Senin, 11 Februari 2013

IDHAM CHALID: BIOGRAFI, KARYA DAN GAYA KEPEMIMIPINAN


IDHAM CHALID: BIOGRAFI, KARYA DAN GAYA KEPEMIMIPINAN

A. Asal-usul dan Pendidikan

            Tidak banyak yang bisa dilacak mengenai asal-usul Idham Chalid- selanjutnya disebut Idham, dari sumber tertulis. Publikasi yang ada hanya menyentuhnya sedikit sekali dengan validitas data yang kurang akurat.[1] Sebagian besar bagian ini didapat dari wawancara yang dikonfrontir dengan beberapa catatan yang termuat dalam sumber tertulis. 
Idham dilahirkan di Setui, (dekat wilayah Kota Baru-bagian tenggara Kalimantan) Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1922.[2] Ayahnya orang Amuntai dan ibunya orang Setui, dan inilah yang menjadi alasan mengapa Idham lahir di Setui. Ayahnya bernama H. Muhammad Chalid, seorang penghulu (pemuka agama yang berwenang untuk mengawinkan orang). Ia memiliki empat saudara kandung dalam keluarga, dua laki-laki dan dua adik perempuan.[3] Data ini merupakan koreksi bagi Greg Fealy, seorang sarjana Australia yang menulis tentang sejarah NU  1952-1967, yang menyebutkan bahwa Idham adalah anak lelaki satu-satunya seorang ulama lokal.[4]
Ketika berumur sekitar 6 tahun, Idham dan keluarganya pindah ke kampung halaman ayahnya, Amuntai- Hulu Sungai Utara (kurang lebih 200 KM dari Banjarmasin). Di Amuntai, keluarga ini tinggal di daerah Tangga Ulin dimana sanak familinya telah tinggal secara turun-temurun. Menurut cerita, kepindahan ini didahului oleh suatu kejadian dimana Idham dan orang tuanya diserang oleh sekelompok orang. Walaupun mereka selamat, tak pelak kejadian itu menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman, sehingga orang tua Idham memutuskan untuk meninggalkan daerah tersebut.[5]
            Di Amuntai Idham menghabiskan masa kecilnya. Ia adalah seorang anak yang cerdas dan berbakat. Idham langsung ditempatkan di kelas II ketika mendaftar masuk ke Sekolah Rakyat (SR) Amuntai. Selain itu, kemampuannya berpidato sudah mulai kelihatan sejak Idham bersekolah di SR. Teman akrabnya sejak kecil, H. Napiah, bercerita bahwa dengan penuh percaya diri Idham berpidato di depan teman-teman sekolahnya pada 31 Agustus 1934. Berarti usia Idham saat itu baru sekitar 12 tahun. Pidato buatan gurunya tersebut disampaikan dengan lantang tanpa teks. Hari itu merupakan hari yang tak terlupakan, dan sejak itulah Idham semakin sering berpidato di depan khalayak ramai dan berproses menjadi seorang pembicara yang ulung. Kelak kemampuan berpidatonya diakui secara luas baik di Amuntai maupun di kancah Nasional, baik sebagai penceramah, juru kampanye ataupun pengajar. Dan tak tanggung-tanggung, da’i kondang selevel Zainuddin MZ dan Syukron Makmun pun pernah berguru padanya. Kemampuannya ini pula - yang dikombinasikan dengan kecerdasan dan kerendahan hati, yang menjadi modal bagi perjalanannya di dunia politik. Pada tahun 1935, ia menamatkan pendidikan dasarnya. [6]
Idham kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah al Rasyidiyyah (dulunya bernama Arabisch School), sebuah lembaga pendidikan agama Islam. Didirikan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid pada tahun 1922. Beliau merupakan lulusan universitas Al-Azhar yang saat itu terkenal sebagai pusat studi agama Islam. Lembaga ini awalnya hanya pengajian yang dilangsungkan di rumah dengan sistim halaqah (para santri duduk di sekeliling guru sambil mengikuti pelajaran). Bertambahnya jumlah santri menyebabkan tempat pengajian dipindah ke surau (mushalla). Tetapi, yang cukup menarik dan terbilang maju saat itu adalah penggunaan perlengkapan belajar seperti meja, kursi dan papan tulis.  Meningkatnya animo masyarakat membuat sang guru membangun gedung dan dinamainya Arabische School (sekolah Arab).
H. Abdurrasyid adalah tipikal ulama pelopor pendirian perguruan agama. Beliau tidak hanya mendirikan sekolah di Amuntai, tetapi di berbagai wilayah di Hulu Sungai. Murid-murid beliau yang terkemuka juga diberi tugas membuka sekolah-sekolah agama jika telah kembali ke daerah mereka. Ia yang lulusan Al Azhar merekrut ulama-ulama setempat  yang sebagiannya adalah lulusan Mekkah dan memberikan keleluasaan bagi pengembangan sekolah. Bila telah ada generasi muda yang siap untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan, beliau akan menyerahkannya dan pergi ke daerah lain untuk mendirikan perguruan agama yang lain.
22 Agustus 1931 kepemimpinan sekolah ini diserahkan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid kepada H. Juhri Sulaiman, karena beliau akan pergi ke Kandangan (HSS) untuk mendirikan perguruan Islam di sana. Pada saat itulah sekolah ini diganti namanya menjadi Madrasatur Rasyidiyyah dengan pengertian bahwa perguruan Islam ini adalah warisan sekaligus cita-cita Tuan Guru Abdurrasyid yang harus terus diperjuangkan.[7]
Sekolah ini merupakan alternatif bagi sekolah yang didirikan Belanda. Selain faktor ke-pribumi-annya, sekolah ini mendapat respon positif karena latar belakang keagamaan masyarakat Amuntai yang mempengaruhi pilihan pendidikan bagi putra-putri mereka.
Kesinambungan dan perubahan (dan juga pengembangan) menjadi ciri khas sekolah ini. Beberapa kali terjadi perubahan sistim pendidikan seiring dengan bergantinya pucuk pimpinan. Direkrutnya para pengajar dari Pondok Modern Gontor adalah salah perkembangan yang terjadi saat Idham bersekolah di sana. Tokoh dari Gontor yang berpengaruh bagi sekolah ini di masa-masa awal pengembangannya adalah ustadz Arif Lubis. Pengajar dari gontor inilah yang kemudian memberikan warna “modern” bagi sekolah ini. Pengetahuan umum dimasukkan, organisasi didirikan, bahasa Arab dan Inggris dipraktekkan. Hal ini memberi pengaruh yang positif bagi Idham. Bahasa yang dikenalnya bertambah, yakni bahasa Arab dan Inggris, dan merupakan pengalaman pertama pada organisasi. Para pengajarnya pula yang membuat Gontor menjadi tujuan para murid setamatnya dari sekolah tersebut.[8]
Semenjak tamat tahun 1938, Idham semakin sering diundang untuk berceramah di berbagai acara dan pertemuan. Hal ini membuat nama dikenal luas dan pergaulannya tidak terbatas pada teman-temannya saja, melainkan pemuka-pemuka agama yang sudah terkenal di daerah itu.[9] Tetapi, pihak keluarganya menginginkan dirinya melanjutkan pendidikannya. Idham adalah anak yang cerdas dan berbakat, sehingga sayang kalau pendidikannya tidak dilanjutkan. Kira-kira demikianlah kesimpulan keluarganya dalam mengamati perkembangan tokoh kita ini.
Tahun 1938, Idham dikirim bersama beberapa orang temannya melanjutkan pendidikannya ke Pondok Modern (PM) Gontor Ponorogo dalam “missi studi” almamaternya. Selama lima tahun menimba ilmu di sana Idham menyelesaikan pendidikannya di sana. Tiga tahun di Kulliyah al Mu’allimin al Islamiyah (pendidikan guru agama Islam) dan sisanya di tingkat Kweekschool Islam Bovenbouw.[10] Hal ini kembali menunjukkan kecerdasannya karena lazimnya hingga tingkat tersebut seorang santri harus menghabiskan waktu 7 hingga 8 tahun. Tahun 1943 Idham meneruskan pendidikannya ke Jakarta dan setahun kemudian menjadi guru di Gontor, sekaligus menjabat wakil direktur di sana.[11]
            Di Gontor kesadaran berorganisasi Idham semakin meningkat dan menemukan salurannya dengan aktif di gerakan kepanduan. Dalam hal kemampuan berbahasa, selain penguasaan bahasa Arab dan Inggris yang semakin meningkat, di Gontor ia mendapatkan kemampuan berbahasa Jepang. Ia bahkan menjadi pengajar bahasa ini. Pihak Jepang yang sangat senang ada anak muda pribumi yang menguasaibahasa ibu” mereka bahkan sempat mengundangnya untuk berkunjung ke negeri Matahari Terbit tersebut. Dan sebagaimana lazimnya tokoh yang lahir di masa-masa pemerintahan kolonial, Idham juga bisa berbahasa  Belanda. [12]
B. Menjadi Kepala Sekolah dan Mendirikan IMI
            Kabar tentang diundangnya Idham ke Jepang sampai ke kampung halamannya. Orang tuanya bukannya senang, justru mengkhawatirkannya. Hal ini wajar karena Jepang datang ke Indonesia bukan sebagai tamu atau penolong, melainkan penjajah yang menggantikan Belanda. Ditambah kerinduan setelah lima tahun berpisah, orang tua Idham memanggilnya pulang. Pada tahun 1945 Idham kembali ke Kalimantan Selatan dan tak berapa lama kemudian diminta menjadi Kepala di sekolahnya dulu, Madrasatur Rasyidiyyah. Sekolah tersebut mengalami kekosongan pimpinan dalam rentang waktu hampir satu tahun, sejak 1944, terkait dengan semakin ketatnya pengawasan dari pihak Jepang.
Kedatangannya  ke  almamaternya  ini  membawa  semangat  perubahan.  Oleh  Idham,  nama  sekolah  dirubah  dengan  nama  baru – Normal Islam Amuntai. Normal berasal dari bahasa Belanda (Noormaal) yang berarti sekolah lanjutan.[13] Perubahan nama ini seiring dengan perubahan sistim pengajaran dan pendidikan yang disesuaikan dengan yang diikuti Idham di PM Gontor. Sebagian dari guru-guru yang mengajar di Gontor berasal  dari  Normal  Islam  Padang  yang  sudah terkenal saat itu.[14] Sistim pengajaran ini sudah mendapat fondasi, karena pimpinan sekolah sebelum Idham telah mengenalkannya. Kepala sekolah tersebut adalah H. M. Arif Lubis yang merupakan lulusan Normal Islam Padang dan pernah mengajar di Gontor. 
            Perubahan terutama pada penambahan mata pelajaran ilmu-ilmu eksakta dan pengetahuan umum di samping ilmu-ilmu agama beserta penunjangnya (Ilmu Alat). Perbandingannya adalah 60 % pelajaran agama dan 40 % pelajaran umum. Sebagai catatan, bahasa Arab digunakan sebagai bahasa pengantar.[15] Nampaknya jiwa dan roh dari kurikulum ini adalah tekanannya kepada penguasaan bahasa Arab dan Inggris, sebagai bahasa agama, ibadah dan ilmu pengetahuan serta komunikasi internasional. Karena itu bukan saja mata pelajaran agama diajarkan dengan mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab, bahkan pelajaran umum pun juga diajarkan dengan referensi kitab-kitab berbahasa padang pasir tersebut. Mata pelajaran umum yang diajarkan dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab seperti pelajaran At Tarbiyah wa  at Ta’lim, al Adyan, Ilm an Nafas, Falsafah, Thabaqah al Umam dan sebagainya.[16]
            Tahun 1945 adalah tahun yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tahun itu, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia. Idham Chalid yang terlahir dan tumbuh pada di zaman revolusi kemerdekaan mendapatkan kesadaran tentang Indonesia Merdeka. Kemungkinan besar kesadaran ini telah didapat sewaktu masih di Amuntai dan diperkuat saat bersekolah di Gontor. Kesadaran yang sama “ditularkan” dan ditanamkan kepada murid-muridnya di Normal Islam Amuntai pada saat proses belajar-mengajar di kelas.[17] Ini adalah bagian kedua dari semangat perubahan yang dibawakannya.
            Kecenderungan aktifisnya dan kemampuannya mengorganisir massa terlihat ketika Idham bersama teman-temannya mendirikan Ittihad al Ma’ahid al Islamiyyah (IMI) atau Ikatan Sekolah-sekolah Islam. Sebagaimana telah disebutkan, ada kecenderungan untuk mendirikan perguruan-perguruan agama dalam masyarakat di Amuntai. Pada saat kekuasaan Jepang di Hindia Belanda hampir lumpuh, kondisi perguruan-perguruan Islam di daerah ini sangat menyedihkan sebagai akibat ketatnya sistem yang dijalankan oleh Jepang. Tidak sedikit sekolah yang tutup karena dicurigai pemerintah Jepang. Idham melihat adalah saat yang tepat bagi perguruan-perguruan yang masih tersisa untuk bangkit kembali. Terdorong oleh komitment terhadap pendidikan Islam Idham Chalid dan beberapa temannya mendirikan IMI dengan tujuan mempersatukan dan membangun kerja sama di antara perguruan-perguruan Islam. Ada tujuh perguruan yang saat itu bergabung dalam IMI, yaitu Normal Islam- Pekapuran, Amuntai; Al Fatah- Paliwara Hilir; Zakhratun Nisaa- Paliwara Hulu; Al Hidayah- Sungai Durian; At Tadlhiyyah- Pekapuran; Al Fajar- Paringin; As Sullamun Najah- Telaga Selaba; dan Asy Syafi’iyyah- Lok Bangkai. Mereka menyadari hanya dengan bekerja sama maka umat Islam dapat maju ke depan dan terus


[1] Dari sedikit publikasi yang ada tentang Idham antara lain dalam Tim Penulis Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (Jakarta: Grafiti, 1981), hlm. 99; Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 290-291; serta semacam Curriculum Vitae yang ditanda tangani  Idham yang dilampirkan dalam kumpulan pidatonya,  Mendajung dalam Taufan,  (Djakarta: Endang-Api Islam, 1966), hlm. 133-135. Selebihnya kisah Idham Chalid disajikan secara sepenggal-sepenggal  di berbagai tulisan baik ilmiah maupun berita di media massa dan biasanya berkaitan dengan sejarah NU. Selain dalam bentuk tulisan, riwayat hidup Idham direkam dalam kaset-kaset (Interview Series) yang disimpan Arsip Nasional.

[2] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 133. Berbeda dengan yang dimuat Tempo, Idham disebutkan lahir 5 Januari 1921. Lih. Tim Penulis Tempo, Apa dan Siapa, hlm. 99. Data-data inilah yang dikutip Martin van Bruinessen, NU,  dan Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, terj: Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (Yogyakarta: LKiS, 2003).

[3] Wawancara dengan H. Taberani Basri dan Istri, 24 Oktober 2004, di  Banjarmasin.
H. Taberani Basri (lahir 1938) adalah alumni Pon-pes Rasyidiyyah Khalidiyyah (Rakha) Amuntai (lulus 1955) dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah menjadi Wakil Ketua Tanfidziyyah PWNU Kalimantan Selatan selama dua periode dan satu periode untuk jabatan Ketua Tanfidziyyah sampai 2002, Dosen di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (pensiun tahun 2003). Isterinya bernama Hj. Rasyidah (lahir 1940), adalah puteri ketiga dari H. Juhri Sulaiman pimpinan kedua Pesantren Rakha (waktu itu masih bernama Madrasah al Rasyidiyyah). H. Juhri Sulaiman memiliki hubungan keluarga dengan Idham Chalid ( Idham adalah pamannya walaupun usianya jauh lebih muda) dan beliau tinggal di wilayah Tangga Ulin - Amuntai dimana Idham menghabiskan masa kecilnya.

[4] Greg Fealy, Ijtihad, catatan no 115, hlm. 231.

[5] Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai.
H. Napiah adalah sahabat Idham sejak kecil di Amuntai, orang dekat sekaligus tangan kanan Idham di Rakha. Sering berkunjung ke kediaman Idham di Jakarta atas undangan Idham bahkan sampai Idham sakit keras di pertengahan tahun 90-an. Menjadi pimpinan Rakha sejak awal tahun 1980-an. Sampai sekarang masih aktif di Yayasan Rasyidiyyah Khalidiyyah dan menjadi salah satu tokoh masyarakat Amuntai.


[6] Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai. Beliau bercerita bahwa badan Idham yang kecil membuat dia harus menggunakan bangku agar kelihatan saat berpidato di podium.  Ini terjadi ketika Idham diundang berpidato di Amuntai yang dihadiri khalayak ramai setamatnya dari Madrasatur Rasyidiyyah. Kemampuan berpidatonya di usia yang sangat muda menjadi daya tarik tersendiri bagi Idham Chalid.

[7] Panitia Pelaksana,  50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyyah Khalidiyyah (Rakha) Amuntai-Kalimantan Selatan 1922-1972 (Amuntai : Yayasan Pemelihara Perguruan Islam Rakha, 1972), hlm.23-32.

[8] Ibid.;  Wawancara dengan H. Taberani Basri dan Istri, 24 Oktober 2004, di  Banjarmasin.

[9] Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai..

[10] Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 34 dan Idham Chalid, Mendajung …, hlm. 133.

[11] Idham Chalid, Mendajung, hlm. 133. ; Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai.

[12] Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di Amuntai.; lih. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 373-374.

[13] Lih. Umar Kayam, Para Priyayi, cet. VIII (Jakarta: Graffiti, 2001), hlm. 52.

[14] Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 35

[15] Ibid.

[16] A. Rafi’ie, Kurikulum Pendidikan dan Pengajaran Pesantren Rasyidiyyah Khalidiyyah Amuntai, makalah disampaikan dalam Rapat Paripurna Reuni Alumni Rakha tahun 2001.

[17] Panitia Pelaksana,  50 Tahun, hlm. 34. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar