Tentang
RUU KUHP 2008
Penyusunan KUHP Nasional yang baru
(2008) untuk menggantikan KUHP peninggalan
pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan
salahsatu usaha dalam rangka pembangunan
hukum Nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat
mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang. Sesuai dengan tuntutan
pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam
masyarakat.
Secara keseluruhan perbedaan yang
mendasar antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Belanda (Wetbook Van strafrecht) dengan KUHP
baru adalah filosofi yang mendasarinya. KUHP warisan Belanda secara keseluruhan
dilandasi oleh pemikiran aliran klasik (Clasical
School) yang berkembang pada abad 18 yang memusatkan perhatian hukum pidana
pada perbuatan atau tindak pidana (Daad
Strafrecht). Sedangkan KUHP 2008 mendasarkan diri pada pemikiran aliran neo
klasik (Neo Classical School)[1]
yang menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan / lahiriyah) dan
faktor subyektif (orang/ batiniah / sikap batin). Aliran ini berkembang pada
abad ke-19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak
pidana perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap
aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana (daad-dader Strafrecht). Pemikiran lain yang mempenggaruhi
penyusunan KUHP 2008 adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban
kejahatan (Viktimologi) yang berkembang setelah Perang Dunia II, yang menaruh
perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan, baik falsafah “Daad-dader
Strafrecht” maupun viktimologi akan mempenggaruhi perumusan tiga
permasalahan pokok dalam hukum pidana yaitu perumusan perbuatan yang bersifat
melawan hukum, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dan sanksi (pidana dan
tindakan)[2]
yang dapat dijatuhkan beserta asas-asas hukum yang mendasarinya.
Dalam perkembangannya, makna
pembaharuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana nasional yang semula semata-mata
diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna “Dekolonisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam perjalanan sejarah
bangsa pada akhirnya juga mengandung pelbagai misi yang lebih luas sehubungan
dengan perkembangan baik nasional maupun inernasional. Adapun misi kedua adalah misi “Demokratisasi” hukum
pidana, yang ditandai dengan masuknya tindak pidana terhadap hak asasi
manusia dan hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian yang
merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana
formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan dan merupakan
tindak pidana materiil. Misi ketiga
adalah misi “Konsolidasi Hukum Pidana”
karena sejak kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang pesat baik
di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan berbagai
kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum
pidana hukum pidana yang diatur dalam buku I KUHP. Di samping penyusunan KUHP
2008 dilakukan atas dasar misi keempat
yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi
baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun
perkembangan nilai-nilai. Standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab di dunia internasional.
Karakter “Daad Dader Strafrecht” yang lebih manusiawi tersebut secara
sistemik mewarnai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2008, yang antara lain juga
tersurat dan tersirat dari adanya pelbagai pengaturan yang berusaha menjaga
keseimbangan antara unsur/faktor obyektif (perbuatan/lahiriyah) dan
unsur/faktor subyektif ( manusia/ batiniah /sikap batin). Hal ini antara lain
tercermin dari pelbagai pengaturan tentang tujuan pemidanaan, syarat
pemidanaan, pasangan sanksi berupa pidana dan tindakan, pengembangan alternatif
pidana kemerdekaan jangka pendek, pedoman atau aturan pemidanaan, dan
pengertian batas minimum umum pertangungjawaban pidana, pidana serta tindakan
bagi anak.
Pembaharuan hukum pidana materiil
dalam KUHP 2008 ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana (strafbaarfeit) berupa kejahatan (misdrijven) dan tindak pidana
pelanggaran (overtredingen). Untuk
keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, KUHP 2008 nantinya
hanya kan terdiri dari dua buku yakni buku kesatu memuat ketentuan umum dan
buku kedua yang memuat ketentuan tentang tindak pidana. Adapun buku ketiga KUHP
yang mengatur tentang tindak pidana pelanggaran dihapus dan materinya secara
selektif ditampung kedalam buku kedua dengan kualifikasi tindak pidana.[3]
Alasan penghapusan tersebut
didasakan atas kenyataan bahwa secara konseptual perbedaan antara kejahatan
sebagai “ wetsdelict” ternyata tidak
dapat dipertahankan. Karena dalam perkembanganya tidak sedikit beberpa “rechtsdelict” dikualifikasikan sebagai
pelanggaran dan sebaliknya beberapa perbuatan yang seharusnya merupakan “wetsdelict” dirumuskan sebagai
kejahatan, hanya karena diperberat ancaman pidananya. Kennyataan juga
membuktikan bahwa persoalan berat ringgannya kualitas dan dampak tindak pidana
kejahatan dan pelanggaran juga relatif. Sehingga kriteria kualifikatif semacam
ini dalam kennyataanya tidak lagi dapat dipertahankan secara konsisten.
Dalam rangka pembaharuan hukum
pidana yang tercermin dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) tahun 2008, maka terbesit suatu sikap dari para perancang mengenai
“pidana dan tindakan” sebagai implementasi keseimbangan yaitu: Tujuan
pemidanaan yang bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan
satu kesatuan sitem yang memiliki tujuan, dan pidana hanya merupakan alat atau
sarana untuk mencapai tujuan. Itu sebabnya, RUU KUHP merumuskan tujuan
pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan
masyarakat dan perlindungan individu. Dengan kata lain, perumusan tujuan
pemidanaan mengenai “penyelesaian konflik” mengandung makna yang dalam.
Misalnya denga cara mengapresiasi suatu perkembangan universal ilmu pengetahuan
yang relatif baru yaitu Viktimology, baik sifatnya sebagai “interactionist victimology or penal victimology”, gabungan antara
keduanya, dan lebih luas lagi dalam kerangka menangulangi kekerasan dan “abuse of power”. Dalam kaitan ini juga
diadopsi apa yang dinamakan konsep keadilan restroaktif yang juga memfokuskan
diri pada kepentingan korban kejahatan, di samping usaha untuk memperlakukan
lebih manusiawi si pelaku kejahatan. Pencantuman tujuan pemidanaan “memaafkan
terpidana”, antara pelaku korban dan masyarakat, pengaruh victimology juga
nampak dari diaturnya mengenai pidana tambahan pembayaran ganti rugi dan
pemenuhan kewajiban adat, serta pengaturan pedoman pemidanaan yang
memperhatikan pula aspek victim.[4]
Pada RUU KUHP 2008, telah dimasukkan
pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana tutupan, pidana mati sebagai
pidana khusus yang diancamkan secara alternatif. Perampasan barang-barang
tertentu, dan atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian
dan pemenuhan kewajiban adat.[5]
[1] Prof. Muladi menjelaskan, bahwa aliran
neoklasik dipandang oleh pelbagai negara sangat manusiawi dan menggambarkan
perimbangan kepentingan secara proposional. Karakteristiknya adalah sebagai
berikut: modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan
lingkungan; daaddaderstrafrecht; menggalakkan
expert tetimony; mengembangkan
hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan; mengembangkan twintrack-system yakni pidana dan
tindakan; perpaduan antara justice
model dan perlindungan terhadap hak-hak terdakwa-terpidana termasuk
pengembangan non-institusional treatment
(Tokyo Rules) dan dekriminalisasi dan depenalisasi. Lihat Romli Atmasasmita,
SH. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi (Bandung: Mandar
Maju, 1995), hlm. 82.
[2] Walaupun
di tingkat praktis, perbedaan antara sanksi pidana dan tindakan sering agak
samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental.
Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada
ide dasar: “Mengapa diadakan pemidanaan ?”. Sedangkan sanksi tindakan bertolak
dari ide dasar: “Untuk apa diadakan pemidaan itu?”. Dengan kata lain, sanksi
pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi
tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Lihat
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum
Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004), hlm. 31-32.
[3]
Sumber Penjelasan RUU KUHP 2008.
[4] Muladi,
Perkembangan Hukum Pidana dalam Era
Globalisasi, (Jakarta: Perum Percetakan Negara Replublik Indonesia) hlm.
15-16.
[5] DR.
Syaiful bakhri, MH. Perkembangan Stelsel
Pidana Indonesia ( Jakarta: Total Media, 2009), hlm. 10-11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar