Senin, 04 Februari 2013

WACANA POLITIK


Pertarungan Ideologi
Faktor selanjutnya adalah pertarungan ideologi yang sangat hebat di Indonesia yang terjadi sejak sebelum kemerdekaan. Pertarungan Ideologi ini bisa menjelaskan mengapa Idham menggunakan konsep syu>ra untuk menjelaskan Demokrasi Terpimpin.
Indonesia, sebagaimana negara-negara terjajah lainnya di dunia, telah menjadi ladang persemaian yang subur bagi berbagai ideologi politik. Secara umum, ideologi mungkin dapat diartikan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi duniawi mereka.[1]
Ideologi pada gilirannya memunculkan berbagai macam corak pemikiran politik. Feith dan Castle mencatat ada lima aliran yang menjadi sumber atau yang mewarnai pemikiran-pemikiran politik Indonesia, yaitu: (1) tradisi Jawa (2) Islam (3) nasionalisme radikal (4) komunisme, dan (5) sosial-demokrasi.[2] Terlepas dari berbagai kritik yang diarahkan pada penulis-penulis itu, tidak bisa disangkal adanya berbagai macam ideologi yang menghasilkan beragam pemikiran dan sikap politik di Indonesia.
Di masa sebelum kemerdekaan, ideologi-idologi tersebut berperan di dalam perjuangan melawan kolonialisme. Semasa menjelang dan setelah kemerdekaan, perdebatan/ pertarungan ideologi kembali terjadi. Perdebatan / pertarungan tersebut dapat dilihat dalam polemik antara Natsir dan Soekarno[3], juga dalam sidang-sidang BPUPKI dimana terbentuk dua kelompok besar: ada kelompok yang menginginkan agar agama (Islam) harus menjadi bagian integral dalam negara (Nasionalis Islam) dan kelompok lain yang menentang Indonesia dijadikan negara agama (Nasionalis Sekular).
Untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara kedua kelompok ini, dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid Hasjim, dan A.A Maramis. Panitia kecil ini menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.[4]
            Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan di atas kembali dipersoalkan. Dikisahkan bahwa seorang pejabat angkatan laut Jepang datang kepada Hatta dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen (yang sebagian besarnya berdomosili di wilayah timur Nusantara) tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia, kecuali jika beberapa unsur dari Piagam Jakarta (yakni kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya, Islam sebagai agama negara, dan persyaratan bahwa Presiden harus seorang muslim) dihapuskan. Mereka menyadari bahwa penerapan Piagam Jakarta tidak akan mengancam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan politik mereka. Meskipun demikian, dalam pandangan mereka, kerangka konstitusional semacam itu akan mengundang diambilnya langkah-langkah yang diskriminatif.[5]
Atas desakan Hatta, akhirnya kelompok Islam bersepakat menghapus unsur-unsur legalistik/ formalistik, terutama pencabutan “butir-butir mengenai Islam sebagai agama resmi negara, presiden harus seorang muslim, dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Sementara itu, sebagai gantinya, unsur teologi monoteistik dimasukkan ke dalam sila pertama dalam Pancasila. Dengan demikian, sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[6] Peristiwa ini mengandung dua sisi, baik dan buruk. Sisi baiknya, adalah menunjukkan betapa para pemimpin Islam itu memiliki komitmen yang tinggi terhadap persatuan nasional.[7] Sementara sisi buruknya, peristiwa ini dianggap kekalahan pertama kelompok Islam dalam upaya merealisasikan gagasan mereka untuk mengaitkan antara Islam dan negara secara legalistik dan formalistik.[8]
            Pemilu 1955 juga turut mengentalkan pertentangan ideologi. Kampanye pemilu sebagai usaha untuk merebut suara pemilih telah memaksa partai-partai politik yang bersaing untuk memperjelas posisi mereka vis-à-vis partai-partai lain.[9] Tambahan lagi, kampanye pemilu telah mepertajam perbedaan pandangan mengenai dasar tujuan negara dan bangsa. Sebuah isyu sentral muncul, apakah negara itu sebaiknya, seperti Masyumi meminta terutama didasarkan atas Islam; atau apakah, seperti PNI mengajukan pandangannya, dasar keagamaan itu sebaiknya cukup (tidak perlu ditambahkan lagi) sebagaimana yang telah ada dalam Pancasila itu, yang hanya menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[10]   
            Pertarungan ideologi “babak kedua” antara kubu Nasionalis Islam dan dan Nasionalis Sekular memang terjadi lagi, dan kini berpusat di sidang Majelis Konstituante. Majelis yang bertugas menyusun undang-undang baru ini, kembali menyentuh masalah dasar negara.[11] Perdebatan alot terjadi sampai akhirnya pemerintah turun tangan dengan menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945. Pada saat yang sama Soekarno telah memulai kampanyenya untuk merubah sistem politik di Indonesia menjadi Demokrasi Terpimpin. Tiga kali pemungutan suara dilaksanakan untuk usulan pemerintah tersebut, tetapi suara mayoritas dua-pertiga tidak pernah tercapai dan dengan begitu Majelis tidak dapat mengeluarkan keputusan apa-apa, baik menolak atau menerima. Jawaban atas kebuntuan ini akhirnya justru datang dari Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan pembubaran Majelis Konstituante dan kembali diberlakukannya UUD 1945.[12]
            Pada zaman Demokrasi Terpimpin pertarungan ideologi terus berlanjut. Hanya saja, karena perubahan peta kekuatan politik, maka medan pertarungan ideologi pun berubah. Pada masa itu bukan lagi golongan Islam dan Nasionalis yang bertikai, karena pertarungan itu dinyatakan selesai dan tertutup seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden. Pertarungan ideologi yang terjadi kemudian adalah antara yang komunis dan yang anti komunis. Soekarno berusaha menghentikan pertarungan ideologi ini dengan menciptakan persatuan Nasakom, akronim dari Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Usahanya ini dapat dimaknai sebagai pencarian sebuah landasan yang sama  atau kesatuan yang cocok (common denominator)[13] bagi masyarakatnya. Soekarno mencoba mengompromikan atau mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh dalam masyarakat menjadi satu ide baru yang lebih tinggi tempatnya yang bisa diterima oleh semua unsur penting yang ada.[14] Gagasan persatuan Nasakom  merupakan bentuk konsistensi dari pemikiran Soekarno yang tertuang dalam sebuah artikelnya tahun 1926 berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, dengan sedikit modifikasi tentunya. Ide dari artikel itu adalah mempertemukan aliran-aliran besar yang ada di tubuh Sarekat Islam. Modifikasi yang terjadi dalam ide persatuan Nasakom adalah diperluasnya Islamisme menjadi Agama hingga memasukkan semua agama yang ada di Indonesia sebagai ideologi yang hendak dipersatukannya.
Satu hal yang juga penting bahwa kekuatan kaum komunis pada masa ini menjadi lebih kuat di pemerintahan karena Soekarno melindunginya dan memperjuangkan keterlibatannya. Soekarno menyatakan bahwa PKI adalah satu kekuatan yang harus terlibat dalam menentukan arah perjalanan bangsa, sebagaimana yang dikumandangkannya sejak ia menyampaikan Konsepsinya.
            Hanya pertimbangan politik dan keagamaanlah  yang akhirnya memaksa NU untuk mau bekerja sama dengan kelompok lain yang berbeda ideologi. Demikian juga halnya dengan partai-partai lain yang masih ada pada masa itu. Ketegangan dan intrik politik yang bersifat ideologis pun sering terjadi. Misalnya yang terjadi di antara dua tokoh PKI dan NU. D. N. Aidit (PKI) melontarkan suatu pertanyaan yang dianggap Saifuddin Zuhri (Menteri Agama dari NU) sebagai sindiran (insinuasi) ideologis. Peristiwanya terjadi dalam sebuah sidang DPA yang tengah membahas soal membasmi hama tikus.
“Saudara Ketua, baiklah ditanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya ini, bagaimana hukumnya menurut agama Islam makan daging tikus?”, ujar Aidit pada Soekarno. Sebelumnya, pada suatu rapat umum “Pemuda Rakyat” di Istora Senayan, kaum komunis memperlihatkan demonstrasinya beramai-ramai makan dendeng tikus. Suatu latihan dari gerakan “pengganyangan” dimulai dari mengganyang tikus, mengganyang setan desa, mengganyang  setan kota dan mengganyang musuh PKI.



[1] Alfian, “Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional” dalam Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia ( Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 187.

[2] Herbert Feith dan Lance Castle (ed), Indonesian Political Thinking, 1945-1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1970). Dikutip dari Alfian, “Pemikiran Politik di Indonesia” dalam Pemikiran, hlm. 101.

[3] Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 72-82.

[4] Ibid., hlm. 88.

[5] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1987), hlm. 40. 

[6]  Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 90.

[7] Misalnya seperti yang dipaparkan oleh Achmad Zaini tentang Wahid Hasjim (salah seorang wakil Islam di PPKI) dalam karyanya, Kyai Abdul Wahid Hasjim: His Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism during the Twentieth Century (Indonesian Academic Society XXI, 1998). 

[8] Batiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 92. 

[9] Alfian, “Format Baru Politik Indonesia” dalam Pemikiran, hlm. 33.

[10] Herbert Feith, Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), hlm. 16.

[11] Salah satu kajian yang secara khusus membahas masalah ini adalah karya Endang Saifuddin Ansary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959 (Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1981).

[12] Lih. Herbert Feith, Soekarno-Militer , hlm. 74-75; bdk. Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, terj. Hasan Basari, cet. II (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm 239, dan John D. Legge, Soekarno, hlm. 350.

[13]  Istilah Common Denominator digunakan oleh Bernard Dahm dalam karyanya, Soekarno and Struggle for Indonesian Indepence (Ithaca: Cornell University Press, 1969).

[14] Alfian, “Dasar-Dasar Pemikiran Soekarno” dalam Pemikiran, hlm. 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar