Selasa, 29 Januari 2013

Makalah Ilmu Hadist

 METODE KRITIK MATAN HADIST IMPLEMENTASI DAN PROBLEMATIKANYA
PENDAHULUAN
    Hadits mengenal istilah shohih, hasan, bahkan ada mardud dan dhoif  yang  berarti kita harus memperlakukan berbeda hadis satu dan yang lain , sedangkan dalam al-Qur’an tidak mengenal hal tersebut, karena al-Qur’an dari segi periwayatannya adalah mutawatir yang tidak lagi diragukan isinya, tetapi dalam kaitan hadits kita harus cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya, kualitasnya dari hadis ini juga akan berpengaruh pada pengambilan hadits dalam pijakan hukum Islam.
Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis. Buah dari pemikiran mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis (sanad).
Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relatif mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dan lebih akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak.
Sementara itu, untuk studi matan atau teks hadis yang di dalamnya memuat informasi-informasi dari atau tentang Nabi Muhammad saw., secara metodologis masih jauh tertinggal. Karena itulah, hendaknya terus dilakukan upaya untuk megembangkan atau merumuskan kaidah dan metode untuk studi matan hadis
Berdasarkan pandangan tersebut, krtik matan hadis sangat penting dilakukan, karena menyangkut dengan salah satu fungsi hadis sebagai dasar hukum. Kritik matan dimaksudkan untuk mencari kebenaran isi hadis, apa memang benar berasal dari Nabi atau tidak.
  

A. Pengertian Kritik Matan
Yang disebut dengan matan hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal dari sabda Rasulullah saw., sahabat, ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.
Secara etimologi matan berarti “punggung jalan”, tanah yang tinggi dan keras yang menonjol keatas.  Adapun matan menurut ilmu hadits adalah penghujung sanad, yakni sabda nabi Muhammad Saw yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan hadits adalah isi hadits. Matan hadits terbagi tiga, yaitu ucapan,perbuatan, dan ketetapan nabi Muhammad saw
    Adapun pengertian kritik matan hadits adalah mengkaji, menganailsa maupun mengevaluasi hadits yang memiliki kerancuan dalam matan karena memiliki unsur-unsur pertentangan dengan Alquran maupun hadits-hadits nabi yang lainnya, sehingga membutuhkan penjelasan-penjelasan dengan metode-metode yang sudah ditentukan.
B. Sejarah Singkat Kritik Matan Hadits
1. Pada Masa Sahabat
Secara historis, sesungguhnya kritik atau seleksi (matan) hadis dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau. Praktik tersebut antara lain pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Umar bin Khattab, Zainab istri Ibn Mas’ud dan lain-lain. 
Tradisi kritik Matan di lingkungan sahabat selain menerapkan kaidahmuqaranah  berlaku juga metode Mu'aradhah , namun pengunaan metodeMu'aradhah pada periode sahabat belum sepesat periode Tabi'in. Langkah pencocokan dalam metode Mu'aradhah dengan petunjuk eksplisit dari al-Quran (Zhahir al-Quran), pengetahuan kesejarahan (sirah Nabawiah) dan dengan penalaran akal sehat.
2. Periode Tabi'in
Pada periode pasca sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadis yang semakin banyak dan meluas, dan banyak bermunculan (matan-matan)} hadis palsu (maudu’). Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi guna menentukan hadis-hadis yang benar-benar berasal dari Nabi.s
Integritas keagamaan pembawa berita hadits mulai diteliti sejak terjadi fitnah, yakni peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan yang berlanjut dengan kejadian-kejadianlain sesudahnya. Fitnah tersebut melahirkan berbagai pertentangan yang tajam di antara umat Islam, sehingga keutuhan umat islam menjadi terpecah. Pemuka aliran sekterian itu memanfaatkan institusi hadits sebagai propaganda dan upaya membentuk umat dengan cara membuat hadits-hadits palsu.
Ulama hadits yang menekuni keahlian bahasa mencermati dan memperbandingkan bahasa (gaya bahasa) teks matan hadits yang bersifat Qauliydengan ukuran bahasa tutur Nabi Saw dalam komunikasi sehari-hari yang dikenal sanggat fasih. Ulama Hadits denga spesialisasi pendalaman konsep doktrinal memperbandingkanya dengan konsep kandungan sesama hadits (sunah) dan dengan al-Quran. Kritik oleh muhadits yang membidangi akidah dan mutakalimin terfokus pada hadits-hadits bermateri sifat-sifat Allah dan materi alam gaib dengan kaedah menyikapi gejala kemuskilan.
C. Latar Belakang Perlunya Kritik Matan Hadist
    Mengingat begitu pentingnya peran hadis sebagai penjelas, maka tidak serta merta semua hadis dapat dijadikan sebagai landasan penjelas Al-Qur’an. Dengan demikian maka perlu dipertanyakan keshohihan sebuah hadis yang akan dijadikan sebagai landasan.
    Untuk menguji keshahihan sebuah hadis, dalam ilmu Hadis berkembang teori tentang Ilmu Riwayah Hadis (ilmu yang dipakai untuk meneliti sanad suatu hadis) dan Ilmu Dirayah Hadis (ilmu yang dipakai untuk meneliti matan suatu hadis). Penerapan kedua ilmu ini dalam pengujian ribuan bahkan jutaan hadis sangatlah menyita waktu, sehingga pada perkembangan selanjutnya, ahli hadis lebih memfokuskan diri pada ilmu riwayah hadis (kritik sanad), sedang ilmu diroyah hadis (kritik matan), pada umumnya, lebih dikembangkan oleh para ulama fiqh.
    Selama ini, keshahihan hadis pada umumnya masih baru teruji dari segi sanadnya saja.  Padahal asumsi yang berkembang di kalangan ulama hadis sendiri mengatakan bahwa yang disebut hadis shohih tentulah hadis shahih dari segi sanad maupun matannya. Akibatnya, kritik matan terhadap hadis-hadis shahih (dari segi sanad) tersebut, dianggap tidak perlu.
    Berbagai pihak menuduh bahwa seleksiotentitas berita yang bersumber dari  Nabi Saw. Sepanjang dilakukan oleh para Muhadisin selalu terbatas pada penilitian sanad. Tercatat nama Ibn Khuldun (w.808 h)pernah menyatakan demikian. Menyusul kemudian kaum orientalis yang menilai pusat perhatian kaum Mnuhaddisin hanya terpusat pada penelitian sanad (kritik eksternal hadits). Tuduhan serupa dinyatakan oleh Ahmad Amin (w.1373 h), Abd Al- Mun’im Al-Bahiy dan muhammad Al Ghazali.
    Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa jika sanad sebuah hadis sehat atau shahih maka demikian juga dengan redaksi matannya. Banyak lagi yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan redaksi matan hadis.
    Kemudian berikut beberapa hal yang melatarbelakangi  pentingnya kritik matan hadis:
1.    Motivasi Agama
Jaminan keterpeliharaan Al-Qur’an perlu diikuti dengan keaaslian (otentisitas) dan kebanran ( validitas) hadis atau sunah selaku sumber penjelasnya.
2.    Motivasi Kesejarahan
Beban tangungjawab moral pada keseluruhan misi rasul dalam wujud ikhtiar menyelamatkan warisan khazanah hadis (sunah) merupakan amanah yang tak bisa ditawar.
3.    Keterbatasan Hadis Mutawatir
4.    Tehnik Pengeditan Hadis
Banyak Ulama yang berbeda dalam tehnik pembukuan hadis.
5.    Kesahihan sanad Tidak Berkolerasi dengan Kesahihan Matan   
D. Problematika Kritik Matan Hadis
Adapun masalah yang sering dihadapi dalam kegiatan kritik matan adalah masalah metodologis dalam penerapan tolak ukur kaidah kritik matan terhadap matan yang sedang diteliti.  Hal itu disebabkan oleh butir-butir tolak ukur yang memiliki banyak segi yang dilihat. Kesalahan penerapan tolak ukur dapat berakibat terjadinya kesalahan penelitian. dalam hal ini peneliti harus memiliki pengetahuan yang luas, khususnya berkenaan dengan ajaran Islam, metode ijtihad, liku-liku kapasitas Nabi dalam menyampaikan hadits, dan kearifan Nabi dalam menghadapi audiens dan masyarakat.
Sering pula penelitin menghadapi matan-matan hadits yang ditelitinya tampak bertentangan. Dalam hal ini, harus diteliti ulang dengan lebih cermat semua sanad hadits yang bersangkutan. Bila ada yang shahih dan ada yang dhaif, maka yang dhaif dinyatakan sebagai mardud (ditolak sebagai hujjah).
Tak diragukan lagi, salahsatu disiplin ilmu hadis yang paling rumit adalah kritik, terutama kritik matan bagi kalangan yang bijak dan tidak berlaku sembrono. Para ulama hadis banyak berbicara tentang kritik, akan tetapi ketika ditanya tentang kritik matan, mereka memberikan jawaban yang membuat pananya hanya bisa menerima ucapan mereka tanpa memahami tehnik mereka. Ini membuktikan kerumitan tema ini bagi para sarjana hadis, sekaligus dalil betapa sulitnya menjabarkan tema ini dan metodenya.
Problem lain yang menghadang adalah bahwa uraian tentang kritik matan tidak termaktub dalam sebuah bab atau beberapa bab tertentu dalam kitab hadis, seperti pembahasan tentang hadis mursal ataupun hadis hasan. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kajian ini adalah kajian perbandingan yang bercabang cabang, membutuhkan waktu yang panjang.
E. Beberapa Metodelogi dalam Kritik Matan Hadis
    Metodologi yang diterapkan oleh masing-masing ulama berbeda menurut situasi dan kondisi yang dibutuhkan. Diantaranya sebagai berikut:
1. Metode Apresiatif Untuk mendeteksi Matan Hadits
Dilihat dari objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat dibagi menjadi dua macam :
    a. kritik matan pra kodifikasi “semua” hadis, dalam kitab-kitab hadis. Dan
    b. kritik matan pasca kodifikasi “semua” hadis.
Untuk kritik matan hadis model pertama pernah dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi dan sejumlah ulama kritikus hadis. Karena perbedaan keadaannya, tentu saja model pertama ini tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh para kritikus hadis pasca kodifikasi, termasuk zaman sekarang, apalagi rentang waktunya sudah sangat jauh. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan sebagian metode atau teknik yang pernah diterapkan dalam kritik teks/matan hadis pra kodifikasi hadis, dapat diaplikasikan untuk kritik matan pasca kodifikasi hadis.
Pengklasifikasian ini diperlukan karena memiliki implikasi terhadap metode atau teknik kritik matan hadis. Berikut ini akan diuraikan metode kritik matan-matan hadis pra kodifikasi dan pasca kodifikasi.
a. Metode Kritik Matan Hadits prakodifikasi.
Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadis periode ini secara umum dapat dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative). Di antara teknik-teknik perbandingan yang tercatat pernah dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:
    1. Membandingkan matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an. 
    2. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis denganhadis-hadis yang disampaikan dari hafalan. 
Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab ‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.
    3. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.
Teknik perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh ‘Aisyah salah seorang istri nabi. Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu ‘Urwah bin Zubair untuk menanyakan sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu dari dunia, kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As (w. 65 H=685 M) yang tengah menunaikan ibadah haji. ‘Abdullah pun menyampaikan hadis yang ditanyakan itu. Karena Aisyah merasa tidak puas, tahun berikutnya, ia meminta Urwah kembali menemui Abdullah yang naik haji lagi dan menanyakan hadis yang telah ditanyakannya setahun yang lalu. Ternyata lafal hadis yang disampaikan oleh Abdullah sama persis dengan lafal yang disampaikannya setahun yang lalu. 
    4. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari satu guru.
Teknik ini misalnya dipraktikkan oleh (Yahya) Ibnu Ma’in (w.233 H=848 M) salah seorang ulama kritikus hadis terkemuka. Ia pernah membandingkan karya Hammad bin Salamah (w. 167 H=784 M) seorang kritikus terkenal dari Basrah, dengan cara menemui dan mencermati tulisan delapan belas orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu Ma’in menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Hammad maupun murid-muridnya.
    5. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.
Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula tatkala Marwan menerima hadis yang disampaikan oleh ‘Abd ar-Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam bin al-Mugirah yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. Ketika waktu fajar (salat Subuh) beliau dalam keadaan berhadas besar (karena pada malam harinya bersenggama dengan istri beliau). Kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa (pada hari itu). Mendengar hadis tersebut, Marwan segera menyuruh ‘Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah, karena Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis yang menyatakan bahwa apabila sesorang pada waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas besar karena pada malam harinya bersenggama dengan istrinya, maka Nabi menyuruh orang tersebut membuka puasanya. ‘Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah di Zulhulaifah, dan menyampaikan kepadanya hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di atas). Pada saat itu Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut tidak langsung dari Nabi, melainkan dari al-Fadl bin ‘Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl lah yang lebih mengetahui hadis tersebut.aa
b. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi.
Seperti halnya kritik matan hadis pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik matan pada fase ini, termasuk zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan teknik sebagai berikut:
      1. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik, misalnya ketika terjadi perbandingan matan-matan hadis yang semakna dengan redaksi yang berbeda, sementara terdapat ayat al-Qur'an yang memiliki kemiripan (susunan redaksinya). Dalam konteks ini jelaslah bahwa keakuratan dalam penujukan ayat yang menjadi pembandingnya merupakan prasyarat untuk dapat melakukan kritik matan hadis melalui ayat al-Qur'an.
      2. Membandingkan antara matan-matan hadis.
Agar dapat melakukan kritik matan hadis dengan teknik ini, hendaknya didahului dengan langkah pertama yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadis, dalam tahap ini sangatlah diperlukan.
Teknik-teknik perbandingan atau yang lainnya untuk melakukan kritik matan, dapat terus dikembangkan. Dan hal ini bisa dilakukan dengan terus melakukan latihan atau praktik.
F. Contoh Hadis
Sebuah hadis menyebutkan.
سنن أبي داود – ج 12 / ص 211
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِيُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالَاأَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ( وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ )فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّواعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
    Hadis ini sangat populer sekarang, tetapi tidak populer dimasa Awal. Hadis yang diriwayatkan tidak kurang dari 4 kitab hadis ini hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat, bernama Irbadh. Hadis ini masuk dalam kitab-kitab hadis melalui jalur Ahmad bin Hambal. Itu artinya, hadis ini menyendiri. Karena melalui jalur Ahmad hadis ini nilainya hasan, maka ditulis dalam kitab hadis manapun nilainya paling tinggi juga hasan. Ia berisi nasehat bahwa suatu saat sepeninggal rasulullah terjadi perselisihan umat supaya berpegang kepada sunnah Rasulullah dan sunnah Khulafa al-Rasyidun al-Mahdiyyun. Persoalannya, siapa yang dimaksud dengan Khulafa al-Rasyidun itu? Apakah Khalifah empat itu? Dalam fakta sejarah, Khulafa al-Rasyidun adalah empat orang itu. Kalau ini yang dimaksud Rasulullah, apakah ketika Rasulullah menyampaikan sabdanya, para mukhattab memahami bahwa yang dimaksud adalah empat orang itu? Apakah Umar, Usman, Ali, mendengar hadis itu sudah memperkirakan bahwa mereka masing-masing merasa akan menjadi Khalifah? Jawabnya ”tidak”. Kalau begitu, kata Khulafa al-Rasyidun dalam hadis itu tidak dapat dipahami oleh para sahabat sebagai mukhattab andainya mereka mendengarkan hadis itu. Mengucapkan sesuatu yang yang tidak dapat dipahami oleh sahabat adalah hal yang mustahil. Dengan demikian ada peluang untuk mengatakan bahwa periwayatan hadis memiliki tendensi politik dalam meriwayatkan hadis ini dan diperkirakan orang yang tidak senang terhadap dinasti pasca Khulafa al-Rasyidun yang dikenal dalam sejarah. Bila hendak membela asumsi bahwa hadis ini otentik dari Rasulullah, kita kembali pada riwayat bil makna. Kita dapat berkata bahwa agaknya redaksi persis hadis bukan Khulafa al-Rasyidun tetapi ungkapan lain yang ide pokoknya orang-orang yang berpikiran cemerlang dan amat setia kepada Rasulullah. Menurut bahasa, arti Khulafa al-Rasyidun orang-orang sepeninggal Rasulullah yang kurang lebihnya cerdas dan setia seperti itu.
    Tetapi boleh jadi juga, hadis itu redaksinya menggunakan kata Khulafa al-Rasyidun yang tidak dimaksudkan untuk dimaknai khalifah yang empat orang, sepeninggal Rasulullah. Maknanya, orang berfikiran cemerlang dan setia sepeninggal beliau. Kalau itu maknanya, maka Khulafa al-Rasyidun masih ada sampai sekarang, sepanjang mereka tulus dan cemerlang berfikir, tidak harus menjabat sebagai kepala negara.









G. Kesimpulan
kritik matan hadits adalah mengkaji, menganailsa maupun mengevaluasi hadits yang memiliki kerancuan dalam matan karena memiliki unsur-unsur pertentangan dengan Alquran maupun hadits-hadits nabi yang lainnya, sehingga membutuhkan penjelasan-penjelasan dengan metode-metode yang sudah ditentukan.
Secara historis, sesungguhnya kritik atau seleksi (matan) hadis dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana
    Selama ini, keshahihan hadis pada umumnya masih baru teruji dari segi sanadnya saja. Padahal asumsi yang berkembang di kalangan ulama hadis sendiri mengatakan bahwa yang disebut hadis shohih tentulah hadis shahih dari segi sanad maupun matannya. Akibatnya, kritik matan terhadap hadis-hadis shahih (dari segi sanad) tersebut, dianggap tidak perlu.
    Perlu ditegaskan kembali bahwa kritik matan hadis merupakan bagian yang sangat penting dan integral dalam proses studi (matan) hadis. Secara praktis, kritik ini memang telah ada sejak para sahabat Nabi, dan dilanjutkan oleh para kritikus hadis terutama pra kodifikasi hadis.
    Dan saat ini matan-matan hadis telah terkodifikasikan, tetapi masih belum terumuskan kaidah-kaidah atau metode kritik matan. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan bagian dari usaha untuk mengembangkan studi kritik matan hadis dari aspek motodenya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar