Kamis, 31 Januari 2013

Fiqh Pembaharuan

Add caption

FIQH KONTEMPORER

A.   PENGERTIAN
Masalah fiqh kontemporer adalah suatu bidang kajian yang membicarakan perihal persoalan-persoalan Hukum Islam Ijtihadiyah yang secara nyata muncul pada dewasa ini dengan menerapkan metode istimbat hukum dan analisa ilmiah serta pendekatan yang tepat dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan kemaslahatan manusia dunia-akhirat. Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan-persoalan fiqh yang berkembang dan tentu memerlukan jawaban untuk kepentingan kini dan yang akan datang.Telah banyak produk-produk pemikiran cerdas dalam bidang fiqh yang diformulasikan para fugaha, namun perlu dievaluasi secara berkelanjutan agar tidak kehilangan relansinya.
 Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqih dari zaman kenabian yang disebut dengan Periode risalah dan dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). sekiranya pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syariat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW sendiri,hingga sampailah perkembangannya pada zaman moderen ini yang ditandai dengan pemikiran-pemikiran ulama yang mengacu pada tuntunan situasi dan zaman,pergesera-pergeseran pemikiran inilah yang mengacu timbulnya pengaruh terhadap konteks fiqih,yaitu dengan mengandalkan pemikiran fiqih antropologis dan rasionalitas hukum, dan menolak pemikiran skripturalisme, yaitu aliran yang berpegang kepada teks-teks syari’at secara kaku,ini disebabkan karena manusia pada zaman dulu sangat jauh berbeda dengan manusia pada zaman sekarang,pemahaman ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, spirit hukum Islam, maqashid syar’iyah dan sebagainya. faktor yang terpenting terhadap perubahan litertur fiqih teosentris menjadi antroposentis atau fiqih moderen adalah karena sangat banyak paradigma-paradigma baru ditengah tengah literatur masyarakat yang tidak mampu dijawab oleh teks alquran dan hadis secara teosentris dan munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman. Oleh karena itu konsep pemikiran ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam. sekaligus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat tersebut. Berbagai upaya rekonstruksi fiqh di dunia Islam sekarang ini merupakan wujud dari konsep penggambaran kebutuhan masyarakat secara sosial politik maupun global kepada hukum syara’ (fiqih). Sekitar akhir abad ke-19 timbullah benih benih pergeseran paradigma cara pengambilan hukun syara’ (fiqih) dengan munculnya berbagai pemikiran di kalangan ulama ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai dengan keadaan masyarakat secara rasional. maka pada tahun 1333 H sebagai salah satu contoh efek dri perkembangan pemikiran tersebut pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Bahkan pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang diambil dan disaring dari pendapat dari berbagai kitab fiqh madzhab. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum yang boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai tempat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial politik maupun global,oleh karena itu upaya penerapan hukum Islam secara rasionalitas dan penyesuaian dengan kondisi masyarakat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum-hukum yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Awal perkembangan ini dimulai oleh ide-ide dan pemikiran-pemikiran syeikh jamaluddin Al-Afgan dan disambung oleh muridnya Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Muhammad Rasid Ridha dan ulama ulama lainnya yang menawarkan literatur pemikiran baru atau moderen kepada umat dengan penggunaan akal (rasionalitas) secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas,problema yang dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah kembali fiqh yang ada yaitu yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran nash-nash tetapi juga metode pengambilan keputusan hukum (istinbath). Dalam istilah fiqh, yang harus ditinjau bukan saja al-adillat al-syar’iyat, tetapi juga ushul al-fiqh.bahkan ada sebagian penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW saja melainkan juga berdasarkan pertimbangan tujuan syara’ (maqasid as syariyyah) dalam penetapan hukum. Sebagaian dari bentuk bentuk bukti adanya pergeseran paradigma pemikiran fiqih menjadi semakin jelas ketika Sayid Jamaluddin al-Afghani mengenalkan pemikirannya kepada masyarakat Islam, beliau Menyadarkan umat Islam mengenai kewajiban mereka terhadap agama dan melaksanakan syariat Allah SWT.dengan menawarkan ide ide islah (Bahasa Arab: إصلاح) yang artinya pembaikan atau perubahan terancang ke arah yang lebih baik lagi,yang beliau rancang untuk pembaharuan umat. Bentuk-bentuk Islah yang dibawa oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani diantaranya berupa usaha untuk mengembalikan kecemerlangan umat Islam sebagaimana zaman khulafaurrasidin yang mengunakan kecerdasan ilmu dan akalnya,dan juga mengkritik taklid Al-A’ma (Bahasa Arab: تقليد الأعمى yaitu bermaksud mengikuti sesuatu ajara atau madzhab secara membabi buta) tanpa berlandaskan al-Quran dan al-Sunnah. Dan menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran Islam yang murni serta sesuai, dalam artian dapat dilaksanakan sepanjang masa dan tempat (menembus batas), bahkan menyadarkan umat Islam tentang keburukan fanatik kepada sesuatu madzhab yang membawa kepada pepecahan umat Islam sendiri, lalu ide-idea beliau disambung lagi oleh muridnya syekh Muhammad Abduh dan syekh Muhammad Rasid Rihdo, Seperti halnya syeikh jamaluddin al-afgan Syeikh Muhammad Abduh pun menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran sebenar benarnya dalam bentuk yang asal dan murni serta menyesuaikannya berdasarkan kehendak zaman dengan tidak keluar dari quran dan sunnah. Beliau menolak sekeras-kerasnya konsep Taqlid al-A’ma (Bahasa Arab: ليد الأعمىتق) atau taklid buta. Beliau mengajak umat Islam mempelajari ilmu-ilmu fardu kifayah untuk membina umat agar mempunyai daya fikir yang tinggi dan seterusnya mampu keluar daripada belenggu taqlid. Seikh muhammad Rasid Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh, seperti halnya penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas. Misalnya Ridha menolak hadis Bukhari yang menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matan hadis tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau Hisyam, salah seorang perawi hadis ini mendapat sorotan dan ditolak (mardud) oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya bahwa abu hurairah pada saat itu sudah pikun saat menceritakan hadis itu pada A’war al-Mashish.
Syeik Rasid Ridha juga mempersempit penafsiran akan mengenai hal-hal yang berbau ghaib, misalnya dia menganggap bakteri adalah termasuk bagian dari jin yang mampu membuat orang terkena penyakit, sebagaimana penafsirannya atas surah al-Baqarah ayat 275. Rasyid Ridha sama seperti Abduh, sangat berhati-hati menerima riwayat yang mengemukakan pendapat para sahabat Nabi,baik Abduh maupun Ridha sendiri,dari itulah mulai timbul semangat umat untuk mengkonsep fikih lebih jauh lagi, menurut Prof.DR.Quraish Shihab Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha adalah perintis jalan menuju kesempurnaan dan pembaharuan terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar yang pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menurut beliau disitu mencoba menampilkan al-Qur’an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern masa kini, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh terutama madzhab yang empat sebagai satu himpunan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab yang fanatis mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup sampai kapanpun. Suara vokal (pendapat) Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah inilah kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M,1201 H./1787 M, pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani (dari kalangan syi’ah). Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid’ah yang harus dihindari, bahkan tidak ada satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ‘i dan Imam Ahmad bin Hanbali) membolehkannya. mulai saat itu,konsep kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, akan tetapi telah mengambil bentuk metode kajian komparatif dari berbagai mazhab, yaitu yang dikenal sekarang ini dengan istilah fiqh muqaran.Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) sifat perbandingan yang mereka kemukakan dalam kitabnya itu sebenarnya tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali dengan fenomena masa kini. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi baik dari segi nash (tekstualitas) maupun rasio (rasionalitas), serta disertakannya pembahasan (munaqasah) dari kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca khususnya masyarakat awam dan pelajar dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil secara logis. Metode seperti ini sedikit ditiru oleh ulama ulama sekarang seperti salah satu contoh Syaikh Sayyid sabik beliau mengambil metode yang membuang jauh-jauh fanatisme madzhab tetapi dengan tidak menjelek-jelekkannya. Beliau tetap berprinsip pada dalil-dalil naqli (Kitabullah), As-Sunnah dan Ijma’ para ulama, juga mempermudah gaya bahasa tulisannya untuk bisa dicerna pembaca, menghindari istilah-istilah yang gorib (runyam), tidak bertele tele dalam mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih cenderung untuk memudahkan dan mempraktiskannya demi kepentingan umat agar mereka senang kepada ilmu agama dan menerimanya dengan rasional. Beliau juga antusias untuk menjelaskan hikmah dari pembebanan syari’at (taklif) dengan meneladani secara analisis konteks al-Qur’an dalam memberikan alasan hukum, tetapi ada kalanya sebagian fanatisan madzhab mengkritik buku metode pemikiran beliau dan menilainya bahwa metode seperti itu mengajak seseorang kepada “tidak bermadzhab” yang pada akhirnya menjadi jembatan menuju ketidak beragamaan dan perdebatan. Akhirnya pada zaman modern sekarang ini, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal dan menjadi jadi, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat (kaum orientalis) sehingga terciptanya faham “liberalisme”. Seperti telah diketahui bahwa terbukti pemikiran fikih klasik yang teosentris tidak dapat menjawab berbagai permasalah-permasalahan kontemporer di zaman moderen,salah satu contohnya adalah perbincangan para ulama mengenai masalah zakat profesi atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara mereka akhirnya menggunakan (masodir islamiyyah) yaitu qiyas juga, akan tetapi penggunaanya dengan tanpa aturan yang konsisten. Sebagian kaum modernis yang menolak qiyas mereka menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Bahkan ada yang mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian, zakat emas dan perak, dan zakat perdagangan. disamping itu juga tidak dapat menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika seseorang melakukan istidlal (memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash Al-Quran dan hadis mengenai Al-masail al- lafzhiyah seperti makna lughuwi (bahasa) makna ‘urfi (kebiasaan),makna haqiqi (sebenarnya)dan majazi (bukan sebenarnya), makna ‘am dan khash dan sebagainya, mukhtalaf al- hadits, penentuan keshahihan hadits, qawaid ushul al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan penafsiran nash tidak mendapat perhatian. Akibat persoalan tersebut, orang tidak lagi bisa memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Oleh karena itu perlu diperhatikan tentang pentingnya penilaian kritis terhadap pendekatan pada ilmu fiqih (hukum syara’)
Menelaah literatur fikih pada zaman klasik, dan antisipasi tantangan fikih pada masa-masa mutaakhir (sekarang), banyak tantangan dalam intern fikih itu sendiri, untuk selalu eksis menjawab tantangan zaman. Tanpa disadari bahwa modernisasi telah menjungkirbalikkan budaya termasuk di bidang fiqih. Sebab, pada esensinya adanya modernisasi yang berkembang dewasa ini adalah memang di picu dan di belakangi oleh orang-orang orentalis dan kapitalis barat . hal seperti ini mereka lakukan, untuk melumpuhkan budaya-budaya yang masih berbau Islam diseluruh belahan dunia. Sehingga, dari implikasi ini, dapat dibuktikan bahwa budaya luhur Islam sudah semakin rapuh, bahkan tidak ada yang simpati lagi. Pada situasi saat ini, tantangan demi tantangan harus dihadapi oleh fikih khususnya,sebab pada era mutaakhir ini, banyak orang-orang telah mengabaikan fikih, mereka telah dipengaruhi oleh dokrtin-doktrin dan ajaran-ajaran kapitalisme dan sekulerisme yang sangat mengakar pada pemikiran umat saat ini. Lebih ironis lagi, mereka beranggapan bahwa fikih pada saat ini sudah tidak relefan lagi. Dan fikih (fersi ulama’ salaf) yang teosentris tidak bisa menjwab tantangan zaman di kalangan masyarakat, dan terkesan pasif, kuno, konserfatif dan tidak realistis. Mereka, orang yang alergi fikih itu menghimbau pada Pakar-pakar fikih, agar mengadakan rehabilitasi fikih, sesuai dengan perkembangan zaman di era modern dewasa ini. Sebab, fikih haruslah universal, toleran, tidak kaku seperti fikih doktrin ulama’ salaf. Selayaknya fikih berprinsip pada cermin didalam Islam “permudahlah jangam dipersusah” tidak membikin bingung dan rumit umat islam
Banyak cendekiawan muslim yang punya gagasan agar merombak atau mengkonstruksi fikih, tidak terlalu monoton pada fersi empat mazhab, Sebab, mereka beralasan, bahwa Para Imam Mujtahid Mutlak, memprodak hukum melalui ijtihad. Sedangkan ijtihad tidak semua benar karena bersifat dzon (sangkaan). Ooleh karena itu semua orang pun mampu berbuat ijtihat seperti halnya ulama zaman dulu, dan sekarang ijtihad ulama salaf dimungkinkan sudak tidak layak di aplikasikan lagi di tengah-tengah masyarakat modern seperti sekarang,
fikih sudah mengalami banyak kemunduran. Sebab, kader-kader fikih yang profesional tidak seperti pemotor fikih pada fase pertama dan penerusnya (di masa keemasan fiqih dulu). Kemunduran dalam fikih memang dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama semakin minimnya kader fikih yang berkualitas dan punya kapabilitas dan kredibelitas untuk selalu menggali hukum yang bisa penyebab berlangsungnya fikih, berkenaan dengan problematika sosial yang terus bermuculan saat ini. Kedua kurangnya kader-kder yang tertarik dan simpati pada fikih. Dari pelbagai lapisan masyarakat banyak yang dipengaruhi oleh doktrin-doktrin orang-orang kapitalis barat. Ketiga sugesti atau keyakinan dan motifasi pada orang yang ingin memperdalam fikih sudah musnah, dikarenakan tidak adanya jaminan material sama sekali dalam orientasi fikih, semuanya hanya semata-mata krena Allah.
Nabi saw. Telah menegaskan. Bahwa, orang yang di kehendaki baik oleh Allah, niscaya dia akan Allah menganugrahi faham dan mengerti tentang agama(man yudid allohu bihi khoiron yufaqqihu fi ad dien). Dan faham terhadap agama ini adalah yang disebut dengan (fiqih).oleh karena itu jika seseorang sudah tidak lagi mengetahui tentang permasalahan agama khususnya ilmu fiqih apakah hukum masih bisa membetulkannya?, apalagi sampai menghujjah pada peminatnya, tentu orang tersebut harus dipertanyakan ke Islamannya. Jadi, untuk zaman yang sangat global ini, sebaiknya para generasi muda islam tetap lebih mementingkan keberlangsungan fikih secara konsisten untuk selalu eksis sepanjang masa. Dan ketika dibutuhkannya SDM yang punya kapabilitas dan kredibilitas yang baik untuk selalu merekontruksi ke berlangsungan fikih di sepanjang zaman akan terjawab dengan mudah, dan harus berupaya membendung serangan-serangan kotor liberalisme, kapitalisme dan sekulerisme yang semakin menjadi-jadi dewasa ini. dengan tetap menghargai para salaf al-salih yang  telah menyumbangkan ilmunya terhadap khazanah Islam dan tanpa mengkritik habis-habisan terhadap karyanya,karena dari ulama-ulama itulah terciptanya disiplin-disiplin ilmu yang kita pelajari sekarang ini,Peranan fiqih untuk selalu eksis sepanjang zaman dan untuk masa depan fiqih ditengah-tengah himpitan sistem sekularisme sangat ditentukan oleh kader-kader fiqih yang selalu konsisten dari zaman ke zaman, dari masa kemasa. Dan Seharusnya para generasi muda lebih spontan menyikapi masalah fikih pada saat ini yang sudah semakin jatuh bangun. Dan pada era yang plural dan cukup panas ini, semestinya kader fiqih terus menerus lahir dan tercipta sepanjang zaman, sehingga fiqih bisa menjadi jaya dan menjadi dambaan bagi setiap orang, seperti pada masa clasik dulu. Sebab, sesuai keberadaannya fiqih ini adalah suatu dasar bagi setiap orang untuk melangkah, melaksanakan kegiatannya sehari-hari (amaliah), berinteraksi social (muamalah), berbisnis, berbudaya, berpolitik dan lain sebagainya demi mengharap ridhoNya amiiiin.

B.   LATAR BELAKANG MUNCULNYA FIQH KONTEMPORER

            Ada pun yang melatarbelakangi munculnya isu fiqh kontemporer menurut penulis ada beberapa hal diantaranya :
  1. akibat arus modrenisasi yang meliputi hamper sebagian besar Negara-negara yang dihuni mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modrenisasi tersebut, mangakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan social umat islam, baik yang menyangkut ideology politik, social, budaya dan sebagainya. Berbagai perobahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut terjadi karena aneka probahan tersebut banyak melahirkan symbol-symbol social dan kulturalyang secara eksplisit tidak memiliki oleh symbol keagamaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan modrenisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan.
  2. telah mapannya system pemikiran barat (hokum positif) di mayoritas negeri muslim secara faktual lebih mudah diterima dan diamalkan apa lagi sangat didukung oleh kekuatan yang bersifat structural maupun kultural, namun masyarakat islam dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan adanya semacam “kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis maupun politis. Tetapi karena belum terwujudnya konsepsi islam yang lebih kotekstual, maka dengan rasa ketidakberdayaan mereka mengikuti sja konsepsi yang tidak islami. Hal tersebut akhirnya menggugah naluri pakar hokum islam yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.
  3. masih terpakunya pemikiran fiqh klasik (lawan  fiqh kentemporer) dengan pemahaman tekstual, adhoc dan persial, sehingga kerangka sistematika pengkajian tidak komprehensip dan actual, sekaligus kurang mampu beradaptasi debgan perkembangan.
C.   KAJIAN FIQH KONTEMPORER
.      Kajian fiqih kontemporer tersebut dapat di kategorikan ke dalam beberapa aspek:
a.       Aspek hokum keluarga, seperti: pembagian harta waris, akad via telepon, perwakafan, nikah hamil, KB, dll.
b.      Aspek ekonomi, seperti: Sistem bungan dala bank, zakat mal dalam perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.
c.       Aspek pidana, seperti: Hukum potong tangan, hokum pidana islam dalam sistem nasional,dll.
d.      Aspek kewanitaan, seperti: busana muslimah (jilbab), wanita karir, kepemimpinan wanita, dll.
e.       Aspek medis, seperti: pencakokan bagian organ tubuh, pembedaha mayat, kontasepsi mantap, rekayasa genetika, pemilihan jenis kelamin, ramalan genetika, konseling genetika, perubahan genetika, revolusi biologik, cloning, percobaan dengan tububh manusia, penyeberang jenis kelamin dari pria ke waniat atau sebaliknya, kornea mata, bayi tabung, bank susu, bank darah, bank sperma, vasektomi dan tubektomi dalam aneak variasinya, transfuse darah, insemniasi sperma manusia denag hewan, dll.
f.       Aspek teknologi, seperti: penyembelihan hewan secara mekanis, seruan azan atau basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televise, memberi salam dengan bel, penggunaan hisab dengan meninggalkan rykyat, dll.
g.      Aspek politik (kenegaraan) yakni tentang perdebatan sekitar istilah ‘negara islam’ proses pemilhan pemimpin, loyalitas kepada penguasa, dsb.
h.      Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti,; tabungan haji, tayamum dengan selain tanah (debu), ibadah qurban debgan uang, menahan haid karena demi ibadah haji, dan lian-lain.
D.   KEGUNAAN FIQIH KONTEMPORER
Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin terungkapnya berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama maupun dengan kehidupan alam sekitarnya.
Kompleksitas masalah tersebut tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama. Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih kontemporer tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman, terutama yang menyangkut dengan aspek lahiriyah kehidupan manusia di dunia ini  
Pembahasan aktual mengenai berbagai masalah fiqih kontemporer memang sangat dibutuhkan dan dinantika oleh masyarakat Indonesia dewasa ini, mengingat bahwa persoalan zaman akan senatiasa baru dan tantangan masalah aktual fiqh semakin banyak, sementara nash-nash (teks-teks dalil al-Qur’an dan Sunnah) jumlahnya tetap dan terbatas yang tidak mungkin bertambah lagi (al-Qadhaya al-Fiqhiyah mutajaddah wa mutazayidah wan nushush tsabitah wa mufanahiyah). Dalam hal ini tentunya sangat dibutuhkan kemampuan dan ketekunan utjihad dalam mengelaborasikan dan mereaktualisasikan penafsiran berbagai dalil dan kaidah syariah secara relevan terhadap berbagai masalah aktual fiqhiyah tersebut, sehingga pada akhirnya mampu menjawab dengan kematangan hikmah, penuh arif, dan bijak dengan tetap berpegang teguh dan unsur ashalah (prinsip dan kaidah syariah yang disepakati ulama) dalam bentuk kajian ilmiah intergral yang menggabungkan aspek bahasa komunikasi populer (bilisani qaumihin), gaya fleksibel (munnah), penguasaan luas masalah aktual (mu’ashir), pendekatan persuasip dakwah (da’awiyah) dan ghirah dinamika gerakan (harakiyah).Dengan demikian fiqh atau syariat Islam dapat tampil dengan membumi selalu relevan dan aktul dengan tuntutan zaman.
E.   TUJUAN FIQH KONTEMPORER
Dr. Yusuf Qardlawi dalam salah satu kitabnya secara implisit mengngkapkan betapa perlunya fiqh kontemporer ini.

·         Dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar itu, yimbul pertanyaan bagi kita, mampukah ilmu fiqh menghadapi zaman medren?. Masih relevankah hokum islam -yang lahir 14 abad silam- diterapkan sekarang?. Tentu saja kita, sebagai muslim, akan menjawabnya. Hokum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk ditrapkan “tidak asal bicara, memang. Tapi, untuk menuju kesana, perlu syarat yang harus dijalani secara konsekuen. Untuk merealisir tujuan penciptaan fiqh kontemporer tersebut  Qardlawi menawarkan konsep ijtihad; ijtihad yang perlu du buka kembali. Manapaak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan dengan hokum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.

Berikut ini kita uraikan pula pandangan Prof. Said Rramadan tentang hal serupa.

·         Semua pendapat yang harus di timbang dengan kriteria Al-Qur’an dan sunnah. Dan semua manusia sesudah Rasulullah dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada teks yang mengikat, maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat; dan bahwa aturan demi maslahah dapat berubah bersama perubahan keadaan dan masa, terdahulu: “Di mana dad maslahah di sanalah letak jalan Allah”.  Prebedaan antara syari’ah (sebagaimana tercantum dalam Al-Qura’an dan sunnah) yang mengikat abadi dengan detail-detail yang diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya memeberikan pengaruh yang sangat sehat terhadap ummat islam pada zaman ini.

Dari pernyataan S. Ramadan diatas dapat kita ambil kesimpulan khususnya berkenaan dengan munculnya isu fiqih kontemporer tersebut, yakni: bagaimanapu pemikiran ulama bias di pertanyakan kembali berdasarkan kriteria al-qur’an dan sunnah di sisi lain pertimbangan maslahah dapat di jadikan rujukan dalam upaya penyesuaian fiqih dengan zaman yang berkembang. Terakhir, perbedaan antara syari’ah dengan fiqih menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqih kontemporer. Demikianlah sekelumit beberapa latar belakang munculnya isu fiqih kontemporer yang dapat penulis kemukakan.

Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga zaman, yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman ini disebut juga oleh beliau sebagai zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad XIII-XVIII dan zaman modern (kontemporer) abad XIX-? . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih klasik yang di maksud adalah pola pemahaman fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih abad XIX dan seterusnya. Yang menjadi fokus kajian disini adalah; adakah relevansinya antara pola pemahaman fiqih kontemporer dengan fiqih klasik, lalu di mana letak relevansi pemahaman antara kedua zaman tersebut?

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat nabi terutama Umar bin Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab fiqih seperti Malik ibn anas, Abu hanafiah, Syafi’i, dan ibn hambal. Juga oleh para mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-maturidi, dan Al-ghozali.

Sedangkan pemikiran zaman pertengahan, berbeda dengan pemikiran zaman klasik, menjadi terikat sekali dengan hasil pemikiran para ulama zaman klasik. Ruang geraknya sempit, pemikiran rasional diganti dengan pola pemikiran tradisional. Dalam menghadapi maslah-masalah baru mereka tidak lagi secara langsung menggali ke al-qur’an dan hadist tetapi lebih banyak terikat denga produk pemikiran ulama abad klasik. Sehingga orisinalitas pemikiran semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Corak pemikiran ini menampilkan sosok ulama islam abad pertengahan dengan pola [enalaran fiqih yang tradisional. Di zaman modern inipun masih banyak umat islam yang terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahan tersebut hanya sebagian kecil yang sudah mulai memakai pola pemikiran rasional zaman klasik.
Sebenarnya bila umat islam ingin maju dan punya kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan zaman modern, pola permikiran rasional para sahabat dan ulama klasik sudah selayaknya untuk dikembangkan lagi disinilah letak relevansinya antar fiqih kontemporer dengan
fiqih klasik nantinya, yakni relevan dalam pola penalaran fiqhiyahnya, walaupun akan menghasilkan produk fiqih yang berbeda karena perbedaan situasi dan kondisi yang ada.
Yang dimaksud dengan ruang lingkup kajian fiqih kontemporer disini mencakup: pertama, masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi kontempoerer (modern). Kedua, wilayah kajian dalam alqur-an dan hadist.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin , Bey , Terjemah Sunan An-Nasai, Semarang : CV Syi Syifa, 1992
Qardhowi , Yusuf , Fatwa – fatwa Kontenporer, Jakarta : Gema Insani Press, 1996
_______________, Tuntunan Membangun Masjid , Jakarta : Gema Insani , 1998
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah , Depok : Al-Quran Tajwid , 2008
Saleh , Hasan , Kajian Fiqh Nawawi & Fiqh Kontemporer , Jakarta : Rajawali Press , 2008
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,Jakarta: Gema Insani Press, 2003.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar