Selasa, 29 Januari 2013

NASIKH DAN MANSUKH

Pendahuluan

             Allah telah menciptakan suatu agama bagi manusia, yakni agama tauhid, di dalamnya terdapat aturan bagi manusia sesuai dengan tingkat perkembangan kebudayaannya. Oleh karena itu ada beberapa aturan bagi manusia dan pernah berlaku efektif lantas diralat, diganti dan diubah. Misalnya kebolehan menikah dengan saudara kandung bagi keluarga Nabi Adam AS lalu dihapus oleh Allah. Haramnya bekerja pada hari Sabtu di zaman Nabi musa AS juga dicabut oleh Allah melalui kitab injil. Dan banyak lagi syariat yang berlaku bagi umat nabi terdahulu yang kemudian dicabut, diganti atau disempurnakan oleh Al-Qur'an. Penyempurnaan ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad terhadap agama-gama yang dibawa oleh para ahli ushul dengan istilah            Nasikh, yang berarti menghilangkan atau mengganti.

             Mengenai ada/tidaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang di nasakh, atau yang kandungan hukumnya dihapus dan diganti dengan hukum yang terkandung dalam ayat lain. Masih diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama (sebagian besar ulama) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-Jauzi mendukung adanya nasakh terhadap ayat-ayat Al-Qur'an
           Namun sebagian kecil ulama yang dipelopori oleh mufassir besar Al-Fahani menyatakan penolakan terhadap adanya nasakh dalam Al-qur'an dengan berdasarkan/bersandarkan
Q.S. Fushilat (41) : 42
. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

            Berdasarkan ayat tersebut ia menyatakan bahwa hukum-hukum yang dikandung Al-Qur'an tak akan pernah bathal. Dan lebih tegas lagi ia mengatakan bahwa takhsis tidak pernah terjadi dalam Al-Qur'an. Prokontra inilah yang akan diulas dalam makalah ini.
Untuk menentukan ayat-ayat yang menghapuskan dan dihapuskan, dalam rangka untuk
memahami, menafsirkan maksud ayat, diperlukan pemahaman terhadap ilmu yang membahasnya yaitu ilmu nasikh dan mansukh
            Mengetahui ilmu nasikh dan mansukh adalah sangat penting bagi setiap muslim khususnya para ahli fiqih, mufassirin, dan alim ulama dalam memahami hukum-hukum Islam. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib karramallah wajhah bertanya kepada seorang
Qadli: "Apakah kau mengerti nasikh dan mansukh?, Qadli menjawab : "Tidak" Ali berkata: "Kau telah sesat dan menyesatkan", dan juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. membaca Q.S. Al-Baqarah: 269 Ali r.a. menjelaskan lebih lanjut: "Nasikh dan
mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam dan muakharnya serta halal dan
haramnya.



Pembahasan

Pengertian Nask

          Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh
         Pendapat lain mengatakan Secara bahasa Naskh di pergunakan untuk arti izalah (menghilangkan).Misalnya di katakan :Nasakhat asy-syamsu azh-zhila,artinya matahari menghilangkan bayang bayangKata naskh di pergunakan juga untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain ,misalnya nasakhtual-kitab,artinya ialah saya menyalin kitab.
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup:
(a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian;(c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat
Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.1
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Jadi secaraistilah dapat di simpulkan   naskh ialah menggangkat (menghapuskan)hokum syara’dengan dalil hokum syara’yang lain. “Disebutkan kat hokum di sini ,menunjukkan prinsip”segala sesuatu hokum asalnya ialah boleh “(AL-Bara’ah Al-Ashliyah)tidak termsuk yang di naskh .Kata –kata denga dalil hokum syara’mengecualikan pengangkatan penghapusan dengan ijma’atau qiyas .
Sedangkan mansukh berarti hokum yang di agkat atau yang di hapuskan.contoh ayat tentang mawaris (warisan )




Jenis –jenis Naskh

Naskh ada empat bagian:
Pertama,Naskh Al-Quran dengan Al-quran.Baguian ini di sepakati kebolehanya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang menyatakan adanya nasakh.Misalnya,ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari.
Kedua,ialah nasakhAlQuran dengan Assunah.nasakh ini ada dua macam:
A.Naskh Alquran dengan hadist ahad .jumnur ulama berpendapt, Alquran tidak boleh di nasakh oleh hadist ahad.sebab Alqur’an adalh mutawatttir dan tidak bias di pungkiri lagi eksistensinya,sedangkan hadist ahad adalh Zhanni,bersifat dugaan ,di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum ( jelas di ketahui )dengan yang mahzun(di duga).
B.Nasakh Alqur’an dengan hadist mutawatir.Nasakh semacam ini di bolehkan oleh Malik Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat,sebab masing-masing keduanya adalh wahyu
Kemudian yang ketiga ialh naskh As-sunah dengan Al-quran.hal ini di perbolehkan oleh jumhur ulama .Sebagi contoh ialah masalh menghadap keBaitul Maqdis yang di tetapkan dengan Assunah dan di dalam Al-quran tidak terdapat dalil yang menunjukkanya.ketetapan ini di nasakhkan oleh Al-quran dengan firmanya:
Maka palingkanlah mukmu kea rah Masjidil Haram.(Al-Baqarah:144)
Yang terakhir ialah naskh sunah dengan suanah.Dalm kategori ini terdapat empat bentuk
a.Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b.Nasakh ahad dengan ahad
c.Nasakh ahad dengan mutawatir,dan
d.Nasakh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk nasakh yang pertam menurut kesepsakatn ulama di perbolehkan,sedangkan pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat

Hikmah adanya nasikh dan mansukh

Nasikh Mansukh salah satu obyek kajian yang sangat penting dalam ilmu-ilmu Al Quran, tidak boleh diabaikan bagi orang yang menekuni spesialisasi dalam bidang tafsir Al Quran. Begitu pula bagi pemerhati kajian-kanjian yurisprudensi islam, merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam memicu perbedaan ulama tafsir dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran.
Di kalangan mayoritas ulama-ulama islam di berbagai bidang, sudah menjadi sebuah opini umum yang mapan dan paten bahwa tidak ada kemustahilan atas konsekuensi adanya NASIKH MANSUKH, justru jika dicermati realitas kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Sedangkan islam dalam sisi idealitasnya -mewujudkan maslahat manusia- adalah sebagai sasaran pokok dalam perundang-undangannya menghendaki adanya Nasikh.
Nasikh adalah perbuatan Allah SWT Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti ia sewenang-wenang dan menganiyaya, tapi semua hukum dan perbuatannya penuh dengan Hikmah dan Pengetahuan. terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib, untuk menguji loyalitas hamba-Nya.
Selama mengaktualisasikan maslahat manusia di muka bumi ini, sebagai inti dasar dan proses pijakan rel perundang-undangan dalam islam, yang pada tabiatnya sebagaian maslahat itu sendiri nisbi atau berubah-ubah, maka pemberhentian masa berlaku sebagian hukum dalam islam sangat relevan dengan keuniversalanya sebagai agama Shalihun Li Kulli Zaman Wal Makaan. Adanya pemberhentian masa berlaku sebagian hukum, karena perubahan dan perkembangan zaman, merupakan satu indikasi yang sangat kuat terhadap ruh dan semangat berkembang dan pembaharuan yang ada dalam perundang-undangan islam dari satu segi, pada segi lain merupakan stimulasi (perangsang) bagi para da’i dan ulama agar mereka menjauhi kejumudan, stagnasi dan kekerasan yang bisa menghambat kemajuan umat islam dalam dunia peradaban dan pembaharuan.
Teks (lafadz-lafadz Al Quran) yang masih tertulis dan tetap tebaca sampai sekarang dalam mushaf, sementara kandungan hukumnya sudah tidak berlaku (mansukh) merupakan sebuah ajaran dan inspirasi dari Al Quran bagi para ulama untuk memakai metode pemberlakuan secara bertahap dan berangsur, ketika menawarkan solusi dan hukum islam, khususnya ketika mengaplikasikan dalam dunia nyata, agar kecantikan dan kelembutan islam tidak ternodai, sebagai salah satu ciri khas terpenting dalam perundang-undangan islam, “Pelan-pelan tetapi terplanning lebih baik dari pada cepat namun kacau”.
di sisi kehistorisan, nasikh mansukh dapat menyingkap tabir, proses perjalanan perundang-undangan islam dan menggali pesan serta hikmah yang tersembunyi dibalik tarbiyah Allah SWT kepada hamba-Nya sekaligus sebagai Hujjah yang kokoh atas keontetikan Al Quran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan bersumber dari diri Muhammad saw yang tidak tahu baca tulis (Ummy), pada sisi lain, mengingatkan orang mu’min terhadap nikmat dan rahmat Allah swt atas keintegralan agama islam.
Barangkali salah satu makna yang signifikan yang perlu direnungi dari eksisnya beberapa ayat yang masih tetap dibaca sekarang oleh umat muslim, tetapi hukumnya telah dimansukhkan adalah boleh jadi ayat ini diterapkan kembali pada kondisi tertentu, jika sejalan dengan dakwah dan perundang-undangan islam sebagai agama yang selalu memberi perhatian atas realitas dan idealitasnya.,
           Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.
Secara garis besar hikmah nasakh dan mansukh ialah :
1.Memelihara kemaslahatan hamba
2.Perkembangan tasyri,menuju tingkat sempurnasesuai dengantingkat perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.

Cara mengetahui Naskh dan Mansukh serta manfaat mempelajarimya .

 Ada beberapa hal yang harus di perhatikan dalam menentukan nasikh dan mansukh. Diantaranya adalah dengan memperhatikan kronologi turunnya al-Qur’an. Sebab, nasikh mansukh erat kaitannya dengan asbab al-nuzul, terutama dalam menentukan mana ayat yang berperan sebagai eliminator (yang lebih akhir turun) dan mana ayat yang di nyatakan teranulir (yang turun sebelumnya). Dan tentunya, ayat-ayat yang di ambil mempunyai gejala kontradiksi yang mana tidak mungkin adanya penggabungan antara keduanya. Kemudian, para ulama juga mengatakan bahwa area naskh hanya sebatas pada ayat-ayat yang merujuk pada perintah atau larangan saja.

Menelisik lebih jauh tentang terma ini. Kita akan di hadapkan kepada beberapa polemik panjang, yang memperlihatkan begitu besarnya nilai kontroversial terma ini, yang mana berbanding seimbang dengan pemikiran subjektif setiap ulama yang mengusung pendapatnya masing-masing. Diantaranya, perdebatan seputar Legalisasi naskh ayat al-Qur’an yang mana disini mempunyai keterkaitan dengan nilai relevansi ayat-ayat yang oleh sebagian ulama di nyatakan teranulir. Selain itu, masalah yang berhubungan dengan salah satu pola Naskh, yaitu amandemen ayat al-Qur’an oleh Sunnah. Lalu, terlepas dari distorsi pemikiran yang telah berkembang, eksistensi teks al-Qur’an pun turut menjadi sebuah pertanyaan dalam wacana khazanah keislaman.

Secara garis besarUntuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara :
1.Keterangan tegas dari Nabi dan  para sahabat,Seperti hadist:
“Aku dulu melarangmu berziarah kubur,maka (sekarang)berziarah kuburlah.”(HR.Alhakim)
2.Ijma’umat bahwa ayat ini nasikh dan itu mansukh.
3.Mengeahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
Perlu di ketahui nasikh dan mansukh tidak dapat di tetapakn berdasarkan pada ijtihad,pendapat mufassir atau kontradiksi dalil dalil secara lahiriyah,atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua rowi.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat besar sekali khususnya bagi para ulama,Fuqaha,Mufassir,dan par ahli ushul fiqh,agar pengetahuan tentang hokum tidak menjadi kabur.Oleh karena itu banyak sekali atsar yang mendorong untuk mengetahui masalah ini Seperti yang di riwaayatkan,Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya ,”Apakah kamu menetahui yang nasikh dari yang mansukh?Tidak,jawab hakim itu.Maka Ali berkata,Celakalah engkau dan kamu pun akan mencelakakan orang lain.

Siapa yang Berwenang Melakukan Naskh?

Pertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan kepada mereka yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir maupun dalam pengertian yang kita kemukakan di atas.
Pengarang buku Manahil Al-’Irfan mengemukakan bahwa Para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw. me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau tidak?
Menurutnya, Al-Syafi’i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak –walaupun secara teoretis– dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy’ariah maupun Mu’tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: “Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula.”
 Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah “apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?”
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat –kalau hal tersebut dinamai naskh– bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis “La washiyyata li warits” (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat “kewajiban berwasiat” (QS 2:180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.
Kata-kata “sesungguhnya Allah telah memberikan” dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah “pergantian” seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, “apabila Kami mengganti suatu ayat …”, kata “kami” di sini menurut hemat penulis, sebagaimana halnya secara umum kata “Kami” yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.

Mengapa dingkari adanya Nasikh

Allah swt berfirman dalam Al Quran:”Ayat mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu”[al-Baqarah;106]. “Dan apabila kami letakkan seatu ayat di tempat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:sesungguhnya kami orang yang mengada-ada”, bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”[an-Nahl:10]. Kedua ayat ini turun dengan satu Illat. Mufassirin menyebutkan bahwa sesungguhnya kaum musyrik, mereka mengatakan apakah kamu sekalian melihat Muhammad, ia memerintahkan kepada sahabtnya satu perintah kemudian melarangnya kemudian memerintahkan mereka lagi berbeda dari perintah yang lalu, maka turunlah ayat pertama,[an-Nisabury, Asbabu Nuzul]. Diriwayatkan juga dari Ibn Abbas ra: …kaum Qurays berkata:Tiadalah Muhammad melainkan menyihir sahabat-sahabatnya. Ia memerintahakan hari ini satu perintah, besok melarangnya lagi. Tiadalah Muhammad melainkan orang yang mengada-ada, maka turunlah ayat kedua,[tafsir Ruhul ma’ani jld I:350].
kalau dengan alasan bahwa Nasikh itu mengindikasikan adanya aib dan kebatilan dalam Al Quran, sehingga diingkari eksistensinya, itu berarti adanya sebuah krisis dalam menginterpretasikan Al Quran baik makna dan lafadznya. Setelah dicermati secara ilmiah, ternyata tidak ada yang mengindikasikan -baik implisit maupun eksplisit- adanya aib atau kebatilan atas konsekuensi nasikh mansukh. kalaupun perbedaan itu hanya sebatas perbedaan lafadz, bukan esensi (jauhar), mengapa harus menolak diktum Al Quran setelah Al Quran mengekspresikan hal ini secara nyata, masih adakah seleksi setelah seleksi Allah swt? masih adakah prioritas setelah Al Quran?. Allah berfirman:”Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Maka barangsiapa yang mendurhakakan Allah dan rasul-Nya sungguhlah ia telah sesat yang nyata”[al-Ahzab:36].
Bagi penganut aib dan kebatilan akan diperhadapkan pada problema yang sangat komplit, ketika ia berinteraksi dengan beberapa ayat yang justru karena kekukuhannya dalam mengingkari adanya nasikh, menjebaknya masuk ke dalam kebatilan yang lebih hebat.
Berbeda dengan Abu Muslim al-Asfahani, yang mengingkari nasikh secara dalil naqli. Abu Mutaa’ al-jabiri, keingkarannya bukan saja naqli, secara aqli pun ia mengingkarinya (lih. la Naskha fil Quran, oleh Abdul Muta’al al-Jabiri :15). namun secara umum, bantahan Al-jabiri terhadap jumhur, nampak ekspresi kefanatikannya lebih aktif, ketimbang unsur mutu argumen yang dikembangkannya, sehingga mengurangi nilai keilmiahannya, mana lagi kedhaifan dalilnya. Seperti ia menyebutkan jumlah ayat yang di nasikh dengan berlebih-lebihan untuk mendistorsi opini umum di kalangan jumhur, dan nampak juga kekurangan metodologisnya ketika ia menuduh kedhaifan dalil jumhur, sementara ia mendatangkan dalil yang lebih dhaif lagi. terkadang juga terlalu memaksa teks Al Quran menerima makna yang tidam punya indikasi, salah satu contohnya, ia menginterpretasikan ayat kedua tersbut di atas “Wa idzaa baddalna..”, “kami tidak mengganti sesuatu pun dalam Al Quran karena kalau kami menggantinya maka orang-orang kafir menjadikan alasan bahwa engkau (Muhammad) mengada-ada, maka kami tidak menggantinya saddan liszari-ah”. Bahkan terjadi kontradiksi antara dirinya sendiri ketika ia mengatakan dalam bukunya:”nasikh fii Syariatil islam kamaa af-hammuuhu”, bahwa mengingkari nasikh bukan berarti mengingkari tabdil ahkam. Padahal lafadz tabdil itu sendiri berarti nasikh. jadi tulisan al-jabiri penuh dengan penukar-balikan ditambah dengan argumen-argumen yang tak menarik dan tidak memuaskan, yang tidak bisa dijadikan sandaran untuk menandingi pendapat jumhur.[an-Nasikh bainal itsbat wa nafyi, Dr.Muhammad mahmud fargali I:121-123].
Nasikh bukan berarti menimbulkan kontradiksi yang ada dalam Al Quran, bahkan semua pemberitaan Al Quran sesuai dengan realita hukum-hukumnya, serasi dengan hikmah yang tidak bisa kurang atau lebih, sebagaimana firman Allah:”Dan kami turunkan Al Quran dengan sebenar-benarnya dan ia telah turun dengan membawa kebenaran” [al-Israa:105].
Dengan Interpretasi seperti ini -ketika mengklarifikasikan ayat batil dan ayat ikhtilaf- lebih dapat diterima adanya nasikh ketimbang mengingkarinya. karena kondisi dan situasi orang-orang yang didakwai pada permulaan islam bukan lagi pada akhir-akhir hayat Rasulullah saw. Andaikan hukum itu (yang pertama) terus berlangsung hingga akhir, tidak ada yng dimansukh, tentu akan mengidentifikasikan adanya suatu yang bertolak belakang dengan hikmah, dengan demikian menisbahkan sesuatu yang batil

Syubhat-syubhat dalam penetuan nasakh

Nasikh dan mansukh mempunyai contoh yang cukup banyak,namun sikap para ulama dalam hal ini berbeda beda :
1.Ada yang berlebih lebihan,sehingga ia memasukkan ke dalam kelompok nasakh sebagai sesuatu yang sebenarnya tidak termasuk di dalamnya.
2.Ada yang berhati hati, dengan mendasrkan masalah nasakh ini hanya pada penukilan yang shahih semata.
Sumber kekaburan tersebut bagi mereka yang berlebih lebihan,cukup banyak.yang terpenting di antaranya ialah:
a.Menganggap akhshish juga sebagai nasakh.
b.Menganggap bayan (Penjelasan )sebagai nasakh.
c.Menganggap suatu ketentuan yang di syariatkan karena sesuatu sebab yang kemudian sebab itu hilang (dan secara otomatis ketentuan itu akan hilang)sebagai mansukh.
Misalnya perintah bersabar dan tabahi ganguan orang kafir pada masa awal dakwah ketika umat islam masih sangat lemah dan menjadi kaum minoritas.Menurut mereka,perimtah itu telah di nasakh dengan ayat ayat perang atau berjihad di jalan Allah








Daftar Pustaka

Hamzah Muchotob,Studi Alqur’an Komprehensif,Gama Media.Jogjakarta:2003

Kahar Masyhur.Drs.H,Pokok pokok ulumul Qur’an,Rineka cipta.Jakarta:1992

Van Deffer Ahmad,Ilmu Alqur’an pengenalan dasar,Rajawali Pers.jakarta:1998

Abdul ‘Azim Al-Zarqani, Manahil A-’Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy,
Mesir 1980, Jilid II, h. 254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar