Pemikiran Afzalur Rahman tentang Kontrak
Asuransi
- Pengertian Kontrak Asuransi
Asuransi
dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian oleh karena itu perjanjian
sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi.
Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian
dasar dari perjanjian.
Secara umum
pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih
2. Suatu
hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang saatu (yang berpiutang
atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain (yang berhubungan
atau debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggunga jawab atas
suatu prestasi.[1]
- Syarat-Syarat Perjanjian Asuransi
Perjanjian
asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mempunyai syarat
yang khusus dan unik sehingga perjanjian ini mempunyai karakteristik tertentu
yang sangat khas dibandingkan dengan perjanjian lain. secara umum perjanjian
asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum perjanjian, di samping memenuhi asas
atau prinsip tertentu yang mewujudkan sifat atau ciri khusus dari perjanjian
itu sendiri[2].
Menurut hukum Islam
syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam akad, ialah :
1. Ahliyatu
al- ‘Aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
2. Qabiliyatu
al-Mahalli al-'Aqdi Li Hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima
hukumnya)
3. Al-Wilyatus
Syar’iyah fi Maudlu’i (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang
yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid
sendiri)
4. La
Yakun al-‘Aqdu au Maudlu’uhu Mamnu’am bi an-Nassin Syar’iyin (janganlah
akad itu akad yang dilarang syara’)
5. Kaunu
al- ‘Aqdi Mufidan (akad itu memberi faedah)
6. Baqau
al-Ijabi Salihan Ila Mauqu’i al-Qabul (Ijab itu berjalan terus, tidak
dicabut, sebelum terjadi qabul). Maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya
sebelum qabul batallah ijab.
7. Ittihadu
Majlisi al-‘Aqdi (bersatunya majlis akad), karenanya, ijab menjadi batal
apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qabul.
Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab asy-Syafi’i, tidak terdapat
dalam mazhab-mazhab yang lain[3].
Beberapa syarat di atas merupakan
syarat pokok bagi setiap perjanjian. Artinya setiap perjanjian harus memenuhi
syarat di atas bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Jika ada salah satu
syarat tersebut dihilangkan maka secara otomatis perjanjian yang dibuat tidak
sah menurut hukum.
Pelaksanaan perjanjian asuransi,
ditandai dengan pemenuhan kewajiban penanggung untuk memberikan ganti kerugian
kepada tertanggung atau pengambil asuransi. Pemenuhan kewajiban tersebut tidak
segera diberikan secara otomatis, melainkan harus memenuhi asas dan syarat
tertentu.
Sesuai dengan
karakteristik yang dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah
sah diadakan dan sudah berjalan tidak selalu berakhir dengan pemenuhan yang
sempurna, belum pasti ia mendapatkan ganti rugi, apabila ia tidak secara nyata
memang menderita kerugian. Tidak berarti penanggung tidak bertanggungjawab.
Dalam perjanjian asuransi diperjanjian, apabila tertanggung menderita kerugian
secara riil, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi proteksi
yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi apabila syarat-syarat di bawah
ini dipenuhi :
Jumlah
yang diasuransikan harus banyak dan cukup homogen agar kalkulasi logikanya
dapat mendekati frekuensi kemungkinan dan kesulitan-kesulitan kerugian.
Obyek
asuransi diperkirakan tidak mengalami kerusakan secara serempak
kemungkinan
kerugian harus bersifat aksidental saja, di luar kesadaran dari orang yang
mengasuransikan dirinya.
harus
ada cara untuk menentukan apakah kerugian itu benar-benar terjadi dan besarnya
kerugian tersebut.[4]
- Klasifikasi Kontrak Asuransi
Kontrak asuransi
dapat di bagi menjadi tiga kelompok:[5]
1. Berdasarkan
sifat kejadian yang dapat digunakan untuk menentukan besarnya ganti rugi. Ada
empat kelompok besar asuransi berdasarkan sifat kejadiannya:
(a) Asuransi
Maritim
Pada kelompok
asuransi ini, sejumlah kontrak yang
disepakati dapat dibayarkan apabila terjadi kecelakan laut.
(b) Asuransi
Kebakaran.
Dalam asuransi ini, jumlah kontrak
yang telah disepakati dapat dibayarkan apabila terjadi kebakaran
(c) Aasuransi
Jiwa[6]
Dalam asuransi ini, uang
pertanggungan dibayarkan apabila orang sebagai tertanggung telah meninggal
(d) Asuransi
Kecelakaan[7]
Dalam asuransi
ini, uang pertanggungan dibayarkan apabila mengalami kecelakaan.
Namun demikian,
dapat dikatakan bahwa perbedaan-perbedaan di antara kelompok asuransi tersebut
hanya secara konvensional dan mungkin sekali berubah dengan adanya perubahan
kebutuhan manusia. Oleh karena kepentingan dan kepuasannya atau sekedar
keperluan bisnis saja asuransi dapat menawarkan perlindungan atas bahaya
tertentu seperti perampokan, kecelakaan kendaraan, ancaman terhadap ternak,
kerusakan harta benda dan sebagainnya.
2. Berdasarkan
sifat kepentingannya yang dianggap terkait. Ada
tiga macam asuransi berdasarkan sifat kepentingannya:[8]
(a) Asuransi
Personal.
Dalam bentuk
asuransi ini, kejadian yang diperhitungkan adalah yang menyangkut orang yang
mengasuransikan dirinya sendiri, atau pihak ketiga. Termasuk dalam asuransi ini
adalah asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan perorangan.
(b) Asuransi
Harta Benda.
Asuransi jenis ini dikenakan pada
harta milik orang yang mengasuransikan hartanya, mislanya asuransi kebakaran,
asuransi maritim, permpokan dan sebagainya.
(c) Asuransi
Jaminan.
Jenis asuransi ini mengambil alih
jaminan dari orang yang mengasuransikan kepada pihak ketiga. Asuransinsi ini
terdiri dari: 1) asuransi umum yang berkaitan dengan kendaraan, dan 2) asuransi
jaminan usaha.
3. Berdasarkan
sifat Asuransinya. Ada dua macam
asuransi berdasarkan sifatnya:[9]
(a)
Asuransi Kontrak Tak Terbatas Kerugian.
Dalam asuransi jenis ini, sejumlah uang
jaminan dapat dibayarkan apabila terjadi peristiwa tertentu. Kejadian itu tidak
ada kaitannya denagan tingkat kerugian dari oarang yang mengasuransikan diri.
Asuransi ini terdiri dari asuransi jiwa, kecelakaan dan kesehatan.
(b)
Asuransi Kerugian.
Pada jenis ini, besarnya uang yang
dibayarkan berdasarkan jumlah kerugian yang diderita orang yang mengasuransikan
diri, misalnya asuransi maritim, kerugian yang diderita peserta suransi
menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepadnya, jika
jumlah atau kerygian atau kerusakan yang harus dibayarkan tidak terbatas.
Asuransi Maritim (Inggris) tahun 1906 menyatakan: “Suatu kontrak asuransi
maritim adalah sebuah kontrak di mana pengusaha asuransi mengambil alih atau
melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada orang yang mengasuransikan diri,
dengan sifat dan jumlah yang disepakati, terhadap kerugian yang diderita di
laut, yaitu kerugian karena kecelakaan dalam perjalanan.
- Cara Melakukan Kontrak Asuransi
Penting sekali
untuk memiliki perjanjian yang jelas dalam menjalin kontrak. Semua pihak harus
telah sepakat, pengusaha asuransi setuju untuk menjamin orang tertentu, dan
orang yang masuk asuransi atas terhadap kaminan tertentu. Mereka juga harus
menentukan jangka waktu asuransi, dan harus setuu atas jumlah yang
diasuransikan dan besarnya premi yang harus dibayarkan. Akhirnya kontrak
disetjui kedua pihak, satu tawaran oleh satu ihak, melakukan persetujuan, dan
penerimaan penawaran tersebut oleh pihak lainnya.[10]
Tidak ada pihak
yang dapat menarik kembali kontrak yang telah dilakukan. Perjanjian tersebut
mengikat peserta asuransi untuk membayar sejumlah premi dan pengusaha asuransi
menerima premi tersebut dan mengembalikan sejumlah tertentu, jika memang
saatnya harus dibayarkan. Namun demikian, perjanjian dapat ditarik kemblai atas
kesepakatan kedua belah pihak.
[1]
Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastagin,
(Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 82.
[2]
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. III (Jakarta:
Sinar Grafika, 1997), hlm. 108
[3]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. II (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), hlm. 27-28
[4]
Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi hlm. 91.
[5]Ibid.,
hlm. 93.
[6]
Untuk menetahui lebih lengkap mengeanai asuransi jiwa ini, Baca, Abdulkadir
Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet. II, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1999), hlm. 167-176.
[7] Lihat
juga Ibid., hlm. 177-192
[8]
Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi, hlm. 94
[9] Ibid.,
hlm. 95.
[10] Ibid.,
hlm. 102-103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar