Senin, 04 Februari 2013

TUJUAN PIDANA PENJARA

Tujuan Pidana Penjara dalam RUU KUHP 2008
Dalam RUU-KUHP Th 2008, jenis pidana terdiri dari pidana pokok, pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda dan pidana kerja sosial. Adapun pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Sebelum membahas mengenai tujuan dari pelaksanaan pidana penjara perlu diketahui terlebih dahulu mengenai  tujuan dari pemidanaan, tujuan diberikannya pidana dalam RUU KUHP 2008 sebagaimana dimaksud dalam pasal 54. Tentang tujuan Pemidanaan yakni:
Pasal 54
(1)   Pemidanaa bertujuan:
a.    Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.    Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.    Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan                      keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
  (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat  manusia
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang tercermin dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2008, maka terbesit suatu sikap dari para perancang mengenai “pidana dan tindakan” sebagai implementasi keseimbangan yaitu: Tujuan pemidanaan yang bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sitem yang memiliki tujuan, dan pidana hanya merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Itu sebabnya, RUU KUHP merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Dengan kata lain, perumusan tujuan pemidanaan mengenai “penyelesaian konflik” mengandung makna yang dalam. Misalnya denga cara mengapresiasi suatu perkembangan universal ilmu pengetahuan yang relatif baru yaitu Viktimology, baik sifatnya sebagai “interactionist victimology or penal victimology”, gabungan antara keduanya, dan lebih luas lagi dalam kerangka menangulangi kekerasan dan “abuse of power”. Dalam kaitan ini juga diadopsi apa yang dinamakan konsep keadilan restroaktif yang juga memfokuskan diri pada kepentingan korban kejahatan, di samping usaha untuk memperlakukan lebih manusiawi si pelaku kejahatan. Pencantuman tujuan pemidanaan “memaafkan terpidana”, antara pelaku korban dan masyarakat, pengaruh victimology juga nampak dari diaturnya mengenai pidana tambahan pembayaran ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat, serta pengaturan pedoman pemidanaan yang memperhatikan pula aspek victim.[1]
            Dengan tujuan tersebut diatas sebisa mungkin pidana penjara tidak dijatuhkan jika:
Dengan mempertimbangkan pasal 54 dan pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut:
ü      Terdakwa berusia dibawah 8 (delapan) tahun atau diatas 70 (tujuh puluh) tahun;
ü      Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
ü      Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
ü      Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
ü      Terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
ü      Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
ü      Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
ü      Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang kembali;
ü      Kepribadian dan perilaku terdakwa menyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
ü      Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
ü      Pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
ü      Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;



[1]  Muladi, Perkembangan Hukum Pidana dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Perum Percetakan Negara Replublik Indonesia) hlm. 15-16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar