Pidana Penjara Dalam RUU KUHP 2008
Menurut Koesnoe sebagaimana dikutip oleh
Barda Nawawi Arief, pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC (Verenigde
OostIndische Compagnie) memperkenalkan lembaga “bui” pada tahun1602 yang
kemudian dilanjutkan pada jaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara.[1]
Pidana
penjara adalah bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan, bukan hanya dalam
bentuk pidana penjara saja, tetapi juga dalam bentuk pengasingan, misalnya
Napoleon Bonaparte ke kepulauan St Helena dan pulau Elba. Pembuangan Syeh Yusuf
dari Makasar ke Sailan kemudian ke Afrika oleh VOC. Di Indonesia sistem
pengasingan ini didasarkan pada hak istimewa Gubernur Jendral (exorbitante) misalnya pengasingan Hatta
dan Syahrir ke Boven Digul kemudian ke bandara Naire. Pengasingan Sukarno ke
Endeh, kemudian ke Bengkulu. Pada zaman kemerdekaan dikenal pembuangan
orang-orang PKI, ke pulau Buru sesudah pecah gerakan 30 September/PKI.[2]
Dalam RUU KUHP 2008 pidana
penjara masuk dalam kategori pidana pokok penjara termasuk dalam pidana
pokok di samping pidana yang lain.[3]
Di samping itu pidana pokok dalam RUU KUHP 2008 diatur jenis pidana baru
berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, kedua jenis pidana ini
bersama pidana denda perlu di kembangkan sebagai alternatif pidana penjara atau
perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim, sebab
dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana ini terpidana dapat di bantu untuk
membebaskan diri dari rasa bersalah, di samping untuk menghindari efek
destrutif dari pidana perampasan kemerdekaan. Demikian pula masyarakat dapat
dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam
menjalankan kehidupan sosialnya secara
wajar dengan melakukan hal –hal yang bermanfaat.[4]
Pelaksanaan pidana penjara,
tercermin dalam pembaharuan hukum pidana (RUU KUHP 2008) yang diungkapkan oleh Bambang Poernomo
sebagaimana dikutip oleh Syaiful Bakhri.[5] Pertama, Pidana penjara tetap menjadi
pidana dan berorientasi kedepan melalui usaha kearah pemasyarakata, sehingga
tidak hanya sekedar pidana perampasan kemerdekaan akan tetapi mengandung
upaya-upaya bersifat baru yang dirumuskan sepuluh butir prinsip pemasyarakatan.
Kedua, Pelaksanaan pidana penjara
dengan sistem pemasyarakatan sebagai tujuan harus memperhatikan aspek perbuatan
melangar hukum dan aspek manusianya sekaligus menunjukkan dengan dasar teori
pemidanaan, menganut asas pengimbangan atas perbuatan dan sekaligus
memperlakukan narapidana sebagai manusia sekalipun telah melanggar hukum. Ketiga, Pengembangan pelaksanaan pidana
penjara dengan sistem pemasyarakatan dengan segala kelemahannya, bukanlah untuk
mencari jalan keluar dengan menghapuskan jenis pidana penjara dan perlakuan
cara baru terhadap narapidana, disertai tehnik dan metode dalam rangka
pembahruan pidana yang bersifat universal. Keempat,
sistem pemasyarakatan sebagai proses melibatkan hubungan interrelasi, interaksi
dan integritas antara komponen petugas, penegak hukum yang menyelenggarakan proses pembinaan, dan
komponen masyarakat beserta budaya yang ada disekitarnya dengan segala
potensinya untuk berperan serta membantu pembinaan. Kelima, Pemasyarakatan
sebagai metode mempunyai tata cara yang direncanakan untuk menyelenggarakan
pembinaan/bimbingan tertentu bagi kepentingan masyarakat dan individu
narapidana yang bersangkutan melalui upaya-upaya remisi, assimilasi, integrasi,
lepas bersyarat, dan progam pendidikan, latihan, ketrampilan yang realisasinya
menjadi indikator dari pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan.
Keenam, Upaya pembinaan terpidana,
berupa remisi dan cuti, seharusnya dikembangkan lebih efektif, karena bukan
sekedar pemberian kelonggaran pidana dengan kemurahan hati, melainkan sebagai
indikator awal pembahruan pidana penjara harus dimanfaatkan sedemikian rupa
agar narapidana menyadari makna pembinaan melalui sistem pemasyarakatan. Ketujuh, pokok pikiran pembaharuan
pidana penjara yang diterapkan dengan sistem pemasyarakatan belum didukung oleh
kekuatan undang-undang.[6]
Berkenaan
dengan pidana penjara, telah diatur juga dalam RUU KUHP 2008, Pasal 69.[7]
1)
Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup
atau untuk waktu tertentu.
2)
Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan
paling lama15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu)
hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
3)
Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana
penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhkan pidana penjara 15
(lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan
untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut.
4)
Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk
waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Pasal
70
1)
Jika terpidana seumur hidup telah menjalani
pidana paling kurang 10 ( sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka
sisa pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima
belas).
2)
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan
perubahan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.[8]
Pasal
71
Dengan mempertimbangkan pasal 54 dan
pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai
keadaan-keadaan sebagai berikut:
ü Terdakwa
berusia dibawah 8 (delapan) tahun atau diatas 70 (tujuh puluh) tahun;
ü Terdakwa
baru pertama kali melakukan tindak pidana;
ü Kerugian
dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
ü Terdakwa
telah membayar ganti kerugian kepada korban;
ü Terdakwa
tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian
yang besar;
ü Tindak
pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
ü Korban
tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
ü Tindak
pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang
kembali;
ü Kepribadian
dan perilaku terdakwa menyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana
yang lain;
ü Pidana
penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
ü Pembinaan
yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri
terdakwa;
ü Penjatuhan
pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana
yang dilakukan terdakwa;
ü Tindak pidana terjadi dikalangan keluarga;
atau
ü Terjadi
karena kealpaan.
[1] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dan Penanggulangan
Kejahatan dengan pidana Penjara ( Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1996), hlm. 52.
[2] Andi
Zaenal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk
Khusus perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Delik) dan Hukum
Penitensir. (jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2001), hlm. 264.
[3] Dalam RUU KUHP 2008 diatur mengenai
jenis pidana, berupa: pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan. Jenis
pidana pokok terdiri atas:
ü
Pidana
Penjara;
ü
Pidana
Tutupan;
ü
Pidana
Pengawasan;
ü
Pidana
denda; dan
ü
Pidana
kerja sosial.
Sumber: RUU KUHP 2008 Penjelasan. http:// www.legalitas.org,
akses 5 Februari 2011.
[5] DR.
Syaiful bakhri, MH. Perkembangan Stelsel
Pidana Indonesia ( Jakarta: Total Media, 2009), hlm. 28.
[6]
Bambang Poernomo, Pertumbuhan
Hukum penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana ( Jakarta: Bina Aksara,
1984), hlm. 242-243.
[7]
Penjelasan Pasal 69. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini di samping
menganut asas maksimum khusus juga ketentuan minimum khusus. Maksimum khusus
dalam arti untuk tiap jenis pidana terdapat maksimum ancaman pidananya,
sedangkan untuk batas pemidanaan yang paling rendah ditetapkan minimum umum. Minimum khusus dalam arti untuk
tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak pidana hanya dapat
dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, akan tetapi hakim
dapat menjatuhkan pidana selama 20 ( dua puluh) tahun berturut-turut bilamana
tindak pidana itu diancam pidana mati atau seumur hidup, atau ada pemberatan
pidana. Tetapi dalam keadaan bagaimanapun hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
penjara lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
[8]
Penjelasan pasal 70, Ketentuan
pasal ini memberikan kewenangan kepada pejabat yang berwenang yang ditentukan
dalam keputusan Presiden untuk memberi keringanan pidana bagi terpidana seumur
hidup, yaitu dengan mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dengan ketentuan apabila terpidana telah
menjalani pidananya sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun dengan berkelakuan
baik. Karena pengutusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
instansi atau pejabat yang diberi wewenang menetapkan keringanan pidana adalah
eksekutif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar