penting untuk membimbing ke jalan yang benar. Agama sudah menyajikan langkah-langkah atau aturan-aturan yang mana seseorang bisa memilihnya. Ada yang bersifat wajib, haram, sunah,  makruh, dan mubah. Di sinilah letak pentingnya agama. Manusia tidak akan tentram hidupnya tanpa adanya agama.
Agama sudah memberi rambu-rambu terhadap perbuatan-perbuatan yang di anggap hina. Semisal : pembunuhan, zina, qazf, sariqah, hirabah, al-bagyu (pemberontakan), minum khamr, dan riddah. Dalam kesempatan ini kita fokus pada masalah zina. Yang bahasa populernya adalah pelacuran. Banyak perempuan mulai dari gadis (ABG) sampai tante-tante adalah berprofesi sebagai pelacur. Setelah ditelusuri kebanyak mereka melakukan hal yang demikian di sebabkan bukan hanya karna ekonomi tetapi masalah dalam rumah tangga dan kurangnya pendekatan agama. tidak sedikit dari mereka yang dari kalangan menengah keatas. Mereka banyak mencari kepuasan kenikmatan semata. Mereka ingin menghibur diri atau menghilangkan sters yang di alami dalam rumah tangganya. Nah. Kalau kita lihat pernyataan diatas, kita bisa menarik kesilmpulan bahwa factor utama kenapa mereka berprofesi sebagai pelacur adalah karna minilnya pengetahuan ajaran agama. seandainya agama benar-benar dijadikan satu-satu jalan untuk keluar dari belenggu setan, insyaallah hal yang demikian tiudak akan pernah ada. Suatu contoh yang tidak asing lagi dalam telinga kita adalah pejabat-pejabat, konglomerat-konglomerat bahkan sopir-sopir truk banyak membeli jasa kehormatan. Ini sudah membuktikan bahwa factor utama adalah minimnya pengetahuan tantang ajaran agama.




b.    Tinjauan Dari Ekonomi
Ekonomi adalah alat untuk mendapatkan semua apa yang kita inginkan. Meski tidak semua nya dengan ekonomi. Tapi ekonomi sangatlah penting bagi kelangsungan kehidupan. Pengalaman yang tidak pernah kita lupakan sebagai kenangan yang suram yaitu pada tahun 1998. Presedin yang dictator dan otoriter. Tapi bapak ekonomi itu bisa di tumbangkan tidak lain karena krisis ekonomi. Kalau kita lihat zaman sekarang hususnya di Indonesia, sangat sulit dapat pekerjaan, minimnya SDM itu semua karena perekonomian Negara kita sangat rendah. Dan inilah yang menjadi pemicu utama kenapa orang-orang yang tidak segan lagi menjual harga dirinya lebih ironisnya lagi menjual anaknya sendiri. Inilah tugas kita hususnya pemerintah setidaknya meminimalisir kemungkaran (pelacuran, perdagangan manusia). Bahkan Negara kita ini dapat predikat ke tiga setelah Amerika dan Meksiko dalam pelacuran (dolli). Memang profesi sebagai PSK/GIGOLO dapat mendapatkan uang dengan sekejap bahkan samapai ratusan juta dalam semalam, tapi itu sifatnya hanya semantara.

c.    Tinjauan dari social.
Social adalah  sekumpulan individu-individu yang menjadi satu elemen yang satu dengan yang lain saling membutuhkan. Dalam masyarakat ada aturan yang tertulis dan tidak tertulis. Aturan yang tidak tertulis adalah aturan dari masyarakat yang ada dalam hati nurani merek masing-masing, yang apabila satu di antara mereka melakukan hal yang tidak pantas dalam kehidupan bermasyarakat maka akan dikucilkan dan hidupnya terhina dalam mata masyarakat.
Pelacuran adalah aha yang hina dan sacral dalam kehidupan social. Oleh karenanya masyarakat tidak sudi di tengah-tengah mereka ada yang melakukan hal demikian. Biasanya orang akan melarikan dirinya ke dunia pelacuran tersebut karena dalam kehidupannya di diskriminasi oleh lingukungannya. Tidak mendapat perhatian dalam sebuah kehidupan.

d.    Tinjauan Dari Ilmu Kedokteran
Gonta ganti pasangan atau hubungan sek itu sangatlah berakibat fatal untuk kesehatan. Ilmu kedoteran (yang spesialis) tidak menemukan sampai sekarang obat HIV/AIDS. Ini penyakit yang super ganas. Mematikan perlahan-lahan tapi pasti. Dokter-dokter sudah lama melakukan resech untuk mencari obat penyakit tersebut tapi tidak membuahkan hasil sepersenpun. Oleh karena itu, kedokteran menghimbau pada seluruh masyarakat untuk menjauhkan gontaganti hubungan (pelacuran).


Baba III
PEMBAHASAN ZINA
a.    Definisi Zina
Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat. Dalam kitab al bajuri zina adalah hubungan jenis kelamin (masuknya kelamin baik semua maupun hanya helmnya dalam farji) antara perempuan dan laki-laki. Kalau hubungannya sudah nikah maka disebut zina muhshon. Tapi kalau belum nikah maka disebut ghiru muhshon.
Dan masih bayak definisi yang lainnya.

b.    Sumber-Sumber Hukumnya
Nash-nash tentang hukuman zina secara tegas dan jelqas dinyatakan dalam al-Qur’an dan As-Sunah. Dalam al-Qur’an :
         
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (QS.Al-Isra’:32)

Dalam hadis disebutkan yang artinya :
Dari Ubadah ibn Ash-Shamit ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw. Ambillah dari padaku, ambillah daripadaku, sesungguhnya allah tealh memberikan jalan keluar (hukuman) untuk mereka (para pezina). Perjaka dan gadis hukumannya hukuman dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, dan yang janda dan duda hukumannya dera seratus kali dan rajam (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Nisa’i)

Dalam hokum positif disebutkan pada pasal 281-303 tentang tindak pidana terhadap kesusilaan
“(1) di ancam dengan pidana paling lama sembilan bulan :
Ke-1 a. seseorang pria telah menikah yan gmelakukan zina, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya:
          b. seorang wanita telah menikah yang melakukan zina:
“barang siapa dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, di ancam karena melakukan perkosaan dengan pidana paling lama dua belas tahun.

c.    Macam-Macam Hukuman
  Delik perzinaan  ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan) didasarkan pada ayat al-Qur’an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu.  Sedangkan menurut istilah, rajam adalah melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya.  Adapun dasar hukum dera atau cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِيْنِ اللهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَلْيَشْــهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu dalam  menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah  hadis Nabi:
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam.
Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi yang amat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Kenapa zina diancam dengan hukuman berat. Hal ini disebabkan karena perbuatan zina sangat dicela oleh Islam dan pelakunya dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal dengan disaksikan orang banyak), jika ia muhsan. Jika ia ghairu muhsan, maka  dihukum cambuk 100 kali. Adanya perbedaan hukuman tersebut karena muhsan seharusnya bisa lebih menjaga diri untuk melakukan perbuatan tercela itu, apalagi kalau masih dalam ikatan perkawinan yang berarti menyakiti dan mencemarkan nama baik keluarganya, sementara ghairu muhsan belum pernah menikah sehingga nafsu syahwatnya lebih besar karena didorong rasa keingintahuannya. Namun keduanya tetap sangat dicela oleh Islam dan tidak boleh diberi belas kasihan, sebagaimana firman Allah:
وَلاَ تَأْخُذْ كُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ
Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan Islam zina, merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara umum. Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia akan hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu pelaku zina berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk menikah.
Hukuman delik perzinaan yang menjadi perdebatan di kalangan umat Islam adalah hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam, sekalipun bersumber pada khabar ahad. Sementara golongan Khawarij, Mu’tazilah  dan sebagian fuqaha Syiah menyatakan, sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk).  Adapun alasan mereka yang menolak hukum rajam adalah:
1.    Hukum rajam dianggap paling berat di antara hukum yang ada     dalam Islam namun tidak ditetapkan dalam al-Qur`an. Seandainya     Allah melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara     definitif dalam nas.
2.    Hukuman bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka, kalau     hukum rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada hukuman     separoh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga     Nabi dengan sanksi dua kali lipat Apakah ada dua kali hukuman     mati. Secara jelas ayat yang menolak adalah surat an-Nisa ayat 25:
...فَإِذَا اُحْـصِنَّ فَإِنْ أَتَــيْنَا بِــفَاحِـشَةٍ فَـعَلَيْـهِنَّ نِـصْفُ مَــا عَلَى الْمُحْصَـنَـاتِ مِنَ الْعَــذَابِ...
… jika para budak yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separoh dari wanita merdeka …
Ayat di atas menunjukan bahwa hukum rajam tidak dapat dibagi dua, maka hukum yang logis diterapkan adalah hukum dera 100 kali. Jika pelakunya budak, maka berdasarkan ketentuan surat an-Nisa ayat 25 adalah separoh, yakni lima puluh kali. Demikian halnya dengan ketentuan surat al-Ahzab ayat 30.
يَانِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَاالْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ...
Hai istri-istri Nabi jika di antara kalian terbukti melakukan perbuatan keji (zina), maka dilipatgandakan sanksinya yaitu dua kali lipat…
Ayat di atas menggambarkan bahwa  hukum rajam tidak dapat dilipatgandakan, yakni dua kali lipat. Jika diberlakukan hukum dera 100 kali maka dua kali lipatnya adalah 200 kali.
3.    Hukum dera yang tertera dalam surat an-Nur ayat 2 berlaku     umum, yakni pezina muhsan dan ghairu muhsan. Sementara hadis     Nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah.
Masih dalam aliran ini, Izzudin bin Abd as-Salam sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, menyatakan bahwa hukum rajam dengan argumnetasi seluruh materi yang bersifat tradisional bersifat non reiable, di samping tidak ditegaskan dalam al-Qur`an juga warisan sejarah orang-orang Yahudi. 
Sementara Anwar Haryono menyatakan, bahwa hukum rajam pertama kali diterapkan dalam sejarah Islam terhadap orang Yahudi dengan mendasarkan kitab mereka, yakni Taurat. Kejadian itu kemudian menjadi rujukan hukum, artinya siapa saja yang berzina dirajam.  Demikian halnya dengan pendapat Hasbi ash-Shiddieqy, hukum rajam ada dan dipraktekan dalam Islam, akan tetapi terjadi sebelum diturunkannya surat an-Nur ayat (2). Maka hukum yang muhkam sampai sekarang adalah hukum dera bagi pezina.  Alangkah bijaksananya kalau kita mengatakan hukum had itu tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah sempurna perbuatan dosa seseorang, yakni terpenuhinya syarat, rukun dan tanpa adanya unsur subhat.
Tidak ada maksud mengklaim kebenaran pada salah satu pihak yang pro dan kontra tentang sanksi bagi pezina (dera atau rajam). Ada baiknya merujuk pada teks dengan mempertimbangkan realitas masyarakat kontemporer, seperti Indonesia yang plural. Artinya harus bertolak  dari kenyataan bahwa hukum rajam bukan hukum yang hidup dalam sistem negara Islam manapun, kecuali Saudi Arabia. Realitas ini tentunya tidak lepas dari adanya perubahan konstruksi masyarakat sekarang, dengan konstruksi masyarakat muslim pada saat hukum rajam diterapkan. Perubahan masyarakat pada gilirannya merubah rasa hukum masyarakat, sehingga masyarakat enggan melaksanakan hukum rajam, di sisi lain pezina harus dihukum berdasarkan ketentuan al-Qur`an.
Di sini perlu dipahami, bahwa perintah Rasul untuk menghukum rajam bagi pezina harus diperhitungkan latar belakang historisnya:
1.    Hukum rajam pertama kali diterapkan kepada orang Yahudi, dasar     hukumnya adalah kitab mereka yakni Taurat.
2.    Diterapkannya hukum rajam pada masa Nabi adalah ketika surat     an-Nur ayat (2) belum diturunkan. Sedang hukum yang berlaku     setelah diturunkannya surat an-Nur ayat (2) adalah hukum     cambuk (dera) 100 kali.
3.    Rasululah menghukum rajam di kala itu bukan sebagai hukuman     had, melainkan hukuman ta’zir.
Dari berbagai bentuk sanksi delik perzinaan dapat ditarik benang merah sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaludin Rahmat, hukum rajam mempunyai fungsi sebagai penjera yang dalam konteks masyarakat modern dapat diganti dengan hukuman lain.  Di sisi lain hukum Islam harus diberlakukan secara substansial dengan tidak meninggalkan ruh syari’ah. Senada dengan pernyataan di atas, menurutnya, ketika memahami hukum Islam, teori gradasi layak dipertimbangkan, demikian halnya dengan prinsip nasikh wa mansukh, serta kondisi masyarakat sebagai syarat mutlak dalam pemberlakuan sistem hukum. Yusuf al-Qaradawi berkomentar, sanksi perzinaan akan efektif diberlakukan sebagaimana yang diinginkan oleh nas jika masyarakat sempurna memahami agamanya. Sebaliknya, jika masayarakat lemah imannya, lingkungan tidak mendukung, seperti wanita banyak mempertontonkan kecantikannya, beredarnya film-film porno, adegan perzinaan terbuka lebar di mana-mana, kondisi seperti ini tidak efektif untuk memberlakukan hukum secara definitif.
Hukum rajam atau dera seratus kali bagi pezina bukanlah suatu kemutlakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Syahrur dengan teorinya halah al-had al-a’la, (batas maksimal ketentuan hukum Allah), bahwa hukum rajam (dera) bisa dipahami sebagai hukum tertinggi dan adanya upaya untuk berijtihad dalam kasus tersebut dapat dibenarkan.  Demikian halnya pelaku yang tidak diketahui oleh orang lain, Islam memberikan peluang terhadapnya untuk bertobat.  Sebagaimana Nabi menjadikan sarana dialog dalam kasus Ma’iz bin Malik, yang mengaku berzina dan minta disucikan kepada Nabi. Nabi berpaling dan bertanya berulang-ulang agar pengakuan dicabut dan segera bertaubat.
Dari berbagai pendapat tentang eksistensi hukum rajam, dapat disimpulkan bahwa hukum rajam adalah alternatif hukuman yang terberat dalam Islam dan bersifat insidentil. Artinya penerapannya lebih bersifat kasuistik. Karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan matang kemaslahatan individu maupun masyarakat.
Adapun tindak pidana yang terkait dengan tindakan asusila, seperti  pelaku lesbian dan homoseks, kebanyakan ahli hukum menyatakan bahwa si pelaku tidak dihukum hadd melainkan dengan ta’zir.  Dalam hal kejahatan perkosaan, hanya orang yang melakukan pemaksaan saja (si pemerkosa) yang dijatuhi hukuman hadd. Namun ada sebagian pendapat yang menyatakan, bahwa hukuman si pemaksa dikategorikan sebagai tindakan yang sadis dan masuk dalam delik hirabah. Hal ini didasarkan pada lafadz wayas `auna fi al-ard fasadan (orang yang membuat kerusakan di muka bumi). Kejahatan pemerkosaan, sabotase, bahkan teroriseme termasuk dalam kategori jarimah perampokan (perampasan) yang pelakunya harus dikenakan hukuman berat.





















DAFTAR ISI

Bab I   PENDAHULUAN

Bab II   POKOK MASALAH
a.  Zina di tinjau dari segi agama
b.  Zina di tinjau dari segi ekonomi
c.  Zina di tinjau dari segi sosial
d.  Zina di tinjau dari segi ilmu kedokteran

Bab III  PEMBAHASAN
a.     Definisi
b.     Sumber-Sumber Hukum
c.     Macam-Macam Hukuman

Bab IV  PENUTUP














Bab IV
PENUTUP

Kesimpulan dari paparan diatas adalah zina haram tidak kenal apapun keadannya. Sudah banyak ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadis yang menjelaskan dengan tegas. Zina baik ditinjau dari segi agama, social, ekonomi, maupun dari segi ilmu kedoteran adalah tidak member ruang sedikitpun untuk memperbolehkannya. Dari segi jenisnya zina ada dua macam :
a.    Zina Muhshon (sudah nikah)
b.    Zina Ghoiru Muhshon (belum nikah)
Dan kalau dilihat dari segi hukumannya adalah :
Kalau  a. Muhshon hukumannya adalah dera seratus kali dan dirajam (dilempar batu sampai mati)
b. Ghoiru Muhshon adalah dera seratus kali dan diasingkan satu tahun
Dalam hukuman rajam perlu di klarifikasi lagi karena rasulullah menghukum rajam itu pada kaum yahudi














DAFTAR PUSTAKA


1.    Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr,
2.    Ash-Shiddieqy Hasbi, Tafsir al-Qur`an al-Majid an-Nur, Jakarta: Bulan Bintang
3.    An-Nawawi Imam, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Beirut: Dar al-Fikr
4.    Al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr
5.    Abdurahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fiqh
6.    As-Sayyis Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr
7.    Rahman Fazlur, 1985, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual,   alih bahasa Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka
8.    Haryono Anwar, 1968, Hukum Islam Keluasan dan Keadialannya, Jakarta: Bulan Bintang
9.    Munajat, makhrus, 2009, hukum pidana islam di Indonesia, Yogyakarta : Teras
10.     Muslich, Wardi, Ahmad, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta : Sinar Grafika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar