Faktor
selanjutnya adalah pertarungan ideologi yang sangat hebat di Indonesia yang terjadi sejak sebelum
kemerdekaan. Pertarungan Ideologi ini bisa menjelaskan mengapa Idham
menggunakan konsep syu>ra untuk menjelaskan Demokrasi
Terpimpin.
Indonesia, sebagaimana negara-negara
terjajah lainnya di dunia, telah menjadi ladang persemaian yang subur bagi
berbagai ideologi politik. Secara umum, ideologi mungkin dapat diartikan
sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang
dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang
sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku
bersama dalam berbagai segi duniawi mereka.[1]
Ideologi pada
gilirannya memunculkan berbagai macam corak pemikiran politik. Feith dan Castle mencatat ada lima aliran yang menjadi sumber
atau yang mewarnai pemikiran-pemikiran politik Indonesia, yaitu: (1) tradisi Jawa
(2) Islam (3) nasionalisme radikal (4) komunisme, dan (5) sosial-demokrasi.[2]
Terlepas dari berbagai kritik yang diarahkan pada penulis-penulis itu, tidak
bisa disangkal adanya berbagai macam ideologi yang menghasilkan beragam
pemikiran dan sikap politik di Indonesia.
Di masa sebelum
kemerdekaan, ideologi-idologi tersebut berperan di dalam perjuangan melawan
kolonialisme. Semasa menjelang dan setelah kemerdekaan, perdebatan/ pertarungan
ideologi kembali terjadi. Perdebatan / pertarungan tersebut dapat dilihat dalam
polemik antara Natsir dan Soekarno[3],
juga dalam sidang-sidang BPUPKI dimana terbentuk dua kelompok besar: ada
kelompok yang menginginkan agar agama (Islam) harus menjadi bagian integral
dalam negara (Nasionalis Islam) dan kelompok lain yang menentang Indonesia dijadikan negara agama
(Nasionalis Sekular).
Untuk
menjembatani berbagai perbedaan di antara kedua kelompok ini, dibentuklah
sebuah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo,
Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid
Hasjim, dan A.A Maramis. Panitia kecil ini menyusun sebuah kesepakatan bersama
yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan
Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan bahwa sila ketuhanannya
dilengkapi hingga menjadi “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”[4]
Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan di
atas kembali dipersoalkan. Dikisahkan bahwa seorang pejabat angkatan laut
Jepang datang kepada Hatta dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen (yang
sebagian besarnya berdomosili di wilayah timur Nusantara) tidak akan bergabung
dengan Republik Indonesia, kecuali jika beberapa
unsur dari Piagam Jakarta (yakni kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para
pemeluk-pemeluknya, Islam sebagai agama negara, dan persyaratan bahwa Presiden
harus seorang muslim) dihapuskan. Mereka menyadari bahwa penerapan Piagam
Jakarta tidak akan mengancam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan politik
mereka. Meskipun demikian, dalam pandangan mereka, kerangka konstitusional
semacam itu akan mengundang diambilnya langkah-langkah yang diskriminatif.[5]
Atas desakan
Hatta, akhirnya kelompok Islam bersepakat menghapus unsur-unsur legalistik/
formalistik, terutama pencabutan “butir-butir mengenai Islam sebagai agama
resmi negara, presiden harus seorang muslim, dan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi para pemeluknya”. Sementara itu, sebagai gantinya, unsur teologi
monoteistik dimasukkan ke dalam sila pertama dalam Pancasila. Dengan demikian,
sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[6]
Peristiwa ini mengandung dua sisi, baik dan buruk. Sisi baiknya, adalah
menunjukkan betapa para pemimpin Islam itu memiliki komitmen yang tinggi
terhadap persatuan nasional.[7]
Sementara sisi buruknya, peristiwa ini dianggap kekalahan pertama kelompok
Islam dalam upaya merealisasikan gagasan mereka untuk mengaitkan antara Islam
dan negara secara legalistik dan formalistik.[8]
Pemilu 1955 juga turut mengentalkan pertentangan
ideologi. Kampanye pemilu sebagai usaha untuk merebut suara pemilih telah
memaksa partai-partai politik yang bersaing untuk memperjelas posisi mereka
vis-à-vis partai-partai lain.[9]
Tambahan lagi, kampanye pemilu telah mepertajam perbedaan pandangan mengenai
dasar tujuan negara dan bangsa. Sebuah isyu sentral muncul, apakah negara itu
sebaiknya, seperti Masyumi meminta terutama didasarkan atas Islam; atau apakah,
seperti PNI mengajukan pandangannya, dasar keagamaan itu sebaiknya cukup (tidak
perlu ditambahkan lagi) sebagaimana yang telah ada dalam Pancasila itu, yang
hanya menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[10]
Pertarungan ideologi “babak kedua” antara kubu Nasionalis
Islam dan dan Nasionalis Sekular memang terjadi lagi, dan kini berpusat di
sidang Majelis Konstituante. Majelis yang bertugas menyusun undang-undang baru
ini, kembali menyentuh masalah dasar negara.[11]
Perdebatan alot terjadi sampai akhirnya pemerintah turun tangan dengan
menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945. Pada saat yang sama Soekarno telah
memulai kampanyenya untuk merubah sistem politik di Indonesia menjadi Demokrasi
Terpimpin. Tiga kali pemungutan suara dilaksanakan untuk usulan pemerintah
tersebut, tetapi suara mayoritas dua-pertiga tidak pernah tercapai dan dengan
begitu Majelis tidak dapat mengeluarkan keputusan apa-apa, baik menolak atau
menerima. Jawaban atas kebuntuan ini akhirnya justru datang dari Soekarno
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan pembubaran Majelis
Konstituante dan kembali diberlakukannya UUD 1945.[12]
Pada zaman Demokrasi Terpimpin pertarungan ideologi terus
berlanjut. Hanya saja, karena perubahan peta kekuatan politik, maka medan pertarungan ideologi pun
berubah. Pada masa itu bukan lagi golongan Islam dan Nasionalis yang bertikai,
karena pertarungan itu dinyatakan selesai dan tertutup seiring dengan dikeluarkannya
Dekrit Presiden. Pertarungan ideologi yang terjadi kemudian adalah antara yang
komunis dan yang anti komunis. Soekarno berusaha menghentikan pertarungan
ideologi ini dengan menciptakan persatuan Nasakom, akronim dari Nasionalisme,
Agama dan Komunisme. Usahanya ini dapat dimaknai sebagai pencarian sebuah
landasan yang sama atau kesatuan yang
cocok (common denominator)[13]
bagi masyarakatnya. Soekarno mencoba mengompromikan atau mengawinkan semua
ide yang ada dan tumbuh dalam masyarakat menjadi satu ide baru yang lebih
tinggi tempatnya yang bisa diterima oleh semua unsur penting yang ada.[14]
Gagasan persatuan Nasakom merupakan
bentuk konsistensi dari pemikiran Soekarno yang tertuang dalam sebuah
artikelnya tahun 1926 berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, dengan
sedikit modifikasi tentunya. Ide dari artikel itu adalah mempertemukan
aliran-aliran besar yang ada di tubuh Sarekat Islam. Modifikasi yang terjadi
dalam ide persatuan Nasakom adalah diperluasnya Islamisme menjadi Agama hingga
memasukkan semua agama yang ada di Indonesia sebagai ideologi yang
hendak dipersatukannya.
Satu hal yang
juga penting bahwa kekuatan kaum komunis pada masa ini menjadi lebih kuat di
pemerintahan karena Soekarno melindunginya dan memperjuangkan keterlibatannya. Soekarno
menyatakan bahwa PKI adalah satu kekuatan yang harus terlibat dalam menentukan
arah perjalanan bangsa, sebagaimana yang dikumandangkannya sejak ia
menyampaikan Konsepsinya.
Hanya pertimbangan politik dan keagamaanlah yang akhirnya memaksa NU untuk mau bekerja
sama dengan kelompok lain yang berbeda ideologi. Demikian juga halnya dengan
partai-partai lain yang masih ada pada masa itu. Ketegangan dan intrik politik
yang bersifat ideologis pun sering terjadi. Misalnya yang terjadi di antara dua
tokoh PKI dan NU. D. N. Aidit (PKI) melontarkan suatu pertanyaan yang dianggap
Saifuddin Zuhri (Menteri Agama dari NU) sebagai sindiran (insinuasi) ideologis.
Peristiwanya terjadi dalam sebuah sidang DPA yang tengah membahas soal membasmi
hama tikus.
“Saudara Ketua,
baiklah ditanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya ini,
bagaimana hukumnya menurut agama Islam makan daging tikus?”, ujar Aidit pada
Soekarno. Sebelumnya, pada suatu rapat umum “Pemuda Rakyat” di Istora Senayan,
kaum komunis memperlihatkan demonstrasinya beramai-ramai makan dendeng tikus.
Suatu latihan dari gerakan “pengganyangan” dimulai dari mengganyang tikus,
mengganyang setan desa, mengganyang
setan kota dan mengganyang musuh PKI.
[1]
Alfian, “Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional” dalam Pemikiran dan
Perubahan Politik di Indonesia ( Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 187.
[2]
Herbert Feith dan Lance Castle (ed), Indonesian Political Thinking,
1945-1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1970). Dikutip dari Alfian,
“Pemikiran Politik di Indonesia” dalam Pemikiran, hlm. 101.
[3] Lih.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi (Jakarta: Paramadina, 1998),
hlm. 72-82.
[4] Ibid.,
hlm. 88.
[5] Deliar
Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Pustaka Utama
Graffiti, 1987), hlm. 40.
[6] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara,
hlm. 90.
[7]
Misalnya seperti yang dipaparkan oleh Achmad Zaini tentang Wahid Hasjim (salah
seorang wakil Islam di PPKI) dalam karyanya, Kyai Abdul Wahid Hasjim: His
Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism during the
Twentieth Century (Indonesian Academic Society XXI, 1998).
[8] Batiar
Effendy, Islam dan Negara, hlm. 92.
[9]
Alfian, “Format Baru Politik Indonesia” dalam Pemikiran, hlm. 33.
[10]
Herbert Feith, Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Jakarta:
Sinar Harapan, 1995), hlm. 16.
[11] Salah
satu kajian yang secara khusus membahas masalah ini adalah karya Endang
Saifuddin Ansary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional
Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959 (Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981).
[12] Lih.
Herbert Feith, Soekarno-Militer , hlm. 74-75; bdk. Ulf Sundhaussen, Politik
Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, terj. Hasan Basari,
cet. II (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm 239, dan John D. Legge, Soekarno, hlm.
350.
[13] Istilah Common Denominator digunakan
oleh Bernard Dahm dalam karyanya, Soekarno and Struggle for Indonesian
Indepence (Ithaca: Cornell University Press, 1969).
[14]
Alfian, “Dasar-Dasar Pemikiran Soekarno” dalam Pemikiran, hlm. 119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar