Jumat, 04 Juli 2014

Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali




Kehidupan pemikiran periode al-Ghazali  dipenuhi dengan munculnya berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran, disamping munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali . Di antaranya Abu ‘Abdillah al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430 H.) ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di Spanyol, al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh Asy’arisme, dan Hasan as-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah.
Al-Ghazali  menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya  menjadi empat aliran populer, yaitu Mutakallimun, para filosof, al-Ta’lim dan para sufi.[1] Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan al-dzauq (intuisi).
Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali  yang semula memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi – Bisa dilihat dari karya-karyanya sebelum penyerangannya terhadap Filsafat – mengalami keraguan (syak). Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi idealnya, kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab menurut Hadits nabi “ Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya, yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orangtuanya.[2] Oleh karenanya ia mencari hakekat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali  menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakini kebenarannya.
Bertolak dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, al-Ghazali  menduga bahwa kebenaran hakikat diperoleh dari yang  tergolong al-hisriyat (inderawi) dan al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan aksiomatis).[3] Sebab kedua pengetahuan ini bukan berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya. Ketika ia mengujinya kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan bersalah. Kepercayaan al-Ghazali  terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal.  Seperti pengetahuan aksiomatis yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (Fardhi)  saja, dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual.
Al-Ghazali  kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional. Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi, bahwa pada situasi-situasi tertentu (akhwal ) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mati.[4] Al-Ghazali  menyimpulkan ada situasi normal dimana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan intelektual al-Ghazali  berakhir pada wilayah tasawuf dimana ia meyakini al- dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh melalui nur yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati manusia.[5]
Namun demikian pandangan al-Ghazali  yang bernuansa moral juga tidak terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat kaitannya dengan pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat, al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya,  terutama Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Maskawaih. Definisi jiwa (al-nafs) yang ditulisnya dalam kitab Maarijal Quds dan pembagiannya dalam  jiwa vegetatif, jiwa sensitif, dan jiwa manusia hampir tidak berbeda dengan yang ditulis Ibnu Sina dalam bukunya Al Najal.[6] Kesimpulan ini didukung oleh pernyataannya sendiri  dalam kitab Tahafut al-  Falasifat bahwa yang dipercaya dalam menukil dan mentashkik filsafat Yunani adalah al-Farabi dan Ibnu Sina.


[1] Al-Ghazali, al Munqidz minal Dhalal, (Kairo: Silsifat al Tsaqofat al Islamiyah, 1961) hal. 13
[2] Ibid, hal. 7
[3] Ibid,
[4] Ibid, hal.10-11
[5] Ibid,
[6] Sulaiman Dunia, Al Haqiqat Fi Nazli Ulum Al Ijtimaiyat (Kairo: Daar al Ma’arif 1971) hal. 260

1 komentar:

  1. If you're trying to lose weight then you need to start using this totally brand new tailor-made keto meal plan.

    To create this keto diet service, certified nutritionists, personal trainers, and cooks joined together to develop keto meal plans that are efficient, convenient, money-efficient, and delightful.

    Since their launch in January 2019, thousands of people have already transformed their body and health with the benefits a certified keto meal plan can provide.

    Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones offered by the keto meal plan.

    BalasHapus