Senin, 04 Februari 2013

Pemikiran Afzalur Rahman tentang Kontrak Asuransi

Pemikiran Afzalur Rahman tentang Kontrak Asuransi

  1. Pengertian Kontrak Asuransi
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian oleh karena itu perjanjian sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian dasar dari perjanjian.
Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut :
1.   Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
2.   Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang saatu (yang berpiutang atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain (yang berhubungan atau debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggunga jawab atas suatu prestasi.[1]


  1. Syarat-Syarat Perjanjian Asuransi
Perjanjian asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mempunyai syarat yang khusus dan unik sehingga perjanjian ini mempunyai karakteristik tertentu yang sangat khas dibandingkan dengan perjanjian lain. secara umum perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum perjanjian, di samping memenuhi asas atau prinsip tertentu yang mewujudkan sifat atau ciri khusus dari perjanjian itu sendiri[2].
Menurut hukum Islam syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam akad, ialah :
1.      Ahliyatu al- ‘Aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
2.      Qabiliyatu al-Mahalli al-'Aqdi Li Hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya)
3.      Al-Wilyatus Syar’iyah fi Maudlu’i (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri)
4.      La Yakun al-‘Aqdu au Maudlu’uhu Mamnu’am bi an-Nassin Syar’iyin (janganlah akad itu akad yang dilarang syara’)
5.      Kaunu al- ‘Aqdi Mufidan (akad itu memberi faedah)
6.      Baqau al-Ijabi Salihan Ila Mauqu’i al-Qabul (Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul). Maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya sebelum qabul batallah ijab.
7.      Ittihadu Majlisi al-‘Aqdi (bersatunya majlis akad), karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qabul. Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab asy-Syafi’i, tidak terdapat dalam mazhab-mazhab yang lain[3].
Beberapa syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian. Artinya setiap perjanjian harus memenuhi syarat di atas bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Jika ada salah satu syarat tersebut dihilangkan maka secara otomatis perjanjian yang dibuat tidak sah menurut hukum.
Pelaksanaan perjanjian asuransi, ditandai dengan pemenuhan kewajiban penanggung untuk memberikan ganti kerugian kepada tertanggung atau pengambil asuransi. Pemenuhan kewajiban tersebut tidak segera diberikan secara otomatis, melainkan harus memenuhi asas dan syarat tertentu.
Sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah sah diadakan dan sudah berjalan tidak selalu berakhir dengan pemenuhan yang sempurna, belum pasti ia mendapatkan ganti rugi, apabila ia tidak secara nyata memang menderita kerugian. Tidak berarti penanggung tidak bertanggungjawab. Dalam perjanjian asuransi diperjanjian, apabila tertanggung menderita kerugian secara riil, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi proteksi yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi apabila syarat-syarat di bawah ini dipenuhi :
Jumlah yang diasuransikan harus banyak dan cukup homogen agar kalkulasi logikanya dapat mendekati frekuensi kemungkinan dan kesulitan-kesulitan kerugian.
Obyek asuransi diperkirakan tidak mengalami kerusakan secara serempak
kemungkinan kerugian harus bersifat aksidental saja, di luar kesadaran dari orang yang mengasuransikan dirinya.
harus ada cara untuk menentukan apakah kerugian itu benar-benar terjadi dan besarnya kerugian tersebut.[4]

  1. Klasifikasi Kontrak Asuransi
Kontrak asuransi dapat di bagi menjadi  tiga kelompok:[5]
1.       Berdasarkan sifat kejadian yang dapat digunakan untuk menentukan besarnya ganti rugi. Ada empat kelompok besar asuransi berdasarkan sifat kejadiannya:
(a)    Asuransi Maritim
Pada kelompok asuransi ini, sejumlah kontrak yang  disepakati dapat dibayarkan apabila terjadi kecelakan laut.
(b)   Asuransi Kebakaran.
Dalam asuransi ini, jumlah kontrak yang telah disepakati dapat dibayarkan apabila terjadi kebakaran
(c)    Aasuransi Jiwa[6]
Dalam asuransi ini, uang pertanggungan dibayarkan apabila orang sebagai tertanggung telah meninggal
(d)   Asuransi Kecelakaan[7]
Dalam asuransi ini, uang pertanggungan dibayarkan apabila mengalami kecelakaan.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan-perbedaan di antara kelompok asuransi tersebut hanya secara konvensional dan mungkin sekali berubah dengan adanya perubahan kebutuhan manusia. Oleh karena kepentingan dan kepuasannya atau sekedar keperluan bisnis saja asuransi dapat menawarkan perlindungan atas bahaya tertentu seperti perampokan, kecelakaan kendaraan, ancaman terhadap ternak, kerusakan harta benda dan sebagainnya.
2.       Berdasarkan sifat kepentingannya yang dianggap terkait. Ada tiga macam asuransi berdasarkan sifat kepentingannya:[8]
(a)    Asuransi Personal.
Dalam bentuk asuransi ini, kejadian yang diperhitungkan adalah yang menyangkut orang yang mengasuransikan dirinya sendiri, atau pihak ketiga. Termasuk dalam asuransi ini adalah asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan perorangan.
(b)   Asuransi Harta Benda.
Asuransi jenis ini dikenakan pada harta milik orang yang mengasuransikan hartanya, mislanya asuransi kebakaran, asuransi maritim, permpokan dan sebagainya.
(c)    Asuransi Jaminan.
Jenis asuransi ini mengambil alih jaminan dari orang yang mengasuransikan kepada pihak ketiga. Asuransinsi ini terdiri dari: 1) asuransi umum yang berkaitan dengan kendaraan, dan 2) asuransi jaminan usaha.
3. Berdasarkan sifat Asuransinya. Ada dua macam asuransi  berdasarkan sifatnya:[9]
(a)       Asuransi Kontrak Tak Terbatas Kerugian.
 Dalam asuransi jenis ini, sejumlah uang jaminan dapat dibayarkan apabila terjadi peristiwa tertentu. Kejadian itu tidak ada kaitannya denagan tingkat kerugian dari oarang yang mengasuransikan diri. Asuransi ini terdiri dari asuransi jiwa, kecelakaan dan kesehatan.
(b)   Asuransi Kerugian.
Pada jenis ini, besarnya uang yang dibayarkan berdasarkan jumlah kerugian yang diderita orang yang mengasuransikan diri, misalnya asuransi maritim, kerugian yang diderita peserta suransi menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepadnya, jika jumlah atau kerygian atau kerusakan yang harus dibayarkan tidak terbatas. Asuransi Maritim (Inggris) tahun 1906 menyatakan: “Suatu kontrak asuransi maritim adalah sebuah kontrak di mana pengusaha asuransi mengambil alih atau melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada orang yang mengasuransikan diri, dengan sifat dan jumlah yang disepakati, terhadap kerugian yang diderita di laut, yaitu kerugian karena kecelakaan dalam perjalanan.

  1. Cara Melakukan Kontrak Asuransi
Penting sekali untuk memiliki perjanjian yang jelas dalam menjalin kontrak. Semua pihak harus telah sepakat, pengusaha asuransi setuju untuk menjamin orang tertentu, dan orang yang masuk asuransi atas terhadap kaminan tertentu. Mereka juga harus menentukan jangka waktu asuransi, dan harus setuu atas jumlah yang diasuransikan dan besarnya premi yang harus dibayarkan. Akhirnya kontrak disetjui kedua pihak, satu tawaran oleh satu ihak, melakukan persetujuan, dan penerimaan penawaran tersebut oleh pihak lainnya.[10]
Tidak ada pihak yang dapat menarik kembali kontrak yang telah dilakukan. Perjanjian tersebut mengikat peserta asuransi untuk membayar sejumlah premi dan pengusaha asuransi menerima premi tersebut dan mengembalikan sejumlah tertentu, jika memang saatnya harus dibayarkan. Namun demikian, perjanjian dapat ditarik kemblai atas kesepakatan kedua belah pihak.


[1] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 82.
[2] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. III (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 108

[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 27-28

[4] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi hlm. 91.

[5]Ibid., hlm. 93.

[6] Untuk menetahui lebih lengkap mengeanai asuransi jiwa ini, Baca, Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet. II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 167-176.

[7] Lihat juga Ibid., hlm. 177-192
[8] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi, hlm. 94
[9] Ibid., hlm. 95.
[10] Ibid., hlm. 102-103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar