Senin, 11 Februari 2013

KODE ETIK PROFESI HAKIM INDONESIA


 

KODE ETIK PROFESI HAKIM INDONESIA

A. Gambaran Umum Peranan Hakim
            1. Pengertian Hakim
            Sebelum membahas pengertian kode etik, maka terlebih dahulu perlu dipahami pengertian hakim. Hakim berasal dari kata   حكم – يحكم – حاكم  : sama artinya dengan qod}i yang berasal dari kata  قضى – يقضى – قا ض artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.[1] Adapun pengertian menurut syar'a yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan,[2] sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qod}i untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.[3] Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah, diakibatkan dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara yang terjadi.
            Hakim sendiri adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.[4] Sedangkan dalam Undang-undang kekuasaan kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.[5] Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-undang yang berlaku.
            Adapun pengertian qad}a sendiri ada beberapa makna yaitu : [6]
            a. Menyelesaikan seperti dalam Firman Allah :
فلما قضى زيد منها وطرازوجناكها[7]
            b. Menunaikan dalam firman Allah
فإذا قضية الصلوة فانتشروا فىالأرض...[8]
       c. Menghalangi atau mencegah yang artinya hakim bisa melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, menolong yang teraniaya dan menolak kez}oliman yang merupakan kewajiban.    
            2. Dasar Dan Syarat Pengangkatan Hakim
            Lembaga peradilan  sebagai lembaga Negara yang ditugasi menerapkan hukum (Izhar Al Hukm) terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan adanya hakim sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ketetapan Majelis Permusyawarakatan Indonesia Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan perlunya reformasi di bidang hukum untuk penanggulangan dibidang hukum dan ketetapan Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tinggi Negara .[9]
            Dalam al-Quran di jelaskan :
يداودانّاجعلنك خليفة فىالأرض فاحكم بين النّاس بالحق ولاتتبع الهوى...[10]
            Dalam ayat lain di sebutkan :
وان احكم بينهم بما انزل لله ولا تتبع اهواءهم واحدرهم ان يفتنوك عن بعض ماانزل لله اليك...[11]
            Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Daud sebagai khalifah di muka bumi ini supaya menghukumi di antara manusia dengan benar.           Sedangkan ayat selanjutnya menegaskan bila menghukumi manusia harus sesuai dengan dengan apa yang telah dianjurkan  oleh Allah dan orang yang menghukumi tersebut adalah hakim. Dalil hadis} antara lain
إذاحكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران و اذاحكم فاجتهد ثم فأخطاء فله أجر [12] 
فريضة محكمة وسنة متبعة[13]
            Dari hadis dan ijma' tersebut dijelaskan tentang keutamaan ijtihad, kemuliaan ijtihad yang dilakukan dengan sungguh-sungguh baik benar atau salah akan mendapat pahala. Maksudnya seorang hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapinya itu melalui qiyas yang mengacu kepada al-Kitab dan al-Sunah bukan berdasarkan pendapat pribadi, yang terlepas dari keduanya.
            Hal ini sebagai salah satu usaha menggali hukum guna melindungi kepentingan-kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk mernghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, akibat dari luasnya wilayah Islam, seperti pada masa bani umayah khalifah hanya mengangkat qod}i pusat dan didaerah diserahkan pada penguasa daerah dan hanya diberi wewenang untuk memutuskan perkara, sedangkan untuk pelaksanaan putusan oleh khalifah langsung atau oleh utusannya.[14] Sedangkan pada masa Bani Abbasiah dibentuknya Mahkamah Agung, pembentukan hakim setiap wilayah, pembukuan dan mulainya organisasi peradilan,[15] sehingga menempatkan hakim sebagi sosok yang sangat diperlukan dan mempunyai peranan penting.        
            Hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah mempunyai kedudukan yang sangat penting sekaligus mempunyai beban yang yang sangat berat. Dipandang penting karena melalui hakim akan tercipta produk-produk hukum  baik melalui ijtihad yang sangat dianjurkan sebagai keahlian hakim yang diharapkan dengan produk tersebut segala bentuk kez}aliman yang terjadi dapat tercegah dan diminimalisir sehingga ketentraman masyarakat terjamin. Dari tugas hakim ini menunjukkan posisi hakim sangat penting sebagai unsur badan peradilan. Dari penjelasan dasar hakim di atas menempatkan Hakim sebagai salah satu unsur peradilan yang dipandang penting dalam menyelesaikan perkara yang diperselisihkan antara sesama, oleh sebab itu harus didukung oleh pengetahuan dan kemampuan yang professional dengan syarat-syarat yang umum dan khusus yang di tentukan oleh oleh Mahkamah Agung atas kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang tersendiri, terkecuali Mahkamah Konstitusi yang kekuasaan dan kewenangannya oleh Mahkamah Konstitusi.
            Adapun syarat  menjadi hakim secara umum adalah :
1. Warga Negara Indonesia
            2. Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
            3. Setia Pada Pancasila dan Undang-undang
            4. Bukan anggota organisasi terlarang
            5. Pegawai Negeri
            6. Sarjana hukum
            7. Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
            8. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.[16]
            Mengenai ketentuan khuhusnya terdapat pada masing-masing lembaga


                [1] Muhammad Salam  Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m, (Ttp : tt) hlm.11.

                [2] Tengku Muhammad Hasbi Ash S{idiqi, Peradilan Dan Hukum Acara Islam cet. ke-1, Semarang : PT Pustaka Rizki Putera, 1997), hlm.39.

                [3]  Muhammad Salam  Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m., hlm.11.

                [4] Mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.lihat Undang-undang  Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 (1)

                [5] Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. lihat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman beserta penjelasannya, Pasal 28 Ayat (1)

                [6] Tengku Muhammad Hasbi ash Shidiqi, Peradilan., hlm.33

                [9] Sebagai salah satu  dasar atas terbentuknya lembaga Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dan  lembaga peradilan di bawahny

                [12] Ima>m Abi>  Husain Muslim Bin al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi> Annisaburi>, Kitab Ja>mi' I As}ah}ih}, Bab Baya>nu Ajrul Ha>kim Iz|a> ajtahidu fa as}oba au akhtou , (Bairut : Dar al-Fikr, tt),  juz 5, hlm.131. dan lihat juga Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 4 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.315.
  
                [13] Tengku Muhammad Hasbi ash Shidiqi, Peradilan., hlm.37.

                [14]  Muhammad Salam  Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m, (Ttp : tt) hlm.29.

            
                [16]  Undang-undang  No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Pasal 14 Ayat  ( 1 ) dan Ketentuan tersebut dipakai di secara umum di lingkungan peradilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung, tetapi ada persyaratan khusus atau persyaratan lain yang ditentukan oleh masing–masing  undang-undang di tingkat peradilan masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar