Tujuan Pidana Penjara dalam RUU KUHP 2008
Dalam RUU-KUHP
Th 2008, jenis pidana terdiri dari pidana pokok, pidana penjara; pidana tutupan;
pidana pengawasan; pidana denda dan pidana kerja sosial. Adapun pidana mati
merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara
alternatif.
Sebelum
membahas mengenai tujuan dari pelaksanaan pidana penjara perlu diketahui
terlebih dahulu mengenai tujuan dari
pemidanaan, tujuan diberikannya pidana dalam RUU KUHP 2008 sebagaimana dimaksud
dalam pasal 54. Tentang tujuan Pemidanaan yakni:
Pasal
54
(1)
Pemidanaa bertujuan:
a.
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.
Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat;dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia
Dalam
rangka pembaharuan hukum pidana yang tercermin dalam rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2008, maka terbesit suatu sikap
dari para perancang mengenai “pidana dan tindakan” sebagai implementasi
keseimbangan yaitu: Tujuan pemidanaan yang bertolak dari pemikiran bahwa sistem
hukum pidana merupakan satu kesatuan sitem yang memiliki tujuan, dan pidana
hanya merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Itu sebabnya, RUU KUHP
merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok
yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Dengan kata lain,
perumusan tujuan pemidanaan mengenai “penyelesaian konflik” mengandung makna
yang dalam. Misalnya denga cara mengapresiasi suatu perkembangan universal ilmu
pengetahuan yang relatif baru yaitu Viktimology, baik sifatnya sebagai “interactionist victimology or penal
victimology”, gabungan antara keduanya, dan lebih luas lagi dalam kerangka
menangulangi kekerasan dan “abuse of
power”. Dalam kaitan ini juga diadopsi apa yang dinamakan konsep keadilan
restroaktif yang juga memfokuskan diri pada kepentingan korban kejahatan, di
samping usaha untuk memperlakukan lebih manusiawi si pelaku kejahatan.
Pencantuman tujuan pemidanaan “memaafkan terpidana”, antara pelaku korban dan
masyarakat, pengaruh victimology juga nampak dari diaturnya mengenai pidana
tambahan pembayaran ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat, serta pengaturan
pedoman pemidanaan yang memperhatikan pula aspek victim.[1]
Dengan tujuan tersebut diatas sebisa
mungkin pidana penjara tidak dijatuhkan jika:
Dengan
mempertimbangkan pasal 54 dan pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak
dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut:
ü Terdakwa
berusia dibawah 8 (delapan) tahun atau diatas 70 (tujuh puluh) tahun;
ü Terdakwa
baru pertama kali melakukan tindak pidana;
ü Kerugian
dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
ü Terdakwa
telah membayar ganti kerugian kepada korban;
ü Terdakwa
tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian
yang besar;
ü Tindak
pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
ü Korban
tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
ü Tindak
pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang
kembali;
ü Kepribadian
dan perilaku terdakwa menyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana
yang lain;
ü Pidana
penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
ü Pembinaan
yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri
terdakwa;
ü Penjatuhan
pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana
yang dilakukan terdakwa;
[1] Muladi,
Perkembangan Hukum Pidana dalam Era
Globalisasi, (Jakarta: Perum Percetakan Negara Replublik Indonesia) hlm.
15-16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar