Pengantar
Kalau kita berbicara politik maka tergambar urusan yang ada kaitan dengan negara. Bisa juga tergambar urusan yang ada hubungan dengan kasak kusuk supaya jabatan bisa maju. Dapat juga dilihat dalam praktek sebagai upaya untuk berkuasa, misalnya melalui pemilu dan kampanye.
Jadi setiap orang mengetahui istilah politik baik dari segi praktek maupun dari segi pengetahuan. Boleh dikatakan berbicara mengenai politik itu mudah dimanapun bisa dilakukan. Namun berbicara dalam perspektif yang sesuai dengan apa yang berkembang dalam dunia studi dan praktek politik apalagi dikaitkan dengan Islam mungkin perlu ekstra membaca beberapa literature ilmu politik.
Makalah singkat ini bertujuan untuk menjelaskan tentang ilmu politik baik secata teori dan gerakan. Mengenai keterlibatan Islam dan Umat Islam dalam politik ini memang cukup menarik karena mau tidak .mau kita harus mempelajarinya sebagai mahasiswa SPPI.
Selanjutnya semoga makalah ini berguna baik dunia maupun akherat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
A. Teori Politik Islam
Kata politik pada mulanya berasal dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.” Juga dalam arti “kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah).”
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.
Politik secara hakiki dipandang sebagai proses interaksi antar elemen di dalam suatu negara atau dunia yang berisikan konflik dan konsensus, maka politik dapat dimaknakan sebagai suatu perjuangan memperebutkan sumber-sumber yang terbatas melalui kekuasaan di tengah-tengah hasrat (desire) atau keinginan manusia yang cenderung tidak terbatas. Dengan begitu, menjadi penting pula membicarakan bagaimana proses-proses serta hasil-hasil pengambilan keputusan kebijakan publik dilakukan, siapa menentukan apa dan mendapatkan apa dan bagaimana proses pengaruh-mempengaruhi di dalam pembuatan kebijakan pendistribusian sumber-sumber yang ada di sebuah negara. Juga membicarakan kepentingan-kepentingan apa saja dan siapa saja yang berkonflik di dalamnya serta apa isi konsensus yang dijadikan patokan hidup bersama, adil kah konsensus itu atau sebaliknya hanya menguntungkan satu atau beberapa golongan tertentu di dalam masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, serta wacana politik.
Di dunia Islam pun muncul beberapa pengertian mengenai politik atau Siyasah ini. Imam Al Bujairimi dalam Kitab At Tajrid Linnafi’ al-‘Abid menyatakan Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan urusan rakyat. Lalu Ibnul Qoyyim dalam kitab ‘Ilamul Muaqqin menyebutkan dua macam politik yakni siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah).
Sedang menurut Dr. Taufik Abdullah Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, , bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
Dari berbagai pengertian tersebut dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas. Sejak dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. Dengan pengertian seperti ini, tampak bahwa siyasah termasuk salah satu tugas kerasulan yang penting.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
B. Gerakan politik Islam
Islam sebagai gerakan politik mempunyai sebuah ciri beraneka yang pada berlainan waktu menginkorporasikan elemen-elemen banyak gerakan politik lain, sementara pada waktu yang sama menggunakan pandangan-pandangan keagamaan fundamentalisme Islam, terutamanya pandangan Islam sebagai agama politik.
Sejarah mencatat bahwa usia dunia politik adalah seusia kehidupan manusia. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu , manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.
Politik Islam dalam sejarahnya pernah menjadi mercusuar dunia, melampaui dua peradaban besar ketika itu, yakni Romawi dan Persia. Namun, hukum sejarah seperti diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya berlaku, bahwa sejarah manusia adalah sejarah jatuh bangunnya kekuasaan (pemerintahan) atau dominasi. Ini pula yang dialami Islam.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Al-Mawardi mengemukakan teori “kontrak. sosial”antara kepala negara dan rakyatnya. Karena kepala negara diangkat melalui kontrak sosial, maka Al-Mawardi meniscayakan adanya pemberhentian kepala negara dari jabatannya.
Gerakan politik Islam berkembang sejalan dengan bertambahnya waktu, perkembangan tersebut dapat dibagi menjadi tiga fase:
Periode Klasik
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan Islam. Masa awal pada periode ini dimulai di masa nabi Muhammad Saw masa dimana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di bawah kekuasaan Islam. Ekspansi ke daerah-daerah keluar Arabia dimulai di zaman khalifah Abu Bakar as-Siddiq hingga masa kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbssiyah sebagai puncak kejayaan Islam.
Pada masa awal-awal Islam hingga masa Dinasti Umayyah, pemikiran politik Islam belum begitu kuat muncul di kalangan intelektual Islam, meskipun sudah ada gerakan oposisi dari kelompok Khawarij dan Syi’ah. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi Dinasti Umayyah yang lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan. Barulah pada masa Dinasti Abbasiyah pemikiran politik Islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang.
Para intelektul yang muncul pada masa periode klasik adalah:
1. Ibn Abi Rabi’ (833-842M) yang menulis Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik.(Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-Kerajaan).
2. Al-Farabi (870-950M) yang menulis Ara Ahl al-Madinah, al-Fadhilah (Pandangan-Pandangan Para Penghuni Negara Utama), Tahsil al-Sa’adah (Jalan Mencapai Kebahagiaan ), dan Al-Siyasah al—Madaniyah (Politik Kenegaraan)
3. Al-Mawardi (975-1059M) yang menulis Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan Pemerintahan).
4. Al-Ghazali (1058-1111M) menulis Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk (Batangan Logam Mulia tentang Nasihat untuk Raja), Al-Iqtishad fi al-I’tiqad ( Moderasi dalam Kepercayaan), dan Kimiya-yi Sa’adah.
Periode Pertengahan
Periode pertengahan dibagi menjadi dua masa; masa kemunduran pertama dan masa tiga kerajaan besar (Usmani di Turki, Safawi di Persia, Mughal di India). Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya Dinasti Abbasiyah di tangan tentara Mongol yang mengakibatkan dunia Islam semakin terpuruk. Tak heran jika pemikir politik Islam pada periode ini mencerminkan kecenderungan reponsif-realis terhadap kejatuhan dunia Islam. Beberapa intelektual yang muncul adalah;
1. Ibn Taimiyah yang menulis al-siyasah al-syar’iyah fi Islah al-Ra’I wa al Ra’iyah.
2. Ibn Khaldun yang menulis Muqaddimah.
3. Syah Waliyullah al-dahlawi.
Pemikiran politik ibn Taimiyah bertumpu pada dua hal,yakni al-amanah (kejujuran) dan al-quwwah (kekuatan) sebagai syarat mutlak kepala Negara.Menurutnya jika dalam suatu walayat (jabatan dalam pemerintahan) lebih menuntut kebutuhan akan adanya sikap amanat,orang yang memiliki kejujuran untuk mengemban amanat adalah yang lebih pantas menduduki posisi kepala negara.
Pemikir lainnya, Ibn Khaldun yang menulis Muqaddimah merupakan respon terhadap situasi dan kondisi yang dialaminya. Dalam kondisi kekuatan islam semakin lemah. Menurutnya, manusia tidak bisa hidup tanpa adanya organisasi kemasyarakatan dan tanpa kerjasama dengan sesama manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga manusia secara alamiah membutuhkan negara. Teori ini mirip dengan teori Plato.
Sementara itu,Syah Waliyullah al-Dahlawi(1702-1762) justru bersikap kritis dengan mengajukan pemikiran yang membenarkan pembangkangan rakyat terhadap kepala negara yang tiran dan zalim. Syah Waliyullah bahkan menegaskan bahwa pemerintahan pada periode pasca kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidun hanyalah berbeda sedikit saja dari kerajaan Romawi dan Kekaisaran Persia.Karena itulah,untuk mengembalikan pemerintahan seperti pada masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidun,Syah Waliyullah membenarkan pembangkangan rakyat terhadap kepala negara yang zalim.
Periode Modern
Periode modern ditandai kolonialisme yang melanda negeri-negeri muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah penjajahan barat. Dunia islam tidak mampu bangkit dri kemunduraan yang berkepanjangan. Singkatnya ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer ;
1. Kemunduran Islam disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
2. Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam yang berakhir dengan penjajahan.
3. Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.
Kecenderungan yang seperti itu membuat sebagian pemikir ada yang mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme.
Kelompok pertama memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah menyatu dan tidak terpisahkan. Karena tugas negara adalah menegakkan sehingga negara Islam menjadi cita-cita bersama.karena itu syariat Islam menjadi hukum negara yang dipraktikkan oleh seluruh umat Islam.
Kelompok ini diwakili oleh:
1. Muhammad Rasyid Ridha, yang menulis Al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzhma dan tafsir Al-Manar.
2. Hasan Al-Bana, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
3. Abu al- A’la al-Maududi, yang menulis Al-Khilafah wal Mulk dan Islamic Law and Constitution.
4. Sayyid Quthb, ideolog gerakan Ikhwanul Muslimin yang menulis Al’adalah al-ijtima’iyah fi al-islam.
5. Imam Khomeini, pemimpin revolusi islam Iran 1979.
Kelompok kedua berpendapat bahwa agama dan politik melakukan hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara untuk menegakkan syariat. sementara negara membutuhkan agama untuk mendapat legitimasi. Kelompok ini diwakili oleh:
1. Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Mesir
2. Muhammad Iqbal, bapak pendiri negeri Pakistan.
3. Muhammad Haykal, yang menulis Al-Humumat al-Islamiyat.
4. Fazlur Rahman, bapak pembaharu Pakistan yang mnulis Islam and Modernity.
Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argument Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya faktor alamiah dan histois dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu mendirikan negara Islam.
Kelompok ini diwakili oleh:
1. Ali Abd al-Raziq, yang menulis Al-Islam wa Ushul al-Hukm.
2. Thaha Husein yang menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr.
3. Mustafa Kemal Attaturk, pendiri republic Turki Modern.
C.Gerakan Politik di Indonesia
Memperbincangkan Pergerakan Politik umat Islam Indonesia mejadi kajian yang sangat menarik dan menghanagt pada tiap perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia hal ini disebabkan pergerkan umat Islam punya peran yang sangat besar pada bangsa ini
Adanya pendapat bahwa Islam politik di Indonesia berasal dari kalangan kelas menengah, borjuasi kecil, dan borjuasi pada umumnya. Ini bisa dilihat di masa kolonial, di mana gerakan Islam politik seperti Sarekat Islam (SI) didominasi oleh kaum pedagang dan borjuis. Di masa Orde Baru, sebagai ekses dari perkembangan kapitalisme Orba, kelas menengah Indonesia mulai tumbuh secara pesat, terutama kalangan kelas menengah Muslim, yang nantinya berpengaruh dalam menentukan arah Islam politik. Perkembangan Islam politik, , juga tidak bisa dilepaskan dari konteks hubungan internasionalnya.
Di masa kolonial, munculnya Islam politik tidak bisa dilepaskan oleh perkembangan nasionalisme di Indonesia dan maraknya gerakan anti-imperialis nasionalisme Dunia Ketiga. Dalam hal identitas, Islam politik juga dapat bersanding mesra dengan gagasan politik kiri secara luas, seperti dibuktikan pada masa kolonial ketika SI dan para anggotanya, yang juga merupakan embrio Partai Komunis Indonesia (PKI), mempromosikan agenda-agenda yang sosialis yang berorientasi pada keadilan sosial.
Kemudian pergerakan politik islam di Indonesia juga dapat ditinjau dari pemetaan terhadap peranan Islam politik di masa Orde Baru dan setelahnya. Pertama, representasi kelas menengah Muslim dalam Islam politik berperan dalam kelahiran dan pembentukan politik di masa Orde Baru, sebagaimana juga dijelaskan oleh Hefner (1993) dan Rodison (1995). Kedua, tendensi vigilantisme dan fundamentalisme yang berbau kekerasan dalam Islam politik bersumber dari persekusi aspirasi Islam politik sekaligus pemanfaatan elemen-elemen pro-kekerasan tersebut oleh rejim Orde Baru demi legitimasi kekuasaannya – sesuatu yang berlanjut hingga di masa reformasi di mana kelompok-kelompok Islam pro-kekerasan dipelihara oleh negara. Ketiga, dan yang terakhir, adalah argumen bahwa dalam kevakuman politik kiri Indonesia paska pemberangusan PKI, Islam politik berperan penting sebagai kritik kelas menengah sekaligus kritik populis atas kebijakan-kebijakan Orde Baru, meskipun menurut Hadiz, Islam politik tidak memiliki misi yang jelas untuk mentransformasi maupun menumbangkan tatanan sosial Orde Baru yang represif.
Sebelum abad ke-20, pola gerakan Islam politik masih bersifat komunal dengan solidaritas yang bersifat mekanis. Solidaritas sosial ini berkembang dalam struktur masyarakat agraris dan biasanya berpusat pada tokoh-totkoh kharismatis. Artinya, pengertian “nasionalisme” terbatas dalam konsep etnis-kultural. Misalnya, perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme pada abad ke-19 diyakini sebagai gerakan nasionalisme untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, perang Diponegoro, perang Padri atau perlawanan Zenal Musthofa di Tasikmalaya. Pada saat ini, gerakan demikian akan dipandang sebagai gerakan lokal atau “provinsionalis”.
Ciri-ciri gerakan Islam mulai berubah, dari pola komunal menjadi pola asosiasional dan solidaritas yang bersifat organis. Para pemimpinnya tidak lagi dari pedesaan tetapi dari kelas menengah perkotaan. Mereka pun mulai menerapkan bentuk organisasi modern. Jika pada masa sebelumnya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya bersifat paternalistis, maka pada awal abad ke-20 berubah menjadi lebih rasional. Gerakan yang berpola asosiasional membuat aktivitasnya meluas dan tidak lagi localized. Pengambilan keputusan pun lebih demokratis dengan menggunakan mekanisme musyawarah. Tradisi denmokrasi dan partisipasi mulai terbentuk.
Akar kesadaran Gerakan Islam politik modern dimulai sejak lahirnya Syarikat Islam (SI) sebagai tranformasi dari Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1911. SI ini merupakan partai politik Islam pertama di Indonesia yang terkemuka dan merupakan partai modern dan menasional.
Pasca gerakan SI inilah muncul gerakan-gerakan politik nasional lainnya seperti PNI 1926 bentukan Soekarno, Partai Penyadar (1936), Persyarikatan Komunis (1920-an) dan Partai Islam Indonesia (PII) (1938-an). Sekitar tahun 1920-an SI mengalami perpecahan internal sehingga tidak dapat lagi menjadi wadah pemersatu gerakan Islam politik. Pada tahun 1937-an berdiri federasi baru bagi berbagai unsur Islam yang disebut Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI). MIAI didirikan secara bersama-sama antara K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah/sub kultur modernis), K.H. Abdul Wahab Hasbullah (NU/sub kultur tradinisonalis), K.H. Ahmad Dahlan (non partai) bertujuan untuk menggalang persatuan partai dan organisasi Islam dalam menghadapi situasi yang makin krisis, dijadikan ajang musyawarah sehingga konflik-konflik yang melemahkan perjuangan umat dapat diminimalisasi. Lewat MIAI diharapkan posisi Islam dapat sepadan dengan penting dan besarnya jumlah umat Islam.
Dewasa ini Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam. Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam.
Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar. Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik. Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitanntuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal.
Penutup
Menjelaskan konsep bahwa politik sebenarnya dilakukan setiap masyarakat primitif atau modern karena sifat dan karakter manusia serta jawaban ilmiah Islam terhadap tuntutan kehidupan politik memang perlu waktu. Bahkan di kalangan aktifis saja masih ada sebuah anggapan bahwa berpolitik tidak dilakukan dalam Islam. Menekankan sejarah Rasulullah SAW serta praktek-praktek kontemporer akan mengingatkan keagungan Islam dalam menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan kehidupan manusia sebagai khalifah fil ardhi dan Abdullah sekaligus menyadari pentingnya politik dalam kehidupan Islam.
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, sudah sepatutnya memiliki peran utama dalam kehidupan politik sebuah negara. Untuk menuju ke arah integrasi kehidupan masyarakat, negara dan Islam diperlukan ijtihad yang akan memberikan pedoman bagi anggota parlemen atau politisi dalam menjelaskan hujahnya dalam berpolitik. Dan interaksi umat Islam yang hidup dalam alam modern ini dengan politik akan memberikan pengalaman dan tantangan baru menuju masyarakat yang adil dan makmur. Berpolitik yang bersih dan sehat akan menambah kepercayaan masyarakat khususnya di Indonesia bahwa memang Islam mengatur seluruh aspek mulai ekonomi, sosial, militer, budaya sampai dengan politik
Kalau kita berbicara politik maka tergambar urusan yang ada kaitan dengan negara. Bisa juga tergambar urusan yang ada hubungan dengan kasak kusuk supaya jabatan bisa maju. Dapat juga dilihat dalam praktek sebagai upaya untuk berkuasa, misalnya melalui pemilu dan kampanye.
Jadi setiap orang mengetahui istilah politik baik dari segi praktek maupun dari segi pengetahuan. Boleh dikatakan berbicara mengenai politik itu mudah dimanapun bisa dilakukan. Namun berbicara dalam perspektif yang sesuai dengan apa yang berkembang dalam dunia studi dan praktek politik apalagi dikaitkan dengan Islam mungkin perlu ekstra membaca beberapa literature ilmu politik.
Makalah singkat ini bertujuan untuk menjelaskan tentang ilmu politik baik secata teori dan gerakan. Mengenai keterlibatan Islam dan Umat Islam dalam politik ini memang cukup menarik karena mau tidak .mau kita harus mempelajarinya sebagai mahasiswa SPPI.
Selanjutnya semoga makalah ini berguna baik dunia maupun akherat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
A. Teori Politik Islam
Kata politik pada mulanya berasal dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.” Juga dalam arti “kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah).”
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.
Politik secara hakiki dipandang sebagai proses interaksi antar elemen di dalam suatu negara atau dunia yang berisikan konflik dan konsensus, maka politik dapat dimaknakan sebagai suatu perjuangan memperebutkan sumber-sumber yang terbatas melalui kekuasaan di tengah-tengah hasrat (desire) atau keinginan manusia yang cenderung tidak terbatas. Dengan begitu, menjadi penting pula membicarakan bagaimana proses-proses serta hasil-hasil pengambilan keputusan kebijakan publik dilakukan, siapa menentukan apa dan mendapatkan apa dan bagaimana proses pengaruh-mempengaruhi di dalam pembuatan kebijakan pendistribusian sumber-sumber yang ada di sebuah negara. Juga membicarakan kepentingan-kepentingan apa saja dan siapa saja yang berkonflik di dalamnya serta apa isi konsensus yang dijadikan patokan hidup bersama, adil kah konsensus itu atau sebaliknya hanya menguntungkan satu atau beberapa golongan tertentu di dalam masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, serta wacana politik.
Di dunia Islam pun muncul beberapa pengertian mengenai politik atau Siyasah ini. Imam Al Bujairimi dalam Kitab At Tajrid Linnafi’ al-‘Abid menyatakan Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan urusan rakyat. Lalu Ibnul Qoyyim dalam kitab ‘Ilamul Muaqqin menyebutkan dua macam politik yakni siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah).
Sedang menurut Dr. Taufik Abdullah Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, , bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
Dari berbagai pengertian tersebut dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas. Sejak dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. Dengan pengertian seperti ini, tampak bahwa siyasah termasuk salah satu tugas kerasulan yang penting.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
B. Gerakan politik Islam
Islam sebagai gerakan politik mempunyai sebuah ciri beraneka yang pada berlainan waktu menginkorporasikan elemen-elemen banyak gerakan politik lain, sementara pada waktu yang sama menggunakan pandangan-pandangan keagamaan fundamentalisme Islam, terutamanya pandangan Islam sebagai agama politik.
Sejarah mencatat bahwa usia dunia politik adalah seusia kehidupan manusia. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu , manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.
Politik Islam dalam sejarahnya pernah menjadi mercusuar dunia, melampaui dua peradaban besar ketika itu, yakni Romawi dan Persia. Namun, hukum sejarah seperti diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya berlaku, bahwa sejarah manusia adalah sejarah jatuh bangunnya kekuasaan (pemerintahan) atau dominasi. Ini pula yang dialami Islam.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Al-Mawardi mengemukakan teori “kontrak. sosial”antara kepala negara dan rakyatnya. Karena kepala negara diangkat melalui kontrak sosial, maka Al-Mawardi meniscayakan adanya pemberhentian kepala negara dari jabatannya.
Gerakan politik Islam berkembang sejalan dengan bertambahnya waktu, perkembangan tersebut dapat dibagi menjadi tiga fase:
Periode Klasik
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan Islam. Masa awal pada periode ini dimulai di masa nabi Muhammad Saw masa dimana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di bawah kekuasaan Islam. Ekspansi ke daerah-daerah keluar Arabia dimulai di zaman khalifah Abu Bakar as-Siddiq hingga masa kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbssiyah sebagai puncak kejayaan Islam.
Pada masa awal-awal Islam hingga masa Dinasti Umayyah, pemikiran politik Islam belum begitu kuat muncul di kalangan intelektual Islam, meskipun sudah ada gerakan oposisi dari kelompok Khawarij dan Syi’ah. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi Dinasti Umayyah yang lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan. Barulah pada masa Dinasti Abbasiyah pemikiran politik Islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang.
Para intelektul yang muncul pada masa periode klasik adalah:
1. Ibn Abi Rabi’ (833-842M) yang menulis Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik.(Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-Kerajaan).
2. Al-Farabi (870-950M) yang menulis Ara Ahl al-Madinah, al-Fadhilah (Pandangan-Pandangan Para Penghuni Negara Utama), Tahsil al-Sa’adah (Jalan Mencapai Kebahagiaan ), dan Al-Siyasah al—Madaniyah (Politik Kenegaraan)
3. Al-Mawardi (975-1059M) yang menulis Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan Pemerintahan).
4. Al-Ghazali (1058-1111M) menulis Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk (Batangan Logam Mulia tentang Nasihat untuk Raja), Al-Iqtishad fi al-I’tiqad ( Moderasi dalam Kepercayaan), dan Kimiya-yi Sa’adah.
Periode Pertengahan
Periode pertengahan dibagi menjadi dua masa; masa kemunduran pertama dan masa tiga kerajaan besar (Usmani di Turki, Safawi di Persia, Mughal di India). Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya Dinasti Abbasiyah di tangan tentara Mongol yang mengakibatkan dunia Islam semakin terpuruk. Tak heran jika pemikir politik Islam pada periode ini mencerminkan kecenderungan reponsif-realis terhadap kejatuhan dunia Islam. Beberapa intelektual yang muncul adalah;
1. Ibn Taimiyah yang menulis al-siyasah al-syar’iyah fi Islah al-Ra’I wa al Ra’iyah.
2. Ibn Khaldun yang menulis Muqaddimah.
3. Syah Waliyullah al-dahlawi.
Pemikiran politik ibn Taimiyah bertumpu pada dua hal,yakni al-amanah (kejujuran) dan al-quwwah (kekuatan) sebagai syarat mutlak kepala Negara.Menurutnya jika dalam suatu walayat (jabatan dalam pemerintahan) lebih menuntut kebutuhan akan adanya sikap amanat,orang yang memiliki kejujuran untuk mengemban amanat adalah yang lebih pantas menduduki posisi kepala negara.
Pemikir lainnya, Ibn Khaldun yang menulis Muqaddimah merupakan respon terhadap situasi dan kondisi yang dialaminya. Dalam kondisi kekuatan islam semakin lemah. Menurutnya, manusia tidak bisa hidup tanpa adanya organisasi kemasyarakatan dan tanpa kerjasama dengan sesama manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga manusia secara alamiah membutuhkan negara. Teori ini mirip dengan teori Plato.
Sementara itu,Syah Waliyullah al-Dahlawi(1702-1762) justru bersikap kritis dengan mengajukan pemikiran yang membenarkan pembangkangan rakyat terhadap kepala negara yang tiran dan zalim. Syah Waliyullah bahkan menegaskan bahwa pemerintahan pada periode pasca kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidun hanyalah berbeda sedikit saja dari kerajaan Romawi dan Kekaisaran Persia.Karena itulah,untuk mengembalikan pemerintahan seperti pada masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidun,Syah Waliyullah membenarkan pembangkangan rakyat terhadap kepala negara yang zalim.
Periode Modern
Periode modern ditandai kolonialisme yang melanda negeri-negeri muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah penjajahan barat. Dunia islam tidak mampu bangkit dri kemunduraan yang berkepanjangan. Singkatnya ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer ;
1. Kemunduran Islam disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
2. Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam yang berakhir dengan penjajahan.
3. Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.
Kecenderungan yang seperti itu membuat sebagian pemikir ada yang mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme.
Kelompok pertama memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah menyatu dan tidak terpisahkan. Karena tugas negara adalah menegakkan sehingga negara Islam menjadi cita-cita bersama.karena itu syariat Islam menjadi hukum negara yang dipraktikkan oleh seluruh umat Islam.
Kelompok ini diwakili oleh:
1. Muhammad Rasyid Ridha, yang menulis Al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzhma dan tafsir Al-Manar.
2. Hasan Al-Bana, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
3. Abu al- A’la al-Maududi, yang menulis Al-Khilafah wal Mulk dan Islamic Law and Constitution.
4. Sayyid Quthb, ideolog gerakan Ikhwanul Muslimin yang menulis Al’adalah al-ijtima’iyah fi al-islam.
5. Imam Khomeini, pemimpin revolusi islam Iran 1979.
Kelompok kedua berpendapat bahwa agama dan politik melakukan hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara untuk menegakkan syariat. sementara negara membutuhkan agama untuk mendapat legitimasi. Kelompok ini diwakili oleh:
1. Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Mesir
2. Muhammad Iqbal, bapak pendiri negeri Pakistan.
3. Muhammad Haykal, yang menulis Al-Humumat al-Islamiyat.
4. Fazlur Rahman, bapak pembaharu Pakistan yang mnulis Islam and Modernity.
Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argument Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya faktor alamiah dan histois dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu mendirikan negara Islam.
Kelompok ini diwakili oleh:
1. Ali Abd al-Raziq, yang menulis Al-Islam wa Ushul al-Hukm.
2. Thaha Husein yang menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr.
3. Mustafa Kemal Attaturk, pendiri republic Turki Modern.
C.Gerakan Politik di Indonesia
Memperbincangkan Pergerakan Politik umat Islam Indonesia mejadi kajian yang sangat menarik dan menghanagt pada tiap perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia hal ini disebabkan pergerkan umat Islam punya peran yang sangat besar pada bangsa ini
Adanya pendapat bahwa Islam politik di Indonesia berasal dari kalangan kelas menengah, borjuasi kecil, dan borjuasi pada umumnya. Ini bisa dilihat di masa kolonial, di mana gerakan Islam politik seperti Sarekat Islam (SI) didominasi oleh kaum pedagang dan borjuis. Di masa Orde Baru, sebagai ekses dari perkembangan kapitalisme Orba, kelas menengah Indonesia mulai tumbuh secara pesat, terutama kalangan kelas menengah Muslim, yang nantinya berpengaruh dalam menentukan arah Islam politik. Perkembangan Islam politik, , juga tidak bisa dilepaskan dari konteks hubungan internasionalnya.
Di masa kolonial, munculnya Islam politik tidak bisa dilepaskan oleh perkembangan nasionalisme di Indonesia dan maraknya gerakan anti-imperialis nasionalisme Dunia Ketiga. Dalam hal identitas, Islam politik juga dapat bersanding mesra dengan gagasan politik kiri secara luas, seperti dibuktikan pada masa kolonial ketika SI dan para anggotanya, yang juga merupakan embrio Partai Komunis Indonesia (PKI), mempromosikan agenda-agenda yang sosialis yang berorientasi pada keadilan sosial.
Kemudian pergerakan politik islam di Indonesia juga dapat ditinjau dari pemetaan terhadap peranan Islam politik di masa Orde Baru dan setelahnya. Pertama, representasi kelas menengah Muslim dalam Islam politik berperan dalam kelahiran dan pembentukan politik di masa Orde Baru, sebagaimana juga dijelaskan oleh Hefner (1993) dan Rodison (1995). Kedua, tendensi vigilantisme dan fundamentalisme yang berbau kekerasan dalam Islam politik bersumber dari persekusi aspirasi Islam politik sekaligus pemanfaatan elemen-elemen pro-kekerasan tersebut oleh rejim Orde Baru demi legitimasi kekuasaannya – sesuatu yang berlanjut hingga di masa reformasi di mana kelompok-kelompok Islam pro-kekerasan dipelihara oleh negara. Ketiga, dan yang terakhir, adalah argumen bahwa dalam kevakuman politik kiri Indonesia paska pemberangusan PKI, Islam politik berperan penting sebagai kritik kelas menengah sekaligus kritik populis atas kebijakan-kebijakan Orde Baru, meskipun menurut Hadiz, Islam politik tidak memiliki misi yang jelas untuk mentransformasi maupun menumbangkan tatanan sosial Orde Baru yang represif.
Sebelum abad ke-20, pola gerakan Islam politik masih bersifat komunal dengan solidaritas yang bersifat mekanis. Solidaritas sosial ini berkembang dalam struktur masyarakat agraris dan biasanya berpusat pada tokoh-totkoh kharismatis. Artinya, pengertian “nasionalisme” terbatas dalam konsep etnis-kultural. Misalnya, perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme pada abad ke-19 diyakini sebagai gerakan nasionalisme untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, perang Diponegoro, perang Padri atau perlawanan Zenal Musthofa di Tasikmalaya. Pada saat ini, gerakan demikian akan dipandang sebagai gerakan lokal atau “provinsionalis”.
Ciri-ciri gerakan Islam mulai berubah, dari pola komunal menjadi pola asosiasional dan solidaritas yang bersifat organis. Para pemimpinnya tidak lagi dari pedesaan tetapi dari kelas menengah perkotaan. Mereka pun mulai menerapkan bentuk organisasi modern. Jika pada masa sebelumnya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya bersifat paternalistis, maka pada awal abad ke-20 berubah menjadi lebih rasional. Gerakan yang berpola asosiasional membuat aktivitasnya meluas dan tidak lagi localized. Pengambilan keputusan pun lebih demokratis dengan menggunakan mekanisme musyawarah. Tradisi denmokrasi dan partisipasi mulai terbentuk.
Akar kesadaran Gerakan Islam politik modern dimulai sejak lahirnya Syarikat Islam (SI) sebagai tranformasi dari Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1911. SI ini merupakan partai politik Islam pertama di Indonesia yang terkemuka dan merupakan partai modern dan menasional.
Pasca gerakan SI inilah muncul gerakan-gerakan politik nasional lainnya seperti PNI 1926 bentukan Soekarno, Partai Penyadar (1936), Persyarikatan Komunis (1920-an) dan Partai Islam Indonesia (PII) (1938-an). Sekitar tahun 1920-an SI mengalami perpecahan internal sehingga tidak dapat lagi menjadi wadah pemersatu gerakan Islam politik. Pada tahun 1937-an berdiri federasi baru bagi berbagai unsur Islam yang disebut Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI). MIAI didirikan secara bersama-sama antara K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah/sub kultur modernis), K.H. Abdul Wahab Hasbullah (NU/sub kultur tradinisonalis), K.H. Ahmad Dahlan (non partai) bertujuan untuk menggalang persatuan partai dan organisasi Islam dalam menghadapi situasi yang makin krisis, dijadikan ajang musyawarah sehingga konflik-konflik yang melemahkan perjuangan umat dapat diminimalisasi. Lewat MIAI diharapkan posisi Islam dapat sepadan dengan penting dan besarnya jumlah umat Islam.
Dewasa ini Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam. Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam.
Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar. Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik. Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitanntuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal.
Penutup
Menjelaskan konsep bahwa politik sebenarnya dilakukan setiap masyarakat primitif atau modern karena sifat dan karakter manusia serta jawaban ilmiah Islam terhadap tuntutan kehidupan politik memang perlu waktu. Bahkan di kalangan aktifis saja masih ada sebuah anggapan bahwa berpolitik tidak dilakukan dalam Islam. Menekankan sejarah Rasulullah SAW serta praktek-praktek kontemporer akan mengingatkan keagungan Islam dalam menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan kehidupan manusia sebagai khalifah fil ardhi dan Abdullah sekaligus menyadari pentingnya politik dalam kehidupan Islam.
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, sudah sepatutnya memiliki peran utama dalam kehidupan politik sebuah negara. Untuk menuju ke arah integrasi kehidupan masyarakat, negara dan Islam diperlukan ijtihad yang akan memberikan pedoman bagi anggota parlemen atau politisi dalam menjelaskan hujahnya dalam berpolitik. Dan interaksi umat Islam yang hidup dalam alam modern ini dengan politik akan memberikan pengalaman dan tantangan baru menuju masyarakat yang adil dan makmur. Berpolitik yang bersih dan sehat akan menambah kepercayaan masyarakat khususnya di Indonesia bahwa memang Islam mengatur seluruh aspek mulai ekonomi, sosial, militer, budaya sampai dengan politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar