Senin, 04 Februari 2013

HUKUM PIDANA

Tentang  RUU KUHP 2008
            Penyusunan KUHP Nasional yang baru (2008) untuk menggantikan KUHP peninggalan  pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salahsatu  usaha dalam rangka pembangunan hukum Nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang. Sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
            Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Belanda (Wetbook Van strafrecht) dengan KUHP baru adalah filosofi yang mendasarinya. KUHP warisan Belanda secara keseluruhan dilandasi oleh pemikiran aliran klasik (Clasical School) yang berkembang pada abad 18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau tindak pidana (Daad Strafrecht). Sedangkan KUHP 2008 mendasarkan diri pada pemikiran aliran neo klasik (Neo Classical School)[1] yang menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan / lahiriyah) dan faktor subyektif (orang/ batiniah / sikap batin). Aliran ini berkembang pada abad ke-19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana (daad-dader Strafrecht). Pemikiran lain yang mempenggaruhi penyusunan KUHP 2008 adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (Viktimologi) yang berkembang setelah Perang Dunia II, yang menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan, baik falsafah “Daad-dader Strafrecht” maupun viktimologi akan mempenggaruhi perumusan tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dan sanksi (pidana dan tindakan)[2] yang dapat dijatuhkan beserta asas-asas hukum yang mendasarinya.
            Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana nasional yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna “Dekolonisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung pelbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan baik nasional maupun inernasional. Adapun misi kedua adalah misi “Demokratisasi” hukum  pidana, yang ditandai dengan masuknya tindak pidana terhadap hak asasi manusia dan hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan dan merupakan tindak pidana materiil. Misi ketiga adalah misi “Konsolidasi Hukum Pidana” karena sejak kemerdekaan perundang-undangan hukum  pidana mengalami pertumbuhan yang pesat baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan berbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana hukum pidana yang diatur dalam buku I KUHP. Di samping penyusunan KUHP 2008 dilakukan atas dasar misi keempat yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai. Standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.
            Karakter “Daad Dader Strafrecht” yang lebih manusiawi tersebut secara sistemik mewarnai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2008, yang antara lain juga tersurat dan tersirat dari adanya pelbagai pengaturan yang berusaha menjaga keseimbangan antara unsur/faktor obyektif (perbuatan/lahiriyah) dan unsur/faktor subyektif ( manusia/ batiniah /sikap batin). Hal ini antara lain tercermin dari pelbagai pengaturan tentang tujuan pemidanaan, syarat pemidanaan, pasangan sanksi berupa pidana dan tindakan, pengembangan alternatif pidana kemerdekaan jangka pendek, pedoman atau aturan pemidanaan, dan pengertian batas minimum umum pertangungjawaban pidana, pidana serta tindakan bagi anak.
            Pembaharuan hukum pidana materiil dalam KUHP 2008 ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana (strafbaarfeit) berupa kejahatan (misdrijven) dan tindak pidana pelanggaran (overtredingen). Untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, KUHP 2008 nantinya hanya kan terdiri dari dua buku yakni buku kesatu memuat ketentuan umum dan buku kedua yang memuat ketentuan tentang tindak pidana. Adapun buku ketiga KUHP yang mengatur tentang tindak pidana pelanggaran dihapus dan materinya secara selektif ditampung kedalam buku kedua dengan kualifikasi tindak pidana.[3]
            Alasan penghapusan tersebut didasakan atas kenyataan bahwa secara konseptual perbedaan antara kejahatan sebagai “ wetsdelict” ternyata tidak dapat dipertahankan. Karena dalam perkembanganya tidak sedikit beberpa “rechtsdelict” dikualifikasikan sebagai pelanggaran dan sebaliknya beberapa perbuatan yang seharusnya merupakan “wetsdelict” dirumuskan sebagai kejahatan, hanya karena diperberat ancaman pidananya. Kennyataan juga membuktikan bahwa persoalan berat ringgannya kualitas dan dampak tindak pidana kejahatan dan pelanggaran juga relatif. Sehingga kriteria kualifikatif semacam ini dalam kennyataanya tidak lagi dapat dipertahankan secara konsisten.
            Dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang tercermin dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2008, maka terbesit suatu sikap dari para perancang mengenai “pidana dan tindakan” sebagai implementasi keseimbangan yaitu: Tujuan pemidanaan yang bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sitem yang memiliki tujuan, dan pidana hanya merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Itu sebabnya, RUU KUHP merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Dengan kata lain, perumusan tujuan pemidanaan mengenai “penyelesaian konflik” mengandung makna yang dalam. Misalnya denga cara mengapresiasi suatu perkembangan universal ilmu pengetahuan yang relatif baru yaitu Viktimology, baik sifatnya sebagai “interactionist victimology or penal victimology”, gabungan antara keduanya, dan lebih luas lagi dalam kerangka menangulangi kekerasan dan “abuse of power”. Dalam kaitan ini juga diadopsi apa yang dinamakan konsep keadilan restroaktif yang juga memfokuskan diri pada kepentingan korban kejahatan, di samping usaha untuk memperlakukan lebih manusiawi si pelaku kejahatan. Pencantuman tujuan pemidanaan “memaafkan terpidana”, antara pelaku korban dan masyarakat, pengaruh victimology juga nampak dari diaturnya mengenai pidana tambahan pembayaran ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat, serta pengaturan pedoman pemidanaan yang memperhatikan pula aspek victim.[4]
            Pada RUU KUHP 2008, telah dimasukkan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana tutupan, pidana mati sebagai pidana khusus yang diancamkan secara alternatif. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat.[5]


[1] Prof. Muladi menjelaskan, bahwa aliran neoklasik dipandang oleh pelbagai negara sangat manusiawi dan menggambarkan perimbangan kepentingan secara proposional. Karakteristiknya adalah sebagai berikut: modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan; daaddaderstrafrecht; menggalakkan expert tetimony; mengembangkan hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan; mengembangkan twintrack-system yakni pidana dan tindakan; perpaduan antara justice model dan perlindungan terhadap hak-hak terdakwa-terpidana termasuk pengembangan non-institusional treatment (Tokyo Rules) dan dekriminalisasi dan depenalisasi. Lihat Romli Atmasasmita, SH. Kapita Selekta Hukum  Pidana dan Kriminologi (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 82.
[2]  Walaupun di tingkat praktis, perbedaan antara sanksi pidana dan tindakan sering agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar: “Mengapa diadakan pemidanaan ?”. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar: “Untuk apa diadakan pemidaan itu?”. Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Lihat Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 31-32.
[3] Sumber Penjelasan RUU KUHP 2008.
[4]  Muladi, Perkembangan Hukum Pidana dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Perum Percetakan Negara Replublik Indonesia) hlm. 15-16.

[5]  DR. Syaiful bakhri, MH. Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia ( Jakarta: Total Media, 2009), hlm. 10-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar