Senin, 04 Februari 2013

PIDANA PENJARA


Pidana Penjara Dalam RUU KUHP 2008
Menurut Koesnoe sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC (Verenigde OostIndische Compagnie) memperkenalkan lembaga “bui” pada tahun1602 yang kemudian dilanjutkan pada jaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara.[1]
Pidana penjara adalah bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan, bukan hanya dalam bentuk pidana penjara saja, tetapi juga dalam bentuk pengasingan, misalnya Napoleon Bonaparte ke kepulauan St Helena dan pulau Elba. Pembuangan Syeh Yusuf dari Makasar ke Sailan kemudian ke Afrika oleh VOC. Di Indonesia sistem pengasingan ini didasarkan pada hak istimewa Gubernur Jendral (exorbitante) misalnya pengasingan Hatta dan Syahrir ke Boven Digul kemudian ke bandara Naire. Pengasingan Sukarno ke Endeh, kemudian ke Bengkulu. Pada zaman kemerdekaan dikenal pembuangan orang-orang PKI, ke pulau Buru sesudah pecah gerakan 30 September/PKI.[2]
Dalam RUU KUHP 2008 pidana penjara masuk dalam kategori pidana pokok penjara  termasuk dalam pidana pokok di samping pidana yang lain.[3] Di samping itu pidana pokok dalam RUU KUHP 2008 diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, kedua jenis pidana ini bersama pidana denda perlu di kembangkan sebagai alternatif pidana penjara atau perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim, sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana ini terpidana dapat di bantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah, di samping untuk menghindari efek destrutif dari pidana perampasan kemerdekaan. Demikian pula masyarakat dapat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara  wajar dengan melakukan hal –hal yang bermanfaat.[4]
            Pelaksanaan pidana penjara, tercermin dalam pembaharuan hukum pidana (RUU KUHP 2008)  yang diungkapkan oleh Bambang Poernomo sebagaimana dikutip oleh Syaiful Bakhri.[5] Pertama, Pidana penjara tetap menjadi pidana dan berorientasi kedepan melalui usaha kearah pemasyarakata, sehingga tidak hanya sekedar pidana perampasan kemerdekaan akan tetapi mengandung upaya-upaya bersifat baru yang dirumuskan sepuluh butir prinsip pemasyarakatan. Kedua, Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai tujuan harus memperhatikan aspek perbuatan melangar hukum dan aspek manusianya sekaligus menunjukkan dengan dasar teori pemidanaan, menganut asas pengimbangan atas perbuatan dan sekaligus memperlakukan narapidana sebagai manusia sekalipun telah melanggar hukum. Ketiga, Pengembangan pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan dengan segala kelemahannya, bukanlah untuk mencari jalan keluar dengan menghapuskan jenis pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana, disertai tehnik dan metode dalam rangka pembahruan pidana yang bersifat universal. Keempat, sistem pemasyarakatan sebagai proses melibatkan hubungan interrelasi, interaksi dan integritas antara komponen petugas, penegak hukum yang    menyelenggarakan proses pembinaan, dan komponen masyarakat beserta budaya yang ada disekitarnya dengan segala potensinya untuk berperan serta membantu pembinaan. Kelima,  Pemasyarakatan sebagai metode mempunyai tata cara yang direncanakan untuk menyelenggarakan pembinaan/bimbingan tertentu bagi kepentingan masyarakat dan individu narapidana yang bersangkutan melalui upaya-upaya remisi, assimilasi, integrasi, lepas bersyarat, dan progam pendidikan, latihan, ketrampilan yang realisasinya menjadi indikator dari pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Keenam, Upaya pembinaan terpidana, berupa remisi dan cuti, seharusnya dikembangkan lebih efektif, karena bukan sekedar pemberian kelonggaran pidana dengan kemurahan hati, melainkan sebagai indikator awal pembahruan pidana penjara harus dimanfaatkan sedemikian rupa agar narapidana menyadari makna pembinaan melalui sistem pemasyarakatan. Ketujuh, pokok pikiran pembaharuan pidana penjara yang diterapkan dengan sistem pemasyarakatan belum didukung oleh kekuatan undang-undang.[6]
Berkenaan dengan pidana penjara, telah diatur juga dalam RUU KUHP 2008, Pasal 69.[7]
1)      Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
2)      Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
3)      Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak  pidana yang dijatuhkan pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut.
4)      Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 70
1)      Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10 ( sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas).
2)      Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.[8]
Pasal 71
            Dengan mempertimbangkan pasal 54 dan pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut:
ü      Terdakwa berusia dibawah 8 (delapan) tahun atau diatas 70 (tujuh puluh) tahun;
ü      Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
ü      Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
ü      Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
ü      Terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
ü      Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
ü      Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
ü      Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang kembali;
ü      Kepribadian dan perilaku terdakwa menyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
ü      Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
ü      Pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
ü      Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
ü       Tindak pidana terjadi dikalangan keluarga; atau
ü      Terjadi karena kealpaan.



[1]  Barda Nawawi Arief,  Kebijakan Legislatif dan Penanggulangan Kejahatan dengan pidana Penjara ( Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996), hlm. 52.

[2]  Andi Zaenal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensir. (jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2001), hlm. 264.

[3] Dalam RUU KUHP 2008 diatur mengenai jenis pidana, berupa: pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan. Jenis pidana pokok terdiri atas:
ü       Pidana Penjara;
ü       Pidana Tutupan;
ü       Pidana Pengawasan;
ü       Pidana denda; dan
ü       Pidana kerja sosial.

Sumber:  RUU KUHP 2008 Penjelasan. http:// www.legalitas.org, akses 5 Februari 2011.


[5]  DR. Syaiful bakhri, MH. Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia ( Jakarta: Total Media, 2009), hlm. 28.
[6]  Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana ( Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 242-243.

[7]  Penjelasan Pasal 69. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini di samping menganut asas maksimum khusus juga ketentuan minimum khusus. Maksimum khusus dalam arti untuk tiap jenis pidana terdapat maksimum ancaman pidananya, sedangkan untuk batas pemidanaan yang paling rendah ditetapkan minimum umum. Minimum khusus dalam arti untuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak pidana hanya dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, akan tetapi hakim dapat menjatuhkan pidana selama 20 ( dua puluh) tahun berturut-turut bilamana tindak pidana itu diancam pidana mati atau seumur hidup, atau ada pemberatan pidana. Tetapi dalam keadaan bagaimanapun hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

[8]  Penjelasan pasal  70, Ketentuan pasal ini memberikan kewenangan kepada pejabat yang berwenang yang ditentukan dalam keputusan Presiden untuk memberi keringanan pidana bagi terpidana seumur hidup, yaitu dengan mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dengan ketentuan apabila terpidana telah menjalani pidananya sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun dengan berkelakuan baik. Karena pengutusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang diberi wewenang menetapkan keringanan pidana adalah eksekutif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar