IDHAM CHALID: BIOGRAFI,
KARYA DAN GAYA
KEPEMIMIPINAN
A. Asal-usul dan Pendidikan
Tidak
banyak yang bisa dilacak mengenai asal-usul Idham Chalid- selanjutnya disebut
Idham, dari sumber tertulis. Publikasi yang ada hanya menyentuhnya sedikit
sekali dengan validitas data yang kurang akurat.[1]
Sebagian besar bagian ini didapat dari wawancara yang dikonfrontir dengan
beberapa catatan yang termuat dalam sumber tertulis.
Idham
dilahirkan di Setui, (dekat wilayah Kota
Baru-bagian tenggara Kalimantan) Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1922.[2]
Ayahnya orang Amuntai dan ibunya orang Setui, dan inilah yang menjadi alasan
mengapa Idham lahir di Setui. Ayahnya bernama H. Muhammad Chalid, seorang
penghulu (pemuka agama yang berwenang untuk mengawinkan orang). Ia memiliki
empat saudara kandung dalam keluarga, dua laki-laki dan dua adik perempuan.[3]
Data ini merupakan koreksi bagi Greg Fealy, seorang sarjana Australia yang
menulis tentang sejarah NU 1952-1967,
yang menyebutkan bahwa Idham adalah anak lelaki satu-satunya seorang ulama
lokal.[4]
Ketika
berumur sekitar 6 tahun, Idham dan keluarganya pindah ke kampung halaman
ayahnya, Amuntai- Hulu Sungai Utara (kurang lebih 200 KM dari Banjarmasin). Di Amuntai, keluarga ini
tinggal di daerah Tangga Ulin dimana sanak familinya telah tinggal secara
turun-temurun. Menurut cerita, kepindahan ini didahului oleh suatu kejadian
dimana Idham dan orang tuanya diserang oleh sekelompok orang. Walaupun mereka
selamat, tak pelak kejadian itu menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak
nyaman, sehingga orang tua Idham memutuskan untuk meninggalkan daerah tersebut.[5]
Di
Amuntai Idham menghabiskan masa kecilnya. Ia adalah seorang anak yang cerdas
dan berbakat. Idham langsung ditempatkan di kelas II ketika mendaftar masuk ke
Sekolah Rakyat (SR) Amuntai. Selain itu, kemampuannya berpidato sudah mulai
kelihatan sejak Idham bersekolah di SR. Teman akrabnya sejak kecil, H. Napiah,
bercerita bahwa dengan penuh percaya diri Idham berpidato di depan teman-teman
sekolahnya pada 31 Agustus 1934. Berarti usia Idham saat itu baru sekitar 12
tahun. Pidato buatan gurunya tersebut disampaikan dengan lantang tanpa teks.
Hari itu merupakan hari yang tak terlupakan, dan sejak itulah Idham semakin
sering berpidato di depan khalayak ramai dan berproses menjadi seorang
pembicara yang ulung. Kelak kemampuan berpidatonya diakui secara luas baik di
Amuntai maupun di kancah Nasional, baik sebagai penceramah, juru kampanye
ataupun pengajar. Dan tak tanggung-tanggung, da’i kondang selevel
Zainuddin MZ dan Syukron Makmun pun pernah berguru padanya. Kemampuannya ini
pula - yang dikombinasikan dengan kecerdasan dan kerendahan hati, yang menjadi
modal bagi perjalanannya di dunia politik. Pada tahun 1935, ia menamatkan
pendidikan dasarnya. [6]
Idham
kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah al Rasyidiyyah (dulunya
bernama Arabisch School), sebuah lembaga pendidikan agama Islam.
Didirikan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid pada tahun 1922. Beliau merupakan
lulusan universitas Al-Azhar yang saat itu terkenal sebagai pusat studi agama
Islam. Lembaga ini awalnya hanya pengajian yang dilangsungkan di rumah dengan
sistim halaqah (para santri duduk di sekeliling guru sambil mengikuti
pelajaran). Bertambahnya jumlah santri menyebabkan tempat pengajian dipindah ke
surau (mushalla). Tetapi, yang cukup menarik dan terbilang maju saat itu adalah
penggunaan perlengkapan belajar seperti meja, kursi dan papan tulis. Meningkatnya animo masyarakat membuat sang
guru membangun gedung dan dinamainya Arabische
School (sekolah Arab).
H.
Abdurrasyid adalah tipikal ulama pelopor pendirian perguruan agama. Beliau
tidak hanya mendirikan sekolah di Amuntai, tetapi di berbagai wilayah di Hulu
Sungai. Murid-murid beliau yang terkemuka juga diberi tugas membuka
sekolah-sekolah agama jika telah kembali ke daerah mereka. Ia yang lulusan Al
Azhar merekrut ulama-ulama setempat yang
sebagiannya adalah lulusan Mekkah dan memberikan keleluasaan bagi pengembangan
sekolah. Bila telah ada generasi muda yang siap untuk menerima tongkat estafet
kepemimpinan, beliau akan menyerahkannya dan pergi ke daerah lain untuk mendirikan
perguruan agama yang lain.
22
Agustus 1931 kepemimpinan sekolah ini diserahkan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid
kepada H. Juhri Sulaiman, karena beliau akan pergi ke Kandangan (HSS) untuk
mendirikan perguruan Islam di sana. Pada saat itulah sekolah ini diganti
namanya menjadi Madrasatur Rasyidiyyah dengan pengertian bahwa perguruan Islam
ini adalah warisan sekaligus cita-cita Tuan Guru Abdurrasyid yang harus terus
diperjuangkan.[7]
Sekolah
ini merupakan alternatif bagi sekolah yang didirikan Belanda. Selain faktor
ke-pribumi-annya, sekolah ini mendapat respon positif karena latar belakang
keagamaan masyarakat Amuntai yang mempengaruhi pilihan pendidikan bagi
putra-putri mereka.
Kesinambungan
dan perubahan (dan juga pengembangan) menjadi ciri khas sekolah ini. Beberapa
kali terjadi perubahan sistim pendidikan seiring dengan bergantinya pucuk
pimpinan. Direkrutnya para pengajar dari Pondok Modern Gontor adalah salah
perkembangan yang terjadi saat Idham bersekolah di sana. Tokoh dari Gontor yang berpengaruh bagi
sekolah ini di masa-masa awal pengembangannya adalah ustadz Arif Lubis.
Pengajar dari gontor inilah yang kemudian memberikan warna “modern” bagi
sekolah ini. Pengetahuan umum dimasukkan, organisasi didirikan, bahasa Arab dan
Inggris dipraktekkan. Hal ini memberi pengaruh yang positif bagi Idham. Bahasa
yang dikenalnya bertambah, yakni bahasa Arab dan Inggris, dan merupakan
pengalaman pertama pada organisasi. Para
pengajarnya pula yang membuat Gontor menjadi tujuan para murid setamatnya dari
sekolah tersebut.[8]
Semenjak
tamat tahun 1938, Idham semakin sering diundang untuk berceramah di berbagai
acara dan pertemuan. Hal ini membuat nama dikenal luas dan pergaulannya tidak
terbatas pada teman-temannya saja, melainkan pemuka-pemuka agama yang sudah
terkenal di daerah itu.[9]
Tetapi, pihak keluarganya menginginkan dirinya melanjutkan pendidikannya. Idham
adalah anak yang cerdas dan berbakat, sehingga sayang kalau pendidikannya tidak
dilanjutkan. Kira-kira demikianlah kesimpulan keluarganya dalam mengamati
perkembangan tokoh kita ini.
Tahun
1938, Idham dikirim bersama beberapa orang temannya melanjutkan pendidikannya
ke Pondok Modern (PM) Gontor Ponorogo dalam “missi studi” almamaternya. Selama lima tahun menimba ilmu
di sana Idham
menyelesaikan pendidikannya di sana.
Tiga tahun di Kulliyah al Mu’allimin al Islamiyah (pendidikan guru agama
Islam) dan sisanya di tingkat Kweekschool Islam Bovenbouw.[10]
Hal ini kembali menunjukkan kecerdasannya karena lazimnya hingga tingkat
tersebut seorang santri harus menghabiskan waktu 7 hingga 8 tahun. Tahun 1943
Idham meneruskan pendidikannya ke Jakarta dan setahun kemudian menjadi guru di
Gontor, sekaligus menjabat wakil direktur di sana.[11]
Di Gontor
kesadaran berorganisasi Idham semakin meningkat dan menemukan salurannya dengan
aktif di gerakan kepanduan. Dalam hal kemampuan berbahasa, selain penguasaan
bahasa Arab dan Inggris yang semakin meningkat, di Gontor ia mendapatkan
kemampuan berbahasa Jepang. Ia bahkan menjadi pengajar bahasa ini. Pihak Jepang
yang sangat senang ada anak muda pribumi yang menguasai “bahasa ibu” mereka bahkan
sempat mengundangnya untuk berkunjung ke negeri Matahari Terbit tersebut. Dan
sebagaimana lazimnya tokoh yang lahir di masa-masa pemerintahan kolonial, Idham
juga bisa berbahasa Belanda. [12]
B. Menjadi Kepala Sekolah dan Mendirikan IMI
Kabar
tentang diundangnya Idham ke Jepang sampai ke kampung halamannya. Orang tuanya
bukannya senang, justru mengkhawatirkannya. Hal ini wajar karena Jepang datang
ke Indonesia
bukan sebagai tamu atau penolong, melainkan penjajah yang menggantikan Belanda.
Ditambah kerinduan setelah lima
tahun berpisah, orang tua Idham memanggilnya pulang. Pada tahun 1945 Idham
kembali ke Kalimantan Selatan dan tak berapa lama kemudian diminta menjadi
Kepala di sekolahnya dulu, Madrasatur Rasyidiyyah. Sekolah tersebut mengalami
kekosongan pimpinan dalam rentang waktu hampir satu tahun, sejak 1944, terkait
dengan semakin ketatnya pengawasan dari pihak Jepang.
Kedatangannya ke
almamaternya ini membawa
semangat perubahan. Oleh
Idham, nama sekolah
dirubah dengan nama
baru – Normal Islam Amuntai. Normal berasal dari bahasa Belanda
(Noormaal) yang berarti sekolah lanjutan.[13]
Perubahan nama ini seiring dengan perubahan sistim pengajaran dan pendidikan
yang disesuaikan dengan yang diikuti Idham di PM Gontor. Sebagian dari
guru-guru yang mengajar di Gontor berasal
dari Normal Islam
Padang yang sudah terkenal saat itu.[14]
Sistim pengajaran ini sudah mendapat fondasi, karena pimpinan sekolah sebelum
Idham telah mengenalkannya. Kepala sekolah tersebut adalah H. M. Arif Lubis
yang merupakan lulusan Normal Islam Padang dan pernah mengajar di Gontor.
Perubahan
terutama pada penambahan mata pelajaran ilmu-ilmu eksakta dan pengetahuan umum
di samping ilmu-ilmu agama beserta penunjangnya (Ilmu Alat). Perbandingannya
adalah 60 % pelajaran agama dan 40 % pelajaran umum. Sebagai catatan, bahasa
Arab digunakan sebagai bahasa pengantar.[15]
Nampaknya jiwa dan roh dari kurikulum ini adalah tekanannya kepada penguasaan
bahasa Arab dan Inggris, sebagai bahasa agama, ibadah dan ilmu pengetahuan
serta komunikasi internasional. Karena itu bukan saja mata pelajaran agama
diajarkan dengan mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab, bahkan pelajaran
umum pun juga diajarkan dengan referensi kitab-kitab berbahasa padang pasir tersebut. Mata pelajaran umum
yang diajarkan dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab seperti pelajaran At
Tarbiyah wa at Ta’lim, al Adyan, Ilm an
Nafas, Falsafah, Thabaqah al Umam dan sebagainya.[16]
Tahun
1945 adalah tahun yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tahun itu,
kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia.
Idham Chalid yang terlahir dan tumbuh pada di zaman revolusi kemerdekaan
mendapatkan kesadaran tentang Indonesia
Merdeka. Kemungkinan besar kesadaran ini telah didapat sewaktu masih di Amuntai
dan diperkuat saat bersekolah di Gontor. Kesadaran yang sama “ditularkan” dan
ditanamkan kepada murid-muridnya di Normal
Islam Amuntai pada saat proses belajar-mengajar di kelas.[17]
Ini adalah bagian kedua dari semangat perubahan yang dibawakannya.
Kecenderungan
aktifisnya dan kemampuannya mengorganisir massa
terlihat ketika Idham bersama teman-temannya mendirikan Ittihad al Ma’ahid
al Islamiyyah (IMI) atau Ikatan Sekolah-sekolah Islam. Sebagaimana telah
disebutkan, ada kecenderungan untuk mendirikan perguruan-perguruan agama dalam
masyarakat di Amuntai. Pada saat kekuasaan Jepang di Hindia Belanda hampir
lumpuh, kondisi perguruan-perguruan Islam di daerah ini sangat menyedihkan sebagai
akibat ketatnya sistem yang dijalankan oleh Jepang. Tidak sedikit sekolah yang
tutup karena dicurigai pemerintah Jepang. Idham melihat adalah saat yang tepat
bagi perguruan-perguruan yang masih tersisa untuk bangkit kembali. Terdorong
oleh komitment terhadap pendidikan Islam Idham Chalid dan beberapa temannya
mendirikan IMI dengan tujuan mempersatukan dan membangun kerja sama di antara
perguruan-perguruan Islam. Ada tujuh perguruan yang saat itu bergabung dalam
IMI, yaitu Normal Islam- Pekapuran, Amuntai; Al Fatah- Paliwara
Hilir; Zakhratun Nisaa- Paliwara Hulu; Al Hidayah- Sungai Durian;
At Tadlhiyyah- Pekapuran; Al Fajar- Paringin; As Sullamun
Najah- Telaga Selaba; dan Asy Syafi’iyyah- Lok Bangkai. Mereka
menyadari hanya dengan bekerja sama maka umat Islam dapat maju ke depan dan
terus
[1]
Dari sedikit publikasi yang ada tentang Idham antara lain dalam Tim Penulis
Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (Jakarta:
Grafiti, 1981), hlm. 99; Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi
Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 290-291; serta
semacam Curriculum Vitae yang ditanda tangani Idham yang dilampirkan dalam kumpulan
pidatonya, Mendajung dalam Taufan, (Djakarta: Endang-Api Islam, 1966), hlm.
133-135. Selebihnya kisah Idham Chalid disajikan secara
sepenggal-sepenggal di berbagai tulisan
baik ilmiah maupun berita di media massa
dan biasanya berkaitan dengan sejarah NU. Selain dalam bentuk tulisan, riwayat
hidup Idham direkam dalam kaset-kaset (Interview Series) yang disimpan Arsip
Nasional.
[2] Idham
Chalid, Mendajung, hlm. 133. Berbeda dengan yang dimuat Tempo, Idham
disebutkan lahir 5 Januari 1921. Lih. Tim Penulis Tempo, Apa dan Siapa,
hlm. 99. Data-data inilah yang dikutip Martin van Bruinessen, NU, dan Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama,
Sejarah NU 1952-1967, terj: Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar
(Yogyakarta: LKiS, 2003).
[3]
Wawancara dengan H. Taberani Basri dan Istri, 24 Oktober 2004, di Banjarmasin.
H.
Taberani Basri (lahir 1938) adalah alumni Pon-pes Rasyidiyyah Khalidiyyah
(Rakha) Amuntai (lulus 1955) dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah menjadi
Wakil Ketua Tanfidziyyah PWNU Kalimantan Selatan selama dua periode dan satu
periode untuk jabatan Ketua Tanfidziyyah sampai 2002, Dosen di Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin
(pensiun tahun 2003). Isterinya bernama Hj. Rasyidah (lahir 1940), adalah
puteri ketiga dari H. Juhri Sulaiman pimpinan kedua Pesantren Rakha (waktu itu
masih bernama Madrasah al Rasyidiyyah). H. Juhri Sulaiman memiliki
hubungan keluarga dengan Idham Chalid ( Idham adalah pamannya walaupun usianya
jauh lebih muda) dan beliau tinggal di wilayah Tangga Ulin - Amuntai dimana Idham
menghabiskan masa kecilnya.
[4]
Greg Fealy, Ijtihad, catatan no 115, hlm. 231.
[5]
Wawancara dengan H. Napiah, 24
November 2004 di Amuntai.
H. Napiah
adalah sahabat Idham sejak kecil di Amuntai, orang dekat sekaligus tangan kanan
Idham di Rakha. Sering berkunjung ke kediaman Idham di Jakarta atas undangan Idham bahkan sampai
Idham sakit keras di pertengahan tahun 90-an. Menjadi pimpinan Rakha sejak awal
tahun 1980-an. Sampai sekarang masih aktif di Yayasan Rasyidiyyah Khalidiyyah
dan menjadi salah satu tokoh masyarakat Amuntai.
[6]
Wawancara dengan H. Napiah, 24
November 2004 di Amuntai. Beliau bercerita bahwa badan Idham yang
kecil membuat dia harus menggunakan bangku agar kelihatan saat berpidato di
podium. Ini terjadi ketika Idham
diundang berpidato di Amuntai yang dihadiri khalayak ramai setamatnya dari
Madrasatur Rasyidiyyah. Kemampuan berpidatonya di usia yang sangat muda menjadi
daya tarik tersendiri bagi Idham Chalid.
[7]
Panitia Pelaksana, 50 Tahun Perguruan
Islam Rasyidiyyah Khalidiyyah (Rakha) Amuntai-Kalimantan Selatan 1922-1972
(Amuntai : Yayasan Pemelihara Perguruan Islam Rakha, 1972), hlm.23-32.
[8] Ibid.;
Wawancara dengan H. Taberani Basri
dan Istri, 24 Oktober 2004, di
Banjarmasin.
[9]
Wawancara dengan H. Napiah, 24
November 2004 di Amuntai..
[10]
Panitia Pelaksana, 50 Tahun, hlm.
34 dan Idham Chalid, Mendajung …, hlm. 133.
[11] Idham
Chalid, Mendajung, hlm. 133. ; Wawancara dengan H. Napiah, 24 November 2004 di
Amuntai.
[12]
Wawancara dengan H. Napiah, 24
November 2004 di Amuntai.; lih. Saifuddin Zuhri, Guruku
Orang-Orang dari Pesantren (Yogyakarta:
LKiS, 2001), hlm. 373-374.
[13]
Lih. Umar Kayam, Para Priyayi, cet. VIII (Jakarta: Graffiti, 2001), hlm. 52.
[14]
Panitia Pelaksana, 50 Tahun, hlm.
35
[15] Ibid.
[16] A.
Rafi’ie, Kurikulum Pendidikan dan Pengajaran Pesantren Rasyidiyyah
Khalidiyyah Amuntai, makalah disampaikan dalam Rapat Paripurna Reuni Alumni
Rakha tahun 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar