Analisis terhadap Ketentuan
Hukum Kontrak Asuransi
Kehidupan dan
kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukan sifat
hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud di sini
adalah suatu sifat yang tidak kekal yang selalu menyertai kehidupan dan
kehidupan manusia pada umumnya. Sifat ini pada umumnya mengakibatkan adanya
suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu secara tepat; sehingga
dengan demikian keadaan tersebut tidak akan perna memberikan rasa pasti. Karena tidak terdapatnya
kepastian inilah maka perusahan asusuransi di sini sangat dibutuhkan dan
berperan untuk memberikan rasa aman yang lazim disebut dengan menanggung risiko
|
Kontrak asuransi
dibuat berdasarkan prinsip ketidakpastian, kejadian yang tidak menentu yang
meliputi spekulasi suatu risiko. Baik peserta asuransi maupun pengusaha
asuransi menyepakati suatu kesepakatan
untuk menanggung risiko, pihak pertama mengalihkan risiko kerugian dan pihak
kedua memperoleh premi.[2]
Keseluruhan kontrak
asuransi dibuat dalam dokumen resmi, yang disebut polis[3]
(peraturan asuransi jiwa tahun 1774) di mana pengusaha asuransi secara resmi
terikat untuk menanggung persoalan peserta asuransi berdasarkan premi yang
diterimanya dan apabila gagal melaksanakan kewajibannya maka ia akan dikenakan
denda (peraturan premi tahun 1891). Polis itu dikeluarkan oleh pengusaha
asuransi apabila yang di persyaratkan dapat diterima dan mengandung
rincian-rincian kontrak sebagai berikut:
1. Premi[4]
Premi adalah suatu
harga yang di tetapkan pengusaha asuransi untuk mengambil alih risiko[5]
dan memikul beban kamungkinan risiko kerugian sebagaimana disepakati dalam
kontrak asuransi. Berlandaskan pada rumus rata-rata, pengusaha asuransi
menentukan besarnya premi berdasarkan pengalaman jumlah yang mencukupi untuk
menanggung risiko termasuk biaya
lainnya, separti keuntungan, sehingga ditetapkan premi untuk menutup
semua biaya dan premi tersebut dikenakan kepada peserta asuransi. Apabila premi
yang dibayarkan baru sekali dan terjadi risiko, maka beban risiko belumbisa
dialihkan. Sementara faktor utama yang mempengaruhi besarnya ketentuan premi
adalah klaim, komisi, dan keuntungan,. Besarnya keuntungan dari akumukasi dana
perusahaan asuransi juga dapat memainkan peran yang penting dalam menetukan
besarnya premi.[6]
Kontrak asuransi itu
dapat berlaku efektif hanya apabila premi dibayar oleh peserta asuransi dan
diterima oleh pengusaha asuransi. Pada umumnya premi dibayarkan pada tanggal
yang telah ditentukan setiap bulan atau minggu; baik jumlah maupun tanggal
pembayarannya secara jelas diungkapkan pada polis. Polis itu dinyatakan berlaku
apabila masih berlaku masa kontraknya, kecuali terjadi pelanggaran dengan tidak
dibayarnya cicilan premi sesuai dengan waktu atau tanggal yang ditetapkan untuk
membayar premi. Biasanya kerugian yang terjadi pada masa kelonggaran membayar
premi tetap ditutup, jika cicilan tetap dibayarkan sebelum habis waktu
kelonggaran.
Sekali premi itu
bibayarkan dan risiko diambil alih oleh pengusaha asuransi, maka tidak ada
pengembalian setelahnya, meskipun pokok subyek dan risiko mungkin dapat lenyap
sebelum periode pengambil alihan risiko telah dilanggar. Dan lagi, risiko yang
ditanggung secara keseluruhan, jika dilaksanakan sekali, tidak ada premi yang
mencukupi bahkan kemungkinan polis itu hilang sama sekali.
Sesungguhnya, dalam
beberapa hal, terjadi seseorang tidak mampu melanjutkan kontrak polis, tidak
mampu memenuhi cicilan bahkan sebagian dari premi. Kasus tersebut dianggap
sebagai kasus terbanyak yang dilakukan peserta asuransi dan mengakibatkan
mereka kehilangan sebagian atau seluruh premi yang telah dibayarkan.[7]
Selanjutnya, ada
beberapa pelanggaran atau kelalaian atas polis oleh peserta asuransi oleh
karena beberapa alasan di luar kesadarannya, dan dalam hal ini, mereka
merugikan dirinya sendiri karena mereka tidak mampu menutup sebagian besar
preminya,. Sekali lagi, kajian asuransi di Inggris baru-baru ini menunjukkan
bagaimana perusahaan asuransi menetapkan besarnya premi secara sewenang-wenang
dan mengenakannya secara bervariasi atas orang yang berbeda-beda. Sebagian
besar kasus ini menimpa asuransi modern,[8]
dan tidak mungkin menemukan berbagai hubungan atau jumlah secara ilmiah antara
premi dan risiko seperti yang dikehendaki asuransi. Semua yang tersebut di atas
tadi, tidak ada ilmu atau metodenya secara rasional untuk menetukan besarnya
premi yang berkaitan dengan risiko yang terjadi, khususnya asuransi jiwa, dan
perusahaan-perusahaan asuransi menentukan sendiri kebijakannya untuk menetapkan besarnya premi untuk setiap
kategori asuransi. Dengan begitu, premi yang dikenakan kapada peserta asuransi
sangat dimungkinkan mengandung unsur-unsur mencari keuntungan, exploitasi dan
bahkan unsur taruhan.
2. Ganti Rugi
Ganti rugi[9]
menunjukkan perlindungan atas kerugian, dan oleh karenanya menunjukkan
pentingnya peserta asuransi mencari atau mengharap suatu keuntungan dari itu.
Pada umumnya setiap kontrak asuransi adalah suatu kontrak ganti rugi sebab
kontrak tersebut menjamin suatu konpensasi atas kerugian kepada peserta
asuransi. Tetapi peserta asuransi tidak boleh mencari keuntungan dari kontrak
tersebut. Kontrak itu memberikan kemungkinan baginya untuk mendapatkan ganti
kerugian tetapi tidak lebih dari itu, kecuali adanya perjanjian sebelumnya
antara kedua belah pihak. Apabila seseorang tidak memenuhi syarat untuk untuk
diansuransikan, jaminan asuransinya tidak dapat diharapkan untuk diterimakan
kepadanya di atas limit yang telah disepakati. Prinsip ini telah dikemukakan
oleh L.J. Brett, sebagaiamana dikutip oleh Afzalur Rahman. Secara jelas Brett
mengatakan:
"Yang sangat mendasar, menurut pendapat saya,
dalam setiap aturan yang ditetapkan sebagai hukum asuransi dalam hal ini, yaitu
bahwa asuransi yang terkandung dalam polis asuransi maritim dan kebakaran (juga
sama dengan polis kecelakaan) adalah suatu kontrak ganti rugi saja, sehingga
kontrak tersebut berarti bahwa peserta asuransi, dalam menghadapi kerugian
sebagaimana telah dibuat dalam polis, sepenuhnya berhak atas ganti rugi, tetapi
tidak akan lebih dari jaminan yang telah ditentukan. Inilah prinsip dasar
asuransi, jika ada perjanjian sebelumnya masih dilibatkan pula dalam bentuk
yang berbeda-beda, dapat dikatakan yaitu apakah pihak peserta asuransi tidak
dapat menerima seluruh ganti rugi lebih dari yang disepakati, maka perjanjian
di muka tersebut dianggap salah".[10]
Ada beberapa kontrak
asuransi tertentu, misalnya, asuransi jiwa[11]
dan kecelakaan personal,[12]
yang bukan merupakan kontrak ganti rugi, karena dalam semua kasus, perusahaan
asuransi harus membayar kompensasi jika terjadi suatu kecelakaan tanpa
menghitung jumlah kerugian. Pelaksanaan dari kontrak tersebut dapat dilakukan
dengan polis motor komprehensip. "Peserta asuransi memperkirakan terlebih
dahulu nilai atau harga mobilnya, katakanlah Rp. 60.000.000.00,- dan membayar
premi berdasarkan harga tersebut. Apabila terjadi kerusakan total karena
terbakar, ia akan menerima Rp. 60.000.000,- begitu saja, mungkin ia menerima
lebih dari nilai tersebut, atau mungkin pasaran mobil itu merosot pada saat kontrak
asuransi itu berlaku. Apa yang akan dibayarkan oleh pengusaha asuransi adalah
senilai mobil pada saat terjadi kerusakan, dan apabila mereka dapat menunjukkan
pada saat itui mobil yang sama modelnya, buatannya, tipenya serta kondisinya
dengan harga Rp. 45.000.000,-, mereka tidak akan membayar lebih dari Rp.
45.000.000,-. Dengan cek seharga Rp. 45.000.000,-, berarti peserta asuransi itu
telah diberikan ganti rugi sepenuhnya. Prinsip yang sama juga dapat diterapkan
pada kejadian kerusakan sebagian".
[1] A.
Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta: Bumi Aksara,
2002), hlm. 22. Baca juga, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam
Indonesia, cet. II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 12-13
[2]
Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastagin,
(Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 107
[3] Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD perjanjian asuransi
harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Selanjutnya
Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992. Berdasarkan ketentuan
dua pasal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa polis berfungsi sebagai
alat bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung
dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus
jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan
perbedaan interpretasi, sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung
merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam melaksanakan asuransi. Di samping
itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan
janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk
mencapai tujuan asuransi. Untuk keteranagn lebih lengkapnya Baca, Abdulkadir
Muhammad, Hukum Asuransi, hlm. 57-72.
[4]
Besarnya jumlah premi yang harus dibayarkan oleh tertanggung ditentukan dengan
persentase dari jumlah asuransi ditambah dengan biaya-biaya lain, misalnya
biaya materai, dan biaya pialang. Cara pembayarannya biasanya dibayar
lebih dahalu. Sedangkan pada asuransi jiwa biasannya dibayar secara bulanan. Ibid.,
hlm. 102. Sebagai perbandingan lihat juga, Sri Rejeki Hartono, Hukum
Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. IV (Jakarta:
Sinar Grafaika, 2001), hlm. 122-125.
[5] Yang
dimaksud risiko di sini adalah kemungkinan penyimpangan yang tidak diharapkan.
Kemungkinan itu berupa terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atau tidak
terjadinya hal yang dinginkan—kejadian
seperti ini sering diartikan menurunnya atau hilangnya suatu nilai. Baca, A.
Hasymi Ali, Pengantar Ekonomi, hlm. 156.
[6]
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi, hlm. 108
[7] Ibd.,
hlm. 109
[8]
Asuransi modern pada dasarnya berlandaskan pada totalitas pesesrta asuransi
yang mengalami musibah. Landasan kerjasamanya adalah musibah umum yang mungkin
mereka alami. Menghindarai risiko sejauh mungkin adalah sifat insting manusia,
seluruh peserta asuransi secara bersama-sama mengahadapi musibah umum itu
dengan berkerjasama satu sama lain untuk menghindarkan risiko atau kerugian
umum tersebut. Jika musibah itu benar-benar terjadi, mereka mengurangi
kemungkinan bahaya terhadap orang lain
atau harta benda para peserta asuransi. Ibid. hlm. 214
[9] Yang
dimaksud ganti rugi di sini adalah sejumlah uang dari perusahaan asuransi yang
diharapkan dibayarkan kepada peserta asuransi apabila terjadi kecelakaan atau
marabahaya. Ibid., hlm. 150
[10] Ibid.,
hlm. 110
[11]
Asuransi jiwa adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan. Lihat UU No. 2 . Tahun 1992 Pasal 1 angka (1)
[12]
Untuk lebih jelasnya tentang asuransi ruang lingkup kecelakaan dapat di baca
dalam, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi, hlm. 185-187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar