Rabu, 30 Januari 2013

Hukum Pidana Islam

PEMBAHASAN QIYAS (Oleh Ari arkanudin)
PEMBAHASAN



A.    Pengertian dan Unsur-unsur Qiyas.
     Secara harfiah, Qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang atau berat sesuatu, karena itulah mengapa skala disebut sebagai miqyas. Miqyas juga bermakna perbandingan dalam rangka memberi kesan kesamaan antara dua hal. Dengan demikian Qiyas memberi kesan kesamaan untuk mengukur yang lain.
Dari segi operasional, qiyas merupakan perluasan nilai syari’ah yang terdapat dalam kasus ashl terhadap kasus baru karena yang disebut terakhir mempunyai kausa hukum (‘illat) yang sama dengan yang disebut pertama. Kasus ashl ditentukan oleh nash yang ada dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesamaan kausa hukum (‘illat) antara kasus ashl dan kasus baru inilah maka penerapan Qiyas mendapat justifikasi.



Pemakaian Qiyas hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus baru tidak ditemukan dalam al-qur’an, sunnah atau ijma yang tergolong qath’i dan akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas jika kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang ada. Hanya dalam soal-soal yang belum terjawab oleh nushus dan ijma sajalah, hukum dapat dideduksi dari salah satu sumber ini melalui penerapan Qiyas. 
Dalam kitab al-Risalah karya Imam Syafi’i disana disebutkan bahwa Qiyas dalam pandangan beliau adalah sebuah metode berfikir yang dipergunakan untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada baik al-qur’an maupun sunnah. 
والقياس هو ما طلب الدلائل الموافقة على خبر المتقدم من الكتاب والسنة 
“Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-qur’an dan sunnah”.

Dalam konteks inilah, Imam syafi’i menilai bahwa Qiyas (Analogical Reasoning) memiliki tumpuan dasar (background) yang valid dari al-qur’an dan sunnah. Hal inilah yang membuat setiap hukum yang dihasilkan dari metode Qiyas ini benar-benar akurat dan memiliki nilai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Oleh karena pada dasarnya, qiyas merupakan perluasan dari hukum yang ada, maka para ahli hukum tidak mengakui qiyas sebagai proses pembentukan hukum yang baru. Qiyas adalah upaya untuk menemukan dan barangkali juga mengembangkan hukum yang telah ada, sekalipun qiyas memberi memberi potensi kreatifitas dan pengayaan tetapi pada dasarnya dimaksudkan untuk menentukan kesamaan dengan bunyi semangat al-qur’an dan sunnah.
Jumhur mendefinisikan Qiyas sebagai penerapan ketentuan hukum kasus ashl kepada kasus baru, dimana hukum tidak memberi komentar karena berlakunya kausa (‘illat) yang sama bagi keduanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa qualifikasi Qiyas menurut definisi diatas adalah :
1.      Adanya kasus ashl yang ketentuannya telah ada dalam nash.
2.      lahirnya kasus baru (furu’) atau sasaran penerapan ketentuan ashl.
3.      Adanya kausa (‘illat) hukum yang merupakan sifat dari kasus ashl dan ditemukan sama dengan kasus baru.
4.      adanya ketentuan hukum kasus ashl yang diperluas kepada kasus baru tersebut. 
B. Qiyas Dalam Hukum Pidana Islam.
            Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh diterapkan didalamnya metode Qiyas. Imam Syafi’i sebagai representer dari kalangan ini menambahkan bahwa penerapan Qiyas tidak semuanya boleh digunakan dalam setiap bidang hukum. Hal ini dibatasinya pada aspek ibadah dan jinayah. Dalam aspek ibadah, ketidakbolehan ini disebabkan oleh kausa hukum (‘illat) yang ada pada aspek ibadah itu ghairu ma’qulatil ma’na (irasional), karena sebagian besar hikmah yang diturunkan Allah dalam aspek ibadah seperti shalat, puasa, haji dll yang termasuk kategori mahdhah tidak dapat diketahui ‘illatnya sacara pasti dan rasional. Hal ini disebabkan keterbatasan rasio manusia untuk mencari hikmahnya, sedangkan dalam azas penerapan qiyas diketahui dan dipastikan bahwa ‘illat (kausa) hukum itu harus ma’qulatil ma’na (rasional). Kerangka inilah yang membuat qiyas tidak bisa diterapkan dalam aspek ibadah. 
            Adapun dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh sepakat bahwa ketidakbolehan penerapan qiyas ini disebabkan oleh adanya unsur spekulasi (syubhat) yang amat besar dalam pola penerapan azasnya. Hal ini bisa diketahui bahwa metode qiyas ini merupakan bagian dari unsur logika yang notabene menggunakan rasio sebagai satandar logis yang sifatnya relatif dan subyektif. Sehingga kerangka inilah yang membuat kontradiktif dengan azas penerapan hukum pidana yang lebih mengedepankan hak azasi manusia daripada menghukum sesorang tanpa kesalahan, sebagaimana dalam hadits :
ادرؤالحدود بالشبهات
               “Hindarilah hudud (Penerapan Sangsi) terhadap kasus-kasus yang meragukan”.

            Para fuqaha berbeda berbeda pendapat mengenai digunakannya qiyas dalam aspek jinayat. Diantara mereka ada yang menganggap sah menggunakan qiyas dalam hal tersebut, sementara yang lain menentangnya. Mereka yang menganggap sah memberikan argumentasi sebagai berikut :
1.    Adanya hadits nabi tentang pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman mengandung pengertian bahwa dalam menetapkan sebuah kasus harus merujuk kepada al-qur’an, sunnah serta ijtihad. Pencarian terakhir merupakan pernyataan umum, tidak mengenai detil sesuatu. Hal inilah yang menjadi dasar diperbolehkannya qiyas dalam aspek jinayat.
ketika para sahabat meminta fatwa dari ali mengenai jenis hukuman yang akan dijatuhkan bagi seorang pemabuk, ali menjawab : “ ketika seorang menonggak minuman keras, secara alami dia akan berbicara tidak karuan dan bisa jadi memfitnah orang, para sahabat kemudian menetapkan hukuman mefitnah bagi peminum khamar. dapat dilihat disini bahwa ali menurunkan hukuman bagi pemabuk dengan mengqiyaskan pada hukuman yang dijatuhkan bagi pemitnah, sehingga dalam hal ini tidak ada yang komplain sampai terjadinya konsensus (kesepakatan). 
Adapun sebagian mereka yang menentang Qiyas dalam aspek jinayat, memberi alasan dan argumentasi  sebagai berikut :
1.    Dalam kasus dimana penyebabnya tidak komprehensif sulit untuk menggunakan analogi.
      2.        qiyas mengandung resiko keraguan selanjutnya membawa kekeliruan sehinga menjadikan hudud tidak valid dan akurat.
Mereka yang menyetujui digunakannya qiyas tidak bermaksud menciptakan aturan baru yang tidak ada dalam nash. Yang mereka maksudkan adalah memperluas cakupan dari pelaksanaan suatu ketentuan, itulah mengapa Qiyas tidak bisa menjadi sumber hukum dalam hal jinayat. Secara sederhana, Qiyas merupakan suatu sumber interpretasi yang mendukung penentuan suatu perbuatan yang jatuh dalam jangkauan suatu ketentuan, seperti kasus sadomi diqiyaskan dengan kasus perzinahan.

Ulama Hanafi sepakat dengan jumhur yang mengatakan bahwa qiyas berlaku secara sah bagi ketentuan-ketentuan pidana ta’zir, tapi mereka tidak sepakat mengenai penerapan qiyas dalam ketentuan hudud dan  kaffarat. Sebagi contoh mereka tidak menarik analogi antara kata-kata hinaan (sabb) dan tuduhan fitnah (qazf) disamping tidak memperluas ketentuan tentang had zina dengan analogi kepada pidana seksual lainnya. Hal ini menurut mereka bisa dipidana dengan ta’zir tetapi tidak pada hudud. Alasan utama mereka adalah bahwa Qiyas ditentukan atas dasar ‘illat yang identifikasinya tentang hudud tergolong langkah spekulasi dan nonvaliditas. Ada sebuah hadits yang menyatakan “ Hindarilah hudud dalam kasus yang meragukan, apabila ada cara lain maka perjelaslah cara itu bagi soal-soal pidana, jika hakim membuat kesalahan karena memberikan pengampunan maka hal itu lebih baik daripada menghukum tanpa kesalahan”. 
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa adanya keraguan dalam menentukan ‘illat (kausa hukum) pidana had mencegah perluasan analogisnya kepada ketentuan serupa. 
C. Qiyas Dalam hukum Pidana positif.
            Ada istilah latin yang dikenal dikalangan ahli hukum yaitu Nullum dellictum nulla poena sine praevia lege ( Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Menurut azas ini bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norm,a yang tertulis. Tidak dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya.
            Namun sebelum dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri (criminal act) juga ada dasar yang pokok yaitu azas legalitas (principil of legality), sebuah azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
            Biasanya azas legalitas ini mengandung tiga pengertian dasar yaitu ;
1.      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyataknan dalam suatu aturan Undang-Undang.
2.      untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan qiyas (analogi).
3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Azas bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya unsur perbuatan pidana tidak boleh digunakannya Qiyas (analogi) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan Belanda pada umunya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa orang ahli yang tidak menyetujuinya.
Prof. Scholter menolak adanya perbedaan antara analogi (qiyas) dan tafsiran ekstensif yang nyata-nyata dibolehkan. Menurut beliau baik dalam hal tafsiran ekstensif maupun dalam analogi (qiyas) dasarnya adalah sama yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum/lebih abstrak) dari norma yang ada, kemudian dari hal itu lalu didedusir menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada), antara keduanya itu hanya perbedaan gradual saja.
Menurut Soejono Soekanto, antara tafsiran ekstensif dan analogi (qiyas) itu memiliki sifat yang sama dan perbedaannya hanyalah soal gradasi saja namun keduanya memiliki batas-batas yang jelas pula, sampai dimana yang masih dapat dinamakan interpretasi dan manakah yang sudah meningkat ke analogi (qiyas). Batas ini menurutnya dapat dibaca dalam ucapan HIR dalam arrestnya tahun 1934 yang menyatakan “ bahwa suatu perkataan atau pengertian dalam wet, sepanjang perjalanan masa dapat berubah makna dan isinya sehingga dengan tepat dapat berpegang pada tujuan umum (algement strekking), wet itu dapat dimasukkan pula dalam perkataan tadi hal-hal yang dulu terang tidak masuk disitu, hal mana tidak menyebabkan bahwa hakim dapat memberi putusan yang sepenuh-penuhnya mengikuti pandanngan yang hidup dalam masyarakat perihal patut atau tidaknya hal-hal tertentu”.
Sebagai contoh mengenai pasal 286 KUHP mengenai hubungan badan dengan wanita yang sedang pingsan atau tak berdaya diancam dengan pidana hukuman maksimum 3 tahun penjara. Kemudian ada kasus , bahwa seseorang melakukan hubungan badan dengan perempuan yang miring otaknya (idi0t),  apakah perbuatannya itu dapat dikenakan dalam pasal tersebut ? Apakah idiot itu dapat disamakan dengan orang yang dalam keadaan tak berdaya? HIR menentukan bahwa pada waktu pasal itu dibuat teranglah bahwa keadaan tak berdaya itu merujuk kepada jasmani yang tak berdaya (physieke onmacth), namun demikian makna onmacth itu sepanjang perjalanan masa mungkin berubah, dan kalau demikian halnya hakim harus mengikuti perubahan makna ini agar bisa memberi putusan yang tepat dan up to date.
Jadi batas antara tafsiran ekstensif dan analogi adalah bahwa dalam tafsiran ekstensif yang menjadi pegangan adalah aturan yang ada. Didalamnya ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya waktu Undang-Undang dibentuk. Adalah mungkin jika dibanding dengan maknanya ketika aturan itu dibuat bahwa yang pertama adalah lebih luas. Tetapi sungguhpun demikian, makna yang lebih luas itu secara obyektif bersandar atas pandangan masyarakat umum mengenai perkataan itu. Adapun dalam menggunakan analogi, pangkal pendirian kita adalah bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa  dimasukkan dalam aturan yang ada, tapi perbuatan itu menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula karena termasuk intinya aturan yang ada yang mengenai perbuatan yang mirip dengan perbuatan itu, karena termasuk dalam inti suatu aturan yang ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan yang tertentu bukanlah lagi aturan yang ada tetapi rasio maksud inti dari aturan yang ada.
Jika dipandang demikian, maka meskipun dapat dikatakan bahwa tafsiran ekstensif dan analogi itu pada hakekatnya sama, hanya ada perbedaan graduil saja, tetapi dipandang dari sudut pandang psykologis, bagi orang yang menggunakannya ada perbedaan yang besar antara keduanya, yaitu yang pertama masih tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu terjadinya Undang-Undang, tetapi pada waktu penggunaannya, karena itu masih dinamakan interpretasi dan seperti halnya dengan cara interpretasi yang lain yang selalu diperlukan dalam menggunakan Undang-Undang. Yang kedua sudah tidak berpegang kepada aturan yang ada lagi, melainkan pada inti rasio dari padanya, karena ini bertentangan dengan azas legalitas sebab azas ini mengharuskan adanya aturan sebagai dasar.
Dasar pemikiran tidak dibolehkannya penerapan analogi dalam menentukan unsur pidana itu dilatarbelakangi oleh adanya azas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Semua orang dianggap tidak bersalah dan tidak boleh diberi hukuman sebelum ada putusan pengadilan yang memutuskan bahwa ia bersalah dan harus dijatuhi hukuman.
Namun kadang-kadang ketika muncul kasus baru yang tidak dinyatakan deliknya dalam aturan Undang-Undang dan hal itu dianggap sebagai kejahatan oleh masyarakat maka seorang hakim dituntut untuk mencari kekuatan atau delik hukumnya sesuai dengan kapasitasnya dalam mencermati hukum baik lewat interpretasi, tafsiran maupun metode-metode lain yang diharapkan mampu mengisi kekosongan hukum.



PENUTUP
             Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya kontradiksi dalam menerapkan konsep Qiyas (analogi) dalam kerangka hukum pidana Islam dan positif adalah dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpastian hukum. Dalam konteks pidana Islam, ketidakbolehan ini disebabkan oleh unsur spekulasi yang amat besar dalam pola penerapan azasnya sehingga hal ini mendapat justifikasi hukum. Sedangkan dalam konteks pidana positif, ketidakbolehan ini disebabkan oleh adanya azas legalitas (principil of legality) yang mengharuskan bahwa setiap orang tidak boleh dikenakan sangsi pidana tanpa ada satu ketentuan yang mengaturnya terlebih dahulu dalam Undang-Undang. Namun hal ini bukan berarti tanpa digunakannya qiyas (analogi) berarti tidak ada putusan pidana dan hukuman, akan tetapi hal ini menuntut adanya satu metode baru yang lebih akurat dan memiliki nilai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar