Sabtu, 24 Mei 2014

CONTOH PROPOSAL TESIS TENTANG SISTEM PEMILU



PROPOSAL TESIS

STUDI KOMPARASI SISTEM PEMILU DI INDONESIA
ANTARA SISTEM LANGSUNG DAN PERWAKILAN PERSPEKTIF POLITIK ISLAM


 









Oleh:
          ARI ARKANUDIN
              NIM: 1220310091

KONSENTRASI STUDI POLITIK DAN
PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
PROGAM MAGISTER HUKUM ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

YOGYAKARTA
2014


A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Menurut teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.
Pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala merupakan kebutuhan mutlak sebagai sarana demokrasi yang akan melahirkan kedaulatan rakyat sebagai inti dalam kehidupan bernegara. Sebab melalui  proses inilah akan dihasilkan pemerintahan yang didukung oleh rakyat, sekaligus menentukan asas legalitas, legitimasi dan asas kredibilitas.[1]
Peran pemilu dalam kehidupan bernegara sangat penting,[2] efektifitas penyelanggaraan negara sangat ditentukan oleh partisipasi warga negarnya. Demikian pula halnya dengan sistem ketatanegaraan yang sedang berlangsung saat ini, dibutuhkan partisipasi, peran serta aktif dari warga negara dalam hal membantu efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan negara. Khususnya yang mendukung setiap kebijakan pemerintahan yang akan berdampak pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Pemilu yang berkualitas dan pemilihan umum yang berhasil bisa dicapai hanya jika dalam pembentukan Undang-undang Pemilu memperhatikan berbagai aspek, antara lain jumlah maksimal anggota DPR meskipun ada tambahan penduduk. Keseimbangan antara perwakilan, penyederhanaan jumlah partai, keterpaduan kekuatan politik di DPR, pemilihan yang mendekatkan wakil dengan rakyat pemilih, mendorong keanggotaan yang bermutu dan berwawasan luas, optimalisasi fungsi partai dalam melakukan pendidikan politik terhadap kadernya, mencegah di terjadinya pemusatan kekuatan politik pada satu partai, dan mencegah proses sentrifugal atau fragmentasi antar kekuatan politik, menjamin pemilu yang jujur, adil, terbuka, tertib dan terhindar dan segala macam bentuk tekanan atau cara-cara lain yang bertentangan dengan norma hukum atau kesusilaan, dan menjamin hak-hak perwakilan minoritas yang tidak dapat diraih melalui pemilu. Dengan kata lain pemilu dapat di katakana sukses bila di tinjau dari segi hasil ialah jika pemilu yang di laksanakan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin Negara, yang mampu mewujudkan cita-cita nasional, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3]
Pemilihan umum setelah era Orde Baru runtuh dengan sebutan pesta demokrasi kian lama menjadikan wahana pemilu menjadi sempit yang pada akhirnya memasung keleluasaan artikulatif pemaknaan pemilu tersebut. Hal ini terjadi karena esensinya kurang dipahami. Pada prinsipnya pemilu dalam ranah demokrasi lebih bermakna sebagai: Pertama, kegiatan partisipasi politik dalam menuju kesempurnaan oleh berbagai pihak. Kedua, sistem perwakilan bukan partisipasi langsung dalam bahasa politik kepanjangan tangan di mana terjadi perwakilan penentuan akhir dalam memilih elit politik yang berhak duduk mewakili masyarakat. Akibatnya muncul perlombaan make-up dalam mendapat simpati wujud representasi masyarakat luas. Ketiga, sirkulasi pada elit politik yang berujung pada perbaikan performa pelaksana eksekutifnya.[4]
Di dalam ilmu Politik juga dikenal macam-macam sistem pemilihan umum[5], akan tetapi pada dasarnya hanya ada 2 yaitu : singel member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).[6] Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tujuan diselenggarakannya pemilu  adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasinonal.  Asas Pemilu pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.[7] 
Di indonesia sudah ada 9 kali menyelenggarakan pemilihan umum sejak kemerdekaan indonesia . Sistem pemilu yang dianut indonesia adalah sistem pemilihan proporsional , ada usulan untuk merubah sistem pemilu paska Suharto yang tetap menggunakan sistem proporsional, namun usulan sistem pemilu distrik  di tolak. Dengan alasan bahwa sistem pemilu proporsional lebih pas di Indonesia, hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan di Indonesia, adanya kekhawatiran jika menggunakan distrik karena akan ada kelompok kelompok yang tidak
terwakili khususnya masyarakat kecil.[8] Sistem proporsional juga banyak di setujui oleh DPR , karena sistem ini lebih mengutungkan, bisa saja sistem proporsional ini akan di gunakan selamanya di Indonesia, karena tidak mudah untuk mengganti sistem pemilu di suatu negara kecuali perubahan politik yang radikal di Indonesia sendiri sistem pemilu sudah mengalami perubahan dari sistem tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsionalterbuka.       
      Pasca pemerintahan Suharto terdapat perubahan sistem pemilu yaitu terjadinya modifikasi sistem proporsional indonesia , dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka.[9] Dilihat dari perubahan yang terjadi pada tahun 1999 dengan orde baru, masa orde baru yang menjadi pilihan nya yaitu provinsi sedangkan pada tahun 1999 provinsi itu masih daerah pilihan tetapi telah menjadi pertimbangan kabupaten kota dan alokasi dari partai dengan perolehan suara. Pada pemilu tahun 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi akan tetapi daerah yang lebih kecil lagi walaupun ada daerah pemilihan yang mencakup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepri, Yogykarta, Bali semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi utara dan tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku utara, Papua dan Irian jaya barat. Masing-masing pilihan mendapatkan 3-12 kursi. Pada pemilu besaran daerah pemilihan    untuk DPR diperkecil 3-10. Pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar peserta pemilu. Pada tahun 2004 para pemilih boleh coblos tanda gambar kontestan pemilu dan calonnya. Agar pemilih dapat mengenal calonnya dan menentukan siapa yang menjadi wakil DPR dan dapat memberikan calon yang tidak ada nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan peung membagi pemilih (BPP) . Di katakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan atau pemilihan siapa yang akan mewakili partai di dalam perolehan kursi DPR/D tidak didasarkan perolehan suara terbanyak tetapi nomor urut. .
          Sistem proporsional semi daftar terbuka pada dasarnya merupakan hasil sebuah kompromi dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002 PDIP, Golkar, PPP jelas jelas menolak sistem daftar terbuka karena penentuan caleg adalah hak partai peserta pemilu. memang jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai dalam menyeleksi caleg yang cocok duduk di kursi DPR/D. Tetapi akhirnya ketiga partai itu menyetujui perubahan tetapi tidak terbuka secara bebas melainkan setengah saja.
             Kelemahan Sistem Pemilu yang Memberikan Peluang Money Politic. Money politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal praktek  money politic merupakan praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.[10] Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat praktek money politic ini menjamur luas di masyarakat. Maraknya praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem pemilu yang benar-benar anti money politic.  Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data untuk membuktikan sumber praktek tersebut,  namun ironisnya praktek money politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang. Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan penanganan yang lebih serius. Masyarakat yang kondisi ekonominya sulit dan pengetahuan politiknya masih awam akan mejadi sasaran empuk para pelaku praktek money politik.
 Pelaku praktek money politic ini tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam menjalankan prakteknya tersebut, sehingga setelah dia menerima kekuasaan maka terjadi penyelewengan kekuasaan seperti eksploitasi APBD, kapitalisasi kebijakan, dan eksploitasi sumber daya yang ada sebagai timbal-balik atas biaya besar pada saat pelaku money politik itu melakukan kampaye.Perlunya penafsiran ulang mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan masalah-masalah di pemilu yang terkadang menyalahi aturan UU yang berlaku. Calon-calon dalam pemilu pasti melakukan kampanye, kampaye ini memerlukan dana yang tidak sedikit. Banyak pihak-pihak yang membantu pendanaan dalam melakukan kampanye suatu partai atau perorangan, namun hal ini terkadang bisa di sebut suatu penyuapan politik. Pihak-pihak yang memberikan pendanaan biasanya mengharapkan imbalan setelah partai atau perorangan tersebut terpilih dan memegang kekuasaan. Misalnya, anggota legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut. Dalam pemilu banyak aksi money politic yang dapat memengaruhi hasil pemilu karena aturan yang tidak tegas bahkan petinggi negara seperti badan legislative, eksekutif, dan yudikatif beberapa diantaranya bisa di suap sehingga petinggi negara yang memiliki kekuasaan tersebut dengan mudah dapat menetapkan kebijakan-kebijakan atau melakukan kecurangan yang menguntungkan pihak yang memiliki banyak uang tesebut.
Islam adalah agama yang unik, satu-satunya agama yang mengatur manusia baik ibadah (ruhiyah) maupun dalam hal kehidupan/politik (siyasah). Karena itu sebagai kosekuensi dari iman seseorang, maka iman itu mengharuskan semua perbuatan manusia terikat pada hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan. Seorang mu’min akan senantiasa mendasarkan segala aktivitasnya pada hukum-hukum yang telah diturunkan kepadanya dan tidak mengadakan hal-hal baru. Termasuk dalam aktivitas perubahan ini.
Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Prinsip ini terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah. Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Nah, di sinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara  bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.
            Menurut Fahmi Huwadi, jika dalam bidang akidah saja suatu hal yang sangat penting Islam memberikan kebebasan, maka logikanya dalam bidang-bidang yang lain seperti politik, tentu merupakan kebebasan bagi umat untuk mengekpresikannya. Kebebasan politik menurut istilah modern tidak lain kecuali hanya cabang pokok-pokok kebebasan yang diberikan islam, yaitu manusia dalam kedudukannya sebagai manusia dalam kedudukannya sebagai manusia yang telah ditetapkan dalam nash-nash baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunah Nabi Muhammad SAW.[11]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang akan di teliti dalam tesis ini dapat di rumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana perbandingan sistem pemilu yang pernah berlaku di Indonesia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing?
2. Bagaimana Politik Islam memandang sistem pemilu yang ada di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
            Dari rumusan masalah yang telah di kemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 
1. Tujuan Penelitian
a.      Menjelaskan tentang pengertian dan kegunaan  pemilu di Indonesia.
b.      Memberikan penjelasan tentang kelebihan dan kekurangan sistem pemilu.
    2. Kegunaan Penelitian
      a.  Kegunaan secara teoritis adalah untuk memperkaya khasanah keilmuan, terlebih      untuk bahasan  ilmu politik.
 b.  Memberikan sumbangsih pemikiran dan gambaran tentang kelebihan dan kekurangan sistem pemilu yang ada.
c.   Memberi kontribusi bagi para pelaku pembuat undang-undang guna menimbang lebih lanjut terhadap sistem pemilu di Negara kita.
d.   Di harapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi khasanah keilmuan di  UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya.
D.  Kajian Pustaka
            Berdasarkan telaah pustaka yang telah penyusun lakukan mengenai studi komparasi system pemilu langsung dan perwakilan, terdapat beberapa literatur yang sesuai dengan pokok bahasan ini diantaranya:
Buku yang di tulis oleh Tataq Chimad “Kritik Terhadap Pemilihan Langsung” buku ini mencoba mengkritisi tentang model pemilu langsung.[12] Dalam kritiknya tergambar akan scenario besar runtuhnya bangunan (ruh) pemilu atas kesenjangan pemutusan alur demokrasi, lewat kepentingan sesaat saja. Kritis adalah jawaban kedepan semoga suara masyarakat tidak disepelekan oleh elit politik, jika mereka pun tidak inggin disepelekan oleh masyarakat luas. Yang membedakan dengan tesis ini adalah buku ini hanya fokus terhadap kritik system pemilu langsung sedang tesis ini mencoba membandingkan antara sistem langsung dan perwakilan dalam pemilu baik dari segi kekurangan maupun kelebihan.
Kemudian buku yang ditulis oleh Daniel S. Salossa dengan judul “Mekanisme, Persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Langsung ( Menurut Undang-Undang No.32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Buku ini memuat informasi penting yang lengkap mengenai mekanisme dan tata cara pemilihan langsung dari awal hingga akhir. Sejumlah informasi penting yang dipaprkan dalam buku ini antara lain mengenai: Tata cara pemilihan kepala daerah, tata tertib kampanye dan pemunggutan suara, tugas dan wewenang KPUD.[13]
            Koirudin dengan bukunya “Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004”, buku ini secara komprehensif memuat satatan-catatan penting hal-hal yang perlu diperhatikan bagi penyempurnaan pemilihan umum yang akan datang. Pertanyaan fundamentalnya adalah bagaimana keberhasilan procedural dalam pemilu presiden dapat memberikan kontribusi subtansial bagi perkembangan demokrasi kedepan. Pertanyaan tersebut perlu dijawab mengingat kesuksesan masyarakat melaksanakan demokrasi procedural selama lebih kurang enam tahun terakhir ini justru memproduksi oligarki baik dilingkungan partai politik maupun di lembaga-lembaga politik lainnya. Terutama parlemen, mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Parlemen dan partai politik dijadikan saluran untuk menyalurkan sumberdaya Negara untuk memperkuat patronage politik. Buku ini hanya focus terhadap pemilu presiden 2004 saja.[14]
E. Kerangka Teoritik
Pemilihan Umum adalah salah satu wujud demokrasi. Dalam kata lain, Pemilu adalah pengejawantahan penting dari “demokrasi prosedural”. Berkaitan dengan ini, Samuel P. Huntington dalam Sahid gatara (2008: 207) menyebutkan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang bakal mereka pimpin. Selain itu, Pemilu sangat sejalan dengan semangat demokrasi secara subtansi atau “demokrasi subtansial”, yakni demokrasi dalam pengertian pemerintah yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi.[15]  
 Berdasarkan uraian di atas, Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Secara sederhana, Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam teori juga dikatakan bahwa Negara modern adalah Negara demokratis yang memberikan ruang khusus bagi keterlibatan rakyat dalam jabatan-jabatan public. Setiap jabatan public ini merupakan arena kompetisi yang diperebutkan secara wajar dan melibatkan setiap warga Negara tanpa diskriminasi rasial, suku, agama, golonngan dan stereotip lainnya yang meminimalkan partisipasi setiap orang.[16]
Pada 2007, berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum. Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali. Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu.
Pemilu memiliki berbagai macam sistem, tetapi ada dua sistem yang merupakan prinsip dalam pemilu dan sistem ini termasuk dari sistem pemilihan mekanis . Sistem tersebut adalah:
1)      Sistem perwakilan distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )[17]
didalanm sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni :
*       firs past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
*       the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
*       the alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap calon-calon yang ada.
*       block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
Kelebihan Sistem Distrik
a.       Sistem ini mendorong terjadinya integrasi antar partai, karena kursi kekuasaan yang diperebutkan hanya satu.
b.      Perpecahan partai dan pembentukan partai baru dapat dihambat, bahkan dapat mendorong penyederhanaan partai secara alami.
c.       Distrik merupakan daerah kecil, karena itu wakil terpilih dapat dikenali dengan baik oleh komunitasnya, dan hubungan dengan pemilihnya menjadi lebih akrab.
d.      Bagi partai besar, lebih mudah untuk mendapatkan kedudukan mayoritas di parlemen.
e.       Jumlah partai yang terbatas membuat stabilitas politik mudah diciptakan
Kelemahan Sistem Distrik
a.       Ada kesenjangan persentase suara yang diperoleh dengan jumlah kursi di partai, hal ini menyebabkan partai besar lebih berkuasa.
b.      Partai kecil dan minoritas merugi karena sistem ini membuat banyak suara terbuang.
c.       Sistem ini kurang mewakili kepentingan masyarakat heterogen dan pluralis.
d.      Wakil rakyat terpilih cenderung memerhatikan kepentingan daerahnya daripada kepentingan nasional.
     2)      Sistem perwakilan proposional  ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
Sistem perwakilan proposional ialah sistem, di mana kursi-kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan prosentase atau pertimbangan jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Sistem ini juga disebut perwakilan berimbang atau multi member constituenty. ada dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
*       list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
*       the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kota.
Kelebihan Sistem Proposional
a.       Dianggap lebih mewakili suara rakyat karena perolehan suara partai sama dengan persentase kursinya di parlemen.
b.      Setiap suara dihitung dan tidak ada yang terbuang, hingga partai kecil dan minoritas bisa mendapat kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Hal ini sangat mewakili masyarakat heterogen dan pluralis.
Kelemahan Sistem Proposional
a.       Berbeda dengan sistem distrik, sistem proporsional kurang mendukung integrasi partai politik. Jumlah partai yang terus bertambah menghambat integrasi partai.
b.      Wakil rakyat kurang akrab dengan pemilihnya, tapi lebih akrab dengan partainya. Hal ini memberikan kedudukan kuat pada pimpinan partai untuk memilih wakilnya di parlemen.
c.       Banyaknya partai yang bersaing menyebabkan kesulitan bagi suatu partai untuk menjadi mayoritas.
Secara aktivitas, maka proses memilih wakil rakyat dalam pemilu kali ini dalam sudut pandang Islam adalah akad wakalah (perwakilan). Dimana diperlukan pemenuhan atas rukun-rukunnya agar sempurna suatu akad wakalah tersebut. Rukun-rukun wakalah adalah adanya (1) muwakkil atau yang mewakilkan suatu perkara, (2) wakil, yaitu orang yang menerima perwakilan, (3) shighat at-tawkil atau redaksional perwakilan, dan (4) al-umuur al-muawakkal biha atau perkara yang diwakilkan. Di dalam konteks memilih wakil rakyat ini, maka yang perlu dicermati adalah rukun keempat, yaitu perkara yang diwakilkan. Karena, syarat perkara yang boleh diwakilkan hanyalah perkara yang syar’i (dibolehlkan dalam syari’at). Wakil rakyat yang dipilih oleh masyarakat mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden/wakil presiden, dan (3) fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.
F. Metode Penelitian
            Karya ilmiah pada umumnya adalah hasil penelitian yang di lakukan secara ilmiah dan bertujuan untuk menemukan, menyumbangkan dan menyajikan kebenaran[18]. Dalam penyusunan skripsi ini mengunakan metode sebagai berikut:
1.      Jenis Penelitian
         Jenis penelitian yang di gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah library research yaitu metode penelitian mengunakan fasilitas kepustakaan yang berupa kitab, buku, jurnal KUHP, makalah, artikel dan sumber-sumber ilmiah lainnya yang relevan dengan pokok pembahasan skripsi ini.
2.      Sifat Penelitian
Dalam hal ini peneliti mengunakan penelitian yang bersifat deskritif analitik[19]dimana penyusun bermaksud untuk mengambarkan sesuai dengan fakta mengenai perbandingan sistem pemilu yang ada di Indonesia serta kelebihan dan kekurangan dari masing-masing system, serta bagaimana kalau ditinjau dari sudut panjang hokum islam.
3.      Pendekatan Masalah
                      Pendekatan yang penyusun gunakan dalam menelusuri masalah yang di teliti yaitu:
a.    Pendekatan normatif, yakni cara mendekati masalah yang di bahas dengan melihat apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah yang berdasarkan pada norma-norma hukum islam yang berlaku baik yang tersurat maupun yang tersirat.
4.   Pengumpulan Data
                        Dalam mengumpulkan data penyusun mengunakan studi kepustakaan dalam memperoleh data sekunder yang dalam hal ini di lakukan dengan membaca, mencatat dan mengutip dari hal-hal yang di teliti dari berbagai sumber kepustakaan yang ada. Sedangkan untuk memperoleh data primer yaitu dari Al-Qur’an, Hadist, dan data tersier di peroleh dari kamus-kamus bahasa Indonesia, Inggris, Arab dan ensiklopedia tematis ilmu politik, ensiklopedi fikih dan lain-lain.
5.       Analisis Data.
                                    Dalam proses menganalisis dan menginterprestasikan data-data yang terkumpul penyusun menempuh cara analisis deskritif kualitatif yakni setelah data-data terkumpul kemudian data tersebut di kelompokkan menurut kategori masing-masing dan selanjutnya di interpresentasikan melalui kata-kata atau kalimat dengan kerangka berpikir untuk memperoleh kesimpulan atau jawaban dari permaslahan yang telah di rumuskan[20].
                                    Selanjutnya untuk menginterpresentasikan data-data yang sudah terkumpul penyusun memakai kerangka berpikir induktif, yakni dari pola pikir yang berangkat dari fakta-fakta khusus, peristiwa-peristiwa kongkrit, untuk menarik generalisasi yang bersifat umum. Dengan kata lain, setelah data terkumpul, peneliti mulai menghimpun dan mengorganisasikan data-data yang masih bersifat khusus tersebut yang selanjutnya di pisah-pisahkan menurut kategori masing-masing untuk menjawab permasalahan dan juga untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.
G. Sistematika Pembahasan
            Untuk memberikan gambaran penulisan dan pembahasan, proposal ini akan di bagi menjadi lima bab yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan, masing-masing bab dapat di gambarkan secara ringkas sebagai berikut:
            Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah sebagai dasar rumusan masalah, pokok masalah untuk membatasi lingkup permasalahan yang akan di teliti, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka sebagai referensi atau literatur bahan kajian yang di gunakan, kerangka teoritik sebagai pokok analisis yang akan mengupas pokok masalah, metode penelitian dan sistematika penelitian untuk mengarahkan kepada substansi penelitian ini.
            Bab kedua membahas tentang pengertian serta macam sistem pemilu yang ada dalam ilmu politik islam.
            Bab Ketiga membahas mengenai pengertian serta macam sistem pemilu yang ada dalam ilmu politik serta kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem.
            Bab keempat, merupakan anlisis dari permasalahan yang sedang di kaji yakni kelebihan dan kekurangan dari masing-masing system yang ada ditinjau dari segi politik islam.
            Bab kelima, bab ini merupakan penutup dari skripsi penyusun, yang meliputi kesimpulan, saran, dan lampiran.
H. RENCANA DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................  i
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................  ii
HALAMAN NOTA DINAS.........................................................................................  iii
HALAMAN MOTTO....................................................................................................  iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................................  v
KATA PENGANTAR..................................................................................................  vi
PEDOMAN TRANSLITERASI..................................................................................  vii
DAFTAR ISI................................................................................................................ viii   
BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Pokok Masalah
C.     Tujuan dan Kegunaan
D.    Telaah Pustaka
E.     Kerangka Teoritik
F.      Metode Penelitian
G.    Sistematika pembahasan
BAB II.  SISTEM PEMILU  DALAM  POLITIK  ISLAM
A.    Pengertian dan Tujuan Pemilu dalam Politik Islam.
B.     Macam – Macam Sistem Pemilu dalam Politik Islam.
C.     Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilu dalam Politik Islam.

BAB III.  SISTEM  PEMILU  DALAM  ILMU POLITIK  
A.    Pengertian dan Tujuan Pemilu dalam Ilmu Politik.
B.     Macam – Macam Sistem Pemilu dalam Ilmu Politik .
C.      Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilu dalam Ilmu Politik.
BAB IV PERBANDINGAN SISTEM PEMILU DI INDONESIA  DITINJAU DARI POLITIK ISLAM
Kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem pemilu di Indonesia bila di tinjau dari sudut pandang politik Islam.
BAB V. PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran-saran
C.     Penutup
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

I . DAFTAR PUSTAKA 

Analisa, 1983-3, Pembangunan Politik, CSIS, Jakarta: 1983.
Abdullah, Rozali, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.

Budiardjo, Miriam . dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Chimad, Tataq, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004.


Hermawan, Eman, Politik Membela yang Benar, Teori Kritik dan Nalar, cet. Ke-1, Yogyakarta: KLIK, 2001.


Huwaydi, Fahmi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, Terj. Asep Hikmat, Bandung: Mizan,1998.


Karim, M. Rusli, Pemilihan Umum Demokratis Kompetitif, Cet. Ke-1, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.


Koirudin, Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.


Mashad, Dhurorudin, Reformasi Sistem Pemilu dan Peran Sospol ABRI, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1998.


Najib, Muhammad, Pemilu 2004 dan Eksperimentasi Demokrasi, Yogyakarta: KPU DIY, 2005.


Prihatmoko, dkk..Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Sahid, Gatara, Ilmu Politik Memahami dan Menerapkan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008.

Salossa, Daniel, Mekanisme, Persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Langsung ( Menurut Undang-Undang No.32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah), Yogyakarta: Media Pressindo, 2005.


Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.


Surakhmad, Winarno, Penggantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Tehnik, Bandung: Tarsito, 1995.


Taliwang, Hatta, Jendral Besar A. Nasution dan Perjuangan Mahasiswa, Cet ke-1, Jakarta: LKIP, 2003.



[1] M. Rusli Karim, Pemilihan Umum Demokratis Kompetitif, Cet I (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 2.
[2]  Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi berhubungan erat dengan pendidikan politik secara timbale balik. Disatu pihak pemilihan umum dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan politik, dilain pihak pendidikan politik akan lebih memberikan makna terhadap pemilihan umum. Lihat Analisa, 1983-3, Pembangunan Politik, CSIS (Jakarta: 1983), hlm. 179.
[3] Prof. H. Rozali Abdullah,S.H., Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.3.

[4] Tataq Chimad, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004), hlm. 1.

[5] Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode ini berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga adalah merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama.

[6] Dhurorudin Mashad, Reformasi Sistem Pemilu dan Peran Sospol ABRI, (Jakarta: Gramedia Widiasarana), 1998. Hlm. 17.

[7] Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, ( Jakarta: PT. Gramedia), 1983.

[8] Tanpa komitmen yang kuat pada demokrasi, kemenangan seorang calon dari suatu partai belum tentu akan mau mewakili aspirasi murni seluruh masyarakat pemilih di distriknya, sehingga setelah terpilih, si wakil rakyat akan cender ung menempatkan para pemilih partai yang kalah pada posisi tidak terwakili. Dengan kata lain, si calon pemilih cenderung bersikap “kita dan mereka”. Dhurorudin Mashad, Reformasi Sistem Pemilu dan Peran Sospol ABRI, (Jakarta: Gramedia Widiasarana), 1998. Hlm. 21.

                [9] Yang dimaksud dengan proposional adalah proporsi antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Provinsi untuk DPR-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Lihat Muhammad Najib, Pemilu 2004 dan Eksperimentasi Demokrasi, (Yogyakarta: KPU DIY, 2005), hlm. 260.
[10]  Penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi menjadi pemandangan biasa dalam pemilihan umum. Ini artinya menuntut mulai dari proses persiapan, penyelenggaraan sampai penentuan hasilnya harus bebas dari unsur-unsur  nondemokratis. Lihat Pemilihan Umum tahun 1976 yang dalam prakteknya sama sekali tidak mencerminkan tegaknya demokrasi, Pemilihan Umum hanya sebagai pesta demokrasi yang penuh rekayasa. Baca Hatta Taliwang, Jendral Besar A. Nasution dan Perjuangan Mahasiswa, Cet ke-1, (Jakarta: LKIP, 2003), hlm. 43.
[11]  Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, Terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan,1998), hlm. 106.
[12] Tataq Chimad, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004).

[13]  Daniel S. Salossa, Mekanisme, Persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Langsung ( Menurut Undang-Undang No.32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah), (Yogyakarta: Media Pressindo, 2005).

[14]  Koirudin, Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

[15] Gatara, Sahid. Ilmu Politik Memahami dan Menerapkan, Bandung: CV. Pustaka Setia. 2008 .

[16]  Eman Hermawan, Politik Membela yang Benar, Teori Kritik dan Nalar, cet I ( Yogyakarta, KLIK, 2001). Hlm. 76.

[17]  Dhurorudin Mashad, Reformasi Sistem Pemilu dan Peran Sospol ABRI, (Jakarta: Gramedia Widiasarana), 1998. Hlm. 17.


[18]  Sutrisno Hadi, Metedologi Riset  (Yogyakarta: Fakultas psikologi UGM, 1991), hlm. 2.

               [19] Winarno Surakhmad, penggantar penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Tehnik ( Bandung: Tarsito, 1995), hlm. 139.
[20] Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek ( Jakarta: Rineka Cipta, 1997 ), hlm. 245.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar