Add caption |
FIQH KONTEMPORER
A.
PENGERTIAN
Masalah fiqh kontemporer adalah suatu bidang kajian yang membicarakan
perihal persoalan-persoalan Hukum Islam Ijtihadiyah yang secara nyata muncul
pada dewasa ini dengan menerapkan metode istimbat hukum dan analisa ilmiah
serta pendekatan yang tepat dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
kemaslahatan manusia dunia-akhirat. Seiring dengan perkembangan zaman,
persoalan-persoalan fiqh yang berkembang dan tentu memerlukan jawaban untuk
kepentingan kini dan yang akan datang.Telah banyak produk-produk pemikiran
cerdas dalam bidang fiqh yang diformulasikan para fugaha, namun perlu
dievaluasi secara berkelanjutan agar tidak kehilangan relansinya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu
fiqih dari zaman kenabian yang disebut dengan Periode risalah dan dimulai sejak
kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). sekiranya pada
periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah
SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian
fiqh pada masa itu identik dengan syariat, karena penentuan hukum terhadap
suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW sendiri,hingga
sampailah perkembangannya pada zaman moderen ini yang ditandai dengan
pemikiran-pemikiran ulama yang mengacu pada tuntunan situasi dan
zaman,pergesera-pergeseran pemikiran inilah yang mengacu timbulnya pengaruh
terhadap konteks fiqih,yaitu dengan mengandalkan pemikiran fiqih antropologis
dan rasionalitas hukum, dan menolak pemikiran skripturalisme, yaitu aliran yang
berpegang kepada teks-teks syari’at secara kaku,ini disebabkan karena manusia
pada zaman dulu sangat jauh berbeda dengan manusia pada zaman
sekarang,pemahaman ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha
menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh
ajaran Islam, spirit hukum Islam, maqashid syar’iyah dan sebagainya. faktor
yang terpenting terhadap perubahan litertur fiqih teosentris menjadi
antroposentis atau fiqih moderen adalah karena sangat banyak paradigma-paradigma
baru ditengah tengah literatur masyarakat yang tidak mampu dijawab oleh teks
alquran dan hadis secara teosentris dan munculnya pemikiran untuk memanfaatkan
berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Oleh karena itu konsep pemikiran ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran
Islam. sekaligus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru
akibat perubahan masyarakat tersebut. Berbagai upaya rekonstruksi fiqh di dunia
Islam sekarang ini merupakan wujud dari konsep penggambaran kebutuhan
masyarakat secara sosial politik maupun global kepada hukum syara’ (fiqih).
Sekitar akhir abad ke-19 timbullah benih benih pergeseran paradigma cara
pengambilan hukun syara’ (fiqih) dengan munculnya berbagai pemikiran di kalangan
ulama ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari
berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat
itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi
juga dari para sahabat dan thabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih
tepat dan sesuai dengan keadaan masyarakat secara rasional. maka pada tahun
1333 H sebagai salah satu contoh efek dri perkembangan pemikiran tersebut
pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab
yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi
hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Bahkan pada tahun 1920 dan 1925
pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang diambil
dan disaring dari pendapat dari berbagai kitab fiqh madzhab. Dengan demikian,
seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum yang boleh
dipilih untuk diterapkan di berbagai tempat sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dalam kehidupan sosial politik maupun global,oleh karena itu upaya penerapan
hukum Islam secara rasionalitas dan penyesuaian dengan kondisi masyarakat mulai
berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum-hukum yang diambil
dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko,
Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Awal perkembangan ini dimulai oleh ide-ide dan pemikiran-pemikiran syeikh
jamaluddin Al-Afgan dan disambung oleh muridnya Syeikh Muhammad Abduh dan
Syeikh Muhammad Rasid Ridha dan ulama ulama lainnya yang menawarkan literatur
pemikiran baru atau moderen kepada umat dengan penggunaan akal (rasionalitas)
secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan bersikap kritis atas
hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas,problema yang
dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah kembali fiqh yang ada yaitu
yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran nash-nash tetapi juga metode
pengambilan keputusan hukum (istinbath). Dalam istilah fiqh, yang harus
ditinjau bukan saja al-adillat al-syar’iyat, tetapi juga ushul al-fiqh.bahkan
ada sebagian penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah SAW saja melainkan juga berdasarkan pertimbangan tujuan
syara’ (maqasid as syariyyah) dalam penetapan hukum. Sebagaian dari bentuk
bentuk bukti adanya pergeseran paradigma pemikiran fiqih menjadi semakin jelas
ketika Sayid Jamaluddin al-Afghani mengenalkan pemikirannya kepada masyarakat
Islam, beliau Menyadarkan umat Islam mengenai kewajiban mereka terhadap agama
dan melaksanakan syariat Allah SWT.dengan menawarkan ide ide islah (Bahasa
Arab: إصلاح) yang
artinya pembaikan atau perubahan terancang ke arah yang lebih baik lagi,yang
beliau rancang untuk pembaharuan umat. Bentuk-bentuk Islah yang dibawa oleh
Sayyid Jamaluddin al-Afghani diantaranya berupa usaha untuk mengembalikan
kecemerlangan umat Islam sebagaimana zaman khulafaurrasidin yang mengunakan
kecerdasan ilmu dan akalnya,dan juga mengkritik taklid Al-A’ma (Bahasa
Arab: تقليد الأعمى yaitu
bermaksud mengikuti sesuatu ajara atau madzhab secara membabi buta) tanpa
berlandaskan al-Quran dan al-Sunnah. Dan menyeru umat Islam agar kembali kepada
ajaran Islam yang murni serta sesuai, dalam artian dapat dilaksanakan sepanjang
masa dan tempat (menembus batas), bahkan menyadarkan umat Islam tentang
keburukan fanatik kepada sesuatu madzhab yang membawa kepada pepecahan umat
Islam sendiri, lalu ide-idea beliau disambung lagi oleh muridnya syekh Muhammad
Abduh dan syekh Muhammad Rasid Rihdo, Seperti halnya syeikh jamaluddin al-afgan
Syeikh Muhammad Abduh pun menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran sebenar
benarnya dalam bentuk yang asal dan murni serta menyesuaikannya berdasarkan
kehendak zaman dengan tidak keluar dari quran dan sunnah. Beliau menolak
sekeras-kerasnya konsep Taqlid al-A’ma (Bahasa Arab: ليد الأعمىتق) atau
taklid buta. Beliau mengajak umat Islam mempelajari ilmu-ilmu fardu kifayah
untuk membina umat agar mempunyai daya fikir yang tinggi dan seterusnya mampu
keluar daripada belenggu taqlid. Seikh muhammad Rasid Ridha pun memiliki konsep
yang sama dengan Abduh, seperti halnya penggunaan akal secara luas dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap
shahih oleh umat Islam mayoritas. Misalnya Ridha menolak hadis Bukhari yang
menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi
matan hadis tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau Hisyam, salah
seorang perawi hadis ini mendapat sorotan dan ditolak (mardud) oleh ulama
al-Jarh wa at-Ta’dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang
disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya bahwa
abu hurairah pada saat itu sudah pikun saat menceritakan hadis itu pada A’war
al-Mashish.
Syeik Rasid Ridha juga mempersempit penafsiran akan mengenai hal-hal yang
berbau ghaib, misalnya dia menganggap bakteri adalah termasuk bagian dari jin
yang mampu membuat orang terkena penyakit, sebagaimana penafsirannya atas surah
al-Baqarah ayat 275. Rasyid Ridha sama seperti Abduh, sangat berhati-hati
menerima riwayat yang mengemukakan pendapat para sahabat Nabi,baik Abduh maupun
Ridha sendiri,dari itulah mulai timbul semangat umat untuk mengkonsep fikih
lebih jauh lagi, menurut Prof.DR.Quraish Shihab Syaikh Muhammad Abduh dan
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha adalah perintis jalan menuju kesempurnaan dan
pembaharuan terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar yang pada
dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin
al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menurut
beliau disitu mencoba menampilkan al-Qur’an dengan wajah yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern masa kini, ulama
fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai
mazhab fiqh terutama madzhab yang empat sebagai satu himpunan yang tidak
dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab yang fanatis
mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah
mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup sampai kapanpun. Suara vokal
(pendapat) Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah inilah kemudian dilanjutkan
oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M,1201 H./1787 M, pendiri aliran
Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani (dari kalangan
syi’ah). Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid’ah
yang harus dihindari, bahkan tidak ada satu orang pun dari imam yang empat
(Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ‘i dan Imam Ahmad bin Hanbali)
membolehkannya. mulai saat itu,konsep kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah
satu mazhab, akan tetapi telah mengambil bentuk metode kajian komparatif dari
berbagai mazhab, yaitu yang dikenal sekarang ini dengan istilah fiqh
muqaran.Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti
yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya
as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni
karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) sifat perbandingan yang mereka
kemukakan dalam kitabnya itu sebenarnya tidak utuh dan tidak komprehensif,
bahkan tidak seimbang sama sekali dengan fenomena masa kini. Di zaman modern,
fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan
mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi baik dari segi nash
(tekstualitas) maupun rasio (rasionalitas), serta disertakannya pembahasan
(munaqasah) dari kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca
khususnya masyarakat awam dan pelajar dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan
diambil secara logis. Metode seperti ini sedikit ditiru oleh ulama ulama
sekarang seperti salah satu contoh Syaikh Sayyid sabik beliau mengambil metode
yang membuang jauh-jauh fanatisme madzhab tetapi dengan tidak
menjelek-jelekkannya. Beliau tetap berprinsip pada dalil-dalil naqli
(Kitabullah), As-Sunnah dan Ijma’ para ulama, juga mempermudah gaya bahasa
tulisannya untuk bisa dicerna pembaca, menghindari istilah-istilah yang gorib
(runyam), tidak bertele tele dalam mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum),
lebih cenderung untuk memudahkan dan mempraktiskannya demi kepentingan umat
agar mereka senang kepada ilmu agama dan menerimanya dengan rasional. Beliau
juga antusias untuk menjelaskan hikmah dari pembebanan syari’at (taklif) dengan
meneladani secara analisis konteks al-Qur’an dalam memberikan alasan hukum,
tetapi ada kalanya sebagian fanatisan madzhab mengkritik buku metode pemikiran
beliau dan menilainya bahwa metode seperti itu mengajak seseorang kepada “tidak
bermadzhab” yang pada akhirnya menjadi jembatan menuju ketidak beragamaan dan
perdebatan. Akhirnya pada zaman modern sekarang ini, suara yang menginginkan
kebangkitan fiqh kembali semakin vokal dan menjadi jadi, khususnya setelah
ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam
dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi
komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat (kaum orientalis) sehingga
terciptanya faham “liberalisme”. Seperti telah diketahui bahwa terbukti
pemikiran fikih klasik yang teosentris tidak dapat menjawab berbagai
permasalah-permasalahan kontemporer di zaman moderen,salah satu contohnya
adalah perbincangan para ulama mengenai masalah zakat profesi atau
pekerjaan-pekerjaan yang tidak diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara
mereka akhirnya menggunakan (masodir islamiyyah) yaitu qiyas juga, akan tetapi
penggunaanya dengan tanpa aturan yang konsisten. Sebagian kaum modernis yang
menolak qiyas mereka menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Bahkan ada
yang mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian, zakat emas dan perak,
dan zakat perdagangan. disamping itu juga tidak dapat menyelesaikan
kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika seseorang melakukan istidlal
(memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash Al-Quran dan hadis mengenai
Al-masail al- lafzhiyah seperti makna lughuwi (bahasa) makna ‘urfi
(kebiasaan),makna haqiqi (sebenarnya)dan majazi (bukan sebenarnya), makna ‘am
dan khash dan sebagainya, mukhtalaf al- hadits, penentuan keshahihan hadits, qawaid
ushul al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan penafsiran nash
tidak mendapat perhatian. Akibat persoalan tersebut, orang tidak lagi bisa
memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Oleh karena itu perlu
diperhatikan tentang pentingnya penilaian kritis terhadap pendekatan pada ilmu
fiqih (hukum syara’)
Menelaah literatur fikih pada zaman klasik, dan antisipasi tantangan fikih
pada masa-masa mutaakhir (sekarang), banyak tantangan dalam intern fikih itu
sendiri, untuk selalu eksis menjawab tantangan zaman. Tanpa disadari bahwa
modernisasi telah menjungkirbalikkan budaya termasuk di bidang fiqih. Sebab,
pada esensinya adanya modernisasi yang berkembang dewasa ini adalah memang di
picu dan di belakangi oleh orang-orang orentalis dan kapitalis barat . hal
seperti ini mereka lakukan, untuk melumpuhkan budaya-budaya yang masih berbau
Islam diseluruh belahan dunia. Sehingga, dari implikasi ini, dapat dibuktikan
bahwa budaya luhur Islam sudah semakin rapuh, bahkan tidak ada yang simpati lagi.
Pada situasi saat ini, tantangan demi tantangan harus dihadapi oleh fikih
khususnya,sebab pada era mutaakhir ini, banyak orang-orang telah mengabaikan
fikih, mereka telah dipengaruhi oleh dokrtin-doktrin dan ajaran-ajaran
kapitalisme dan sekulerisme yang sangat mengakar pada pemikiran umat saat ini.
Lebih ironis lagi, mereka beranggapan bahwa fikih pada saat ini sudah tidak
relefan lagi. Dan fikih (fersi ulama’ salaf) yang teosentris tidak bisa menjwab
tantangan zaman di kalangan masyarakat, dan terkesan pasif, kuno, konserfatif
dan tidak realistis. Mereka, orang yang alergi fikih itu menghimbau pada
Pakar-pakar fikih, agar mengadakan rehabilitasi fikih, sesuai dengan
perkembangan zaman di era modern dewasa ini. Sebab, fikih haruslah universal,
toleran, tidak kaku seperti fikih doktrin ulama’ salaf. Selayaknya fikih
berprinsip pada cermin didalam Islam “permudahlah jangam dipersusah” tidak
membikin bingung dan rumit umat islam
Banyak cendekiawan muslim yang punya gagasan agar merombak atau
mengkonstruksi fikih, tidak terlalu monoton pada fersi empat mazhab, Sebab,
mereka beralasan, bahwa Para Imam Mujtahid Mutlak, memprodak hukum melalui
ijtihad. Sedangkan ijtihad tidak semua benar karena bersifat dzon (sangkaan).
Ooleh karena itu semua orang pun mampu berbuat ijtihat seperti halnya ulama
zaman dulu, dan sekarang ijtihad ulama salaf dimungkinkan sudak tidak layak di
aplikasikan lagi di tengah-tengah masyarakat modern seperti sekarang,
fikih sudah mengalami banyak kemunduran. Sebab, kader-kader fikih yang profesional
tidak seperti pemotor fikih pada fase pertama dan penerusnya (di masa keemasan
fiqih dulu). Kemunduran dalam fikih memang dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama
semakin minimnya kader fikih yang berkualitas dan punya kapabilitas dan
kredibelitas untuk selalu menggali hukum yang bisa penyebab berlangsungnya
fikih, berkenaan dengan problematika sosial yang terus bermuculan saat ini. Kedua
kurangnya kader-kder yang tertarik dan simpati pada fikih. Dari pelbagai
lapisan masyarakat banyak yang dipengaruhi oleh doktrin-doktrin orang-orang
kapitalis barat. Ketiga sugesti atau keyakinan dan motifasi pada orang
yang ingin memperdalam fikih sudah musnah, dikarenakan tidak adanya jaminan
material sama sekali dalam orientasi fikih, semuanya hanya semata-mata krena
Allah.
Nabi saw. Telah menegaskan. Bahwa, orang yang di kehendaki baik oleh Allah,
niscaya dia akan Allah menganugrahi faham dan mengerti tentang agama(man
yudid allohu bihi khoiron yufaqqihu fi ad dien). Dan faham terhadap agama
ini adalah yang disebut dengan (fiqih).oleh karena itu jika seseorang sudah
tidak lagi mengetahui tentang permasalahan agama khususnya ilmu fiqih apakah
hukum masih bisa membetulkannya?, apalagi sampai menghujjah pada peminatnya,
tentu orang tersebut harus dipertanyakan ke Islamannya. Jadi, untuk zaman yang
sangat global ini, sebaiknya para generasi muda islam tetap lebih mementingkan
keberlangsungan fikih secara konsisten untuk selalu eksis sepanjang masa. Dan
ketika dibutuhkannya SDM yang punya kapabilitas dan kredibilitas yang baik
untuk selalu merekontruksi ke berlangsungan fikih di sepanjang zaman akan
terjawab dengan mudah, dan harus berupaya membendung serangan-serangan kotor
liberalisme, kapitalisme dan sekulerisme yang semakin menjadi-jadi dewasa ini.
dengan tetap menghargai para salaf al-salih yang telah menyumbangkan
ilmunya terhadap khazanah Islam dan tanpa mengkritik habis-habisan terhadap
karyanya,karena dari ulama-ulama itulah terciptanya disiplin-disiplin ilmu yang
kita pelajari sekarang ini,Peranan fiqih untuk selalu eksis sepanjang zaman dan
untuk masa depan fiqih ditengah-tengah himpitan sistem sekularisme sangat
ditentukan oleh kader-kader fiqih yang selalu konsisten dari zaman ke zaman,
dari masa kemasa. Dan Seharusnya para generasi muda lebih spontan menyikapi
masalah fikih pada saat ini yang sudah semakin jatuh bangun. Dan pada era yang
plural dan cukup panas ini, semestinya kader fiqih terus menerus lahir dan
tercipta sepanjang zaman, sehingga fiqih bisa menjadi jaya dan menjadi dambaan
bagi setiap orang, seperti pada masa clasik dulu. Sebab, sesuai keberadaannya
fiqih ini adalah suatu dasar bagi setiap orang untuk melangkah, melaksanakan
kegiatannya sehari-hari (amaliah), berinteraksi social (muamalah), berbisnis,
berbudaya, berpolitik dan lain sebagainya demi mengharap ridhoNya amiiiin.
B.
LATAR BELAKANG MUNCULNYA FIQH KONTEMPORER
Ada pun yang melatarbelakangi munculnya isu fiqh kontemporer menurut penulis ada beberapa hal diantaranya :
- akibat arus modrenisasi yang meliputi hamper sebagian besar Negara-negara yang dihuni mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modrenisasi tersebut, mangakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan social umat islam, baik yang menyangkut ideology politik, social, budaya dan sebagainya. Berbagai perobahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut terjadi karena aneka probahan tersebut banyak melahirkan symbol-symbol social dan kulturalyang secara eksplisit tidak memiliki oleh symbol keagamaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan modrenisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan.
- telah mapannya system pemikiran barat (hokum positif) di mayoritas negeri muslim secara faktual lebih mudah diterima dan diamalkan apa lagi sangat didukung oleh kekuatan yang bersifat structural maupun kultural, namun masyarakat islam dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan adanya semacam “kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis maupun politis. Tetapi karena belum terwujudnya konsepsi islam yang lebih kotekstual, maka dengan rasa ketidakberdayaan mereka mengikuti sja konsepsi yang tidak islami. Hal tersebut akhirnya menggugah naluri pakar hokum islam yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.
- masih terpakunya pemikiran fiqh klasik (lawan fiqh kentemporer) dengan pemahaman tekstual, adhoc dan persial, sehingga kerangka sistematika pengkajian tidak komprehensip dan actual, sekaligus kurang mampu beradaptasi debgan perkembangan.
C.
KAJIAN FIQH KONTEMPORER
.
Kajian fiqih kontemporer tersebut dapat di kategorikan
ke dalam beberapa aspek:
a. Aspek hokum keluarga, seperti: pembagian harta waris,
akad via telepon, perwakafan, nikah hamil, KB, dll.
b. Aspek ekonomi, seperti: Sistem bungan dala bank, zakat
mal dalam perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.
c. Aspek pidana, seperti: Hukum potong tangan, hokum
pidana islam dalam sistem nasional,dll.
d. Aspek kewanitaan, seperti: busana muslimah (jilbab),
wanita karir, kepemimpinan wanita, dll.
e. Aspek medis, seperti: pencakokan bagian organ tubuh,
pembedaha mayat, kontasepsi mantap, rekayasa genetika, pemilihan jenis kelamin,
ramalan genetika, konseling genetika, perubahan genetika, revolusi biologik,
cloning, percobaan dengan tububh manusia, penyeberang jenis kelamin dari pria
ke waniat atau sebaliknya, kornea mata, bayi tabung, bank susu, bank darah,
bank sperma, vasektomi dan tubektomi dalam aneak variasinya, transfuse darah,
insemniasi sperma manusia denag hewan, dll.
f. Aspek teknologi, seperti: penyembelihan hewan secara
mekanis, seruan azan atau basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau
televise, memberi salam dengan bel, penggunaan hisab dengan meninggalkan
rykyat, dll.
g. Aspek politik (kenegaraan) yakni tentang perdebatan
sekitar istilah ‘negara islam’ proses pemilhan pemimpin, loyalitas kepada
penguasa, dsb.
h. Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah,
seperti,; tabungan haji, tayamum dengan selain tanah (debu), ibadah qurban
debgan uang, menahan haid karena demi ibadah haji, dan lian-lain.
D.
KEGUNAAN
FIQIH KONTEMPORER
Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan
datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut
disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin terungkapnya
berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama maupun dengan
kehidupan alam sekitarnya.
Kompleksitas masalah tersebut tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah
berdasarkan nilai-nilai agama. Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal
moral maupun formal dari fiqih kontemporer tersebut, yang tidak lain bertujuan
untuk menjaga keutuhan nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman, terutama yang
menyangkut dengan aspek lahiriyah kehidupan manusia di dunia ini
Pembahasan aktual mengenai berbagai masalah fiqih
kontemporer memang sangat dibutuhkan dan dinantika oleh masyarakat Indonesia
dewasa ini, mengingat bahwa persoalan zaman akan senatiasa baru dan tantangan
masalah aktual fiqh semakin banyak, sementara nash-nash (teks-teks dalil al-Qur’an
dan Sunnah) jumlahnya tetap dan terbatas yang tidak mungkin bertambah lagi
(al-Qadhaya al-Fiqhiyah mutajaddah wa mutazayidah wan nushush tsabitah wa
mufanahiyah). Dalam hal ini tentunya sangat dibutuhkan kemampuan dan ketekunan
utjihad dalam mengelaborasikan dan mereaktualisasikan penafsiran berbagai dalil
dan kaidah syariah secara relevan terhadap berbagai masalah aktual fiqhiyah
tersebut, sehingga pada akhirnya mampu menjawab dengan kematangan hikmah, penuh
arif, dan bijak dengan tetap berpegang teguh dan unsur ashalah (prinsip dan
kaidah syariah yang disepakati ulama) dalam bentuk kajian ilmiah intergral yang
menggabungkan aspek bahasa komunikasi populer (bilisani qaumihin), gaya
fleksibel (munnah), penguasaan luas masalah aktual (mu’ashir), pendekatan
persuasip dakwah (da’awiyah) dan ghirah dinamika gerakan (harakiyah).Dengan
demikian fiqh atau syariat Islam dapat tampil dengan membumi selalu relevan dan
aktul dengan tuntutan zaman.
E.
TUJUAN FIQH
KONTEMPORER
Dr. Yusuf Qardlawi dalam salah satu kitabnya secara implisit mengngkapkan
betapa perlunya fiqh kontemporer ini.
· Dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar itu, yimbul
pertanyaan bagi kita, mampukah ilmu fiqh menghadapi zaman medren?. Masih
relevankah hokum islam -yang lahir 14 abad silam- diterapkan sekarang?. Tentu
saja kita, sebagai muslim, akan menjawabnya. Hokum islam mampu menghadapi
zaman, dan masih relevan untuk ditrapkan “tidak asal bicara, memang. Tapi,
untuk menuju kesana, perlu syarat yang harus dijalani secara konsekuen. Untuk
merealisir tujuan penciptaan fiqh kontemporer tersebut Qardlawi menawarkan
konsep ijtihad; ijtihad yang perlu du buka kembali. Manapaak-tilasi apa yang
telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan dengan hokum
kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.
Berikut ini kita
uraikan pula pandangan Prof. Said Rramadan tentang hal serupa.
· Semua pendapat yang harus di timbang dengan kriteria
Al-Qur’an dan sunnah. Dan semua manusia sesudah Rasulullah dapat berbuat
keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada teks yang mengikat, maka pertimbangan
masalah sajalah yang mengikat; dan bahwa aturan demi maslahah dapat berubah
bersama perubahan keadaan dan masa, terdahulu: “Di mana dad maslahah di sanalah
letak jalan Allah”. Prebedaan antara syari’ah (sebagaimana tercantum
dalam Al-Qura’an dan sunnah) yang mengikat abadi dengan detail-detail yang
diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya memeberikan pengaruh yang sangat sehat
terhadap ummat islam pada zaman ini.
Dari pernyataan S. Ramadan diatas dapat kita ambil kesimpulan khususnya
berkenaan dengan munculnya isu fiqih kontemporer tersebut, yakni: bagaimanapu
pemikiran ulama bias di pertanyakan kembali berdasarkan kriteria al-qur’an dan
sunnah di sisi lain pertimbangan maslahah dapat di jadikan rujukan dalam upaya
penyesuaian fiqih dengan zaman yang berkembang. Terakhir, perbedaan antara
syari’ah dengan fiqih menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqih kontemporer.
Demikianlah sekelumit beberapa latar belakang munculnya isu fiqih kontemporer
yang dapat penulis kemukakan.
Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga zaman,
yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman ini disebut juga oleh beliau sebagai
zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad XIII-XVIII dan zaman
modern (kontemporer) abad XIX-? . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih klasik
yang di maksud adalah pola pemahaman fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih
kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih abad XIX dan seterusnya. Yang menjadi
fokus kajian disini adalah; adakah relevansinya antara pola pemahaman fiqih
kontemporer dengan fiqih klasik, lalu di mana letak relevansi pemahaman antara
kedua zaman tersebut?
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait
langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang
kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat nabi terutama Umar
bin Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab
fiqih seperti Malik ibn anas, Abu hanafiah, Syafi’i, dan ibn hambal. Juga oleh
para mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-huzail, Al-jubba’i,
Al-asy’ari, Al-maturidi, dan Al-ghozali.
Sedangkan pemikiran zaman pertengahan, berbeda dengan pemikiran zaman
klasik, menjadi terikat sekali dengan hasil pemikiran para ulama zaman klasik.
Ruang geraknya sempit, pemikiran rasional diganti dengan pola pemikiran
tradisional. Dalam menghadapi maslah-masalah baru mereka tidak lagi secara
langsung menggali ke al-qur’an dan hadist tetapi lebih banyak terikat denga
produk pemikiran ulama abad klasik. Sehingga orisinalitas pemikiran semakin
berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu
beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Corak pemikiran ini menampilkan sosok ulama islam abad pertengahan dengan
pola [enalaran fiqih yang tradisional. Di zaman modern inipun masih banyak umat
islam yang terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahan tersebut hanya
sebagian kecil yang sudah mulai memakai pola pemikiran rasional zaman klasik.
Sebenarnya bila umat islam ingin maju dan punya kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan zaman modern, pola permikiran rasional para sahabat
dan ulama klasik sudah selayaknya untuk dikembangkan lagi disinilah letak
relevansinya antar fiqih kontemporer dengan
fiqih klasik
nantinya, yakni relevan dalam pola penalaran fiqhiyahnya, walaupun akan
menghasilkan produk fiqih yang berbeda karena perbedaan situasi dan kondisi
yang ada.
Yang dimaksud
dengan ruang lingkup kajian fiqih kontemporer disini mencakup: pertama,
masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi kontempoerer (modern).
Kedua, wilayah kajian dalam alqur-an dan hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin , Bey , Terjemah Sunan An-Nasai, Semarang
: CV Syi Syifa, 1992
Qardhowi , Yusuf , Fatwa – fatwa Kontenporer, Jakarta
: Gema Insani Press, 1996
_______________, Tuntunan Membangun Masjid , Jakarta :
Gema Insani , 1998
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah , Depok :
Al-Quran Tajwid , 2008
Saleh , Hasan , Kajian Fiqh Nawawi & Fiqh
Kontemporer , Jakarta : Rajawali Press , 2008
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,Jakarta: Gema
Insani Press, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar