Minggu, 24 Februari 2013

Kreteria Delik Penyertaan Pembunuhan



   Kreteria Delik Penyertaan Pembunuhan
Pembunuhan menurut Wojowasito[1] adalah perampasan nyawa seseorang, sedangkan menurut ‘Abd al-Qadir ‘Audah adalah perbuatan seorang yang menghilangkan hilangnya roh adami akibat perbuatan manusia yang lain.jadi pembunuhan adalah perampasan atau peniadaan nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama untuk menggerakkan tubuh
Menurut hukum pidana Islam pembunuhan adalah suatu perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa.[2]
Adapun menurut hukum pidana positif pembunuhan adalah menghilangkan nyawa orang. Pembunuhan menurut hukum pidana pidana positif dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
1.      Pembunuhan sengaja (Doodslag):
Dalam peristiwa ini perlu dibuktikan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain yang memang dilakukan secara sengaja. Untuk dapat dituntut dalam pembunuhan ini perbuatan ini harus dilakukan dengan segera setelah timbul maksud dan tidak dipikir-pikir lebih lama. Pembunuhan ini termasuk dalam pasal 338 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya lima belas tahun”.
Adapun unsur delik doodslag yang terdapat dalam pasal 338 adalah menimbulkan matinya orang lain dengan sengaja. Pasal 338 bersifat Meterieel Delict, karena itu tidak dirumuskan perbuatan yang dilarang hanya akibat yang dirumuskan. Karena tidak dirumuskan secara tegas, perbuatan itu mengandung arti setiap perbuatan apapun yang dapat mengakibatkan matinya orang lain, seperti mencekik, menikam, menembak, meracuni dan memukul asal perbuatan itu dilakukan secara sengaja adalah pembunuhan.[3] 
2.      Pembunuhan berencana (Moord)
Pembunuhan ini hampir sama dengan pembunuhan sengaja hanya terdapat perbedaannya jika pembunuhan sengaja dilakukan seketika pada waktu timbul niat, sedangkan pada pembunuhan ini pelaksanaan ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu dilaksanakan.
Jarak waktu antara niat untuk membunuh dan pelaksanaan pembunuhan masih demikian luang sehingga pelaku dapat berfikir, apakah pembunuhan ini diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencanakan dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu?. Pembunuhan ini sesuai dengan pasal 340 KUHP “ Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena salah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[4]
Selain kedua bentuk pembunuhan tersebut masih ada bentuk pembunuhan dengan berbagai macam bentuk seperti pembunuhan dalam bentuk yang dapat diperberat hukuman (Gequalificeerde Doodslag) dalam pasal 339 KUHP, Pembunuhan atas permintaan sangat tegas oleh korban dalam pasal 344 dan masih banyak lagi.
 Menurut hukum pidana Islam Pembunuhan merupakan tindak pidana yang sangat keji dan merupakan tindak pidana yang dapat dihukum dengan pidana qishas atau termasuk jarimah qishas yang ancaman hukumnya adalah bunuh. Dalam hukum pidana Islam Pembunuhan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam menurut niatan dari pelaku:
1.      Pembunuhan sengaja (qatlul ‘amd) adalah tindakan pelaku pembunuhan yang sengaja membunuh seorang manusia yang bebas darahnya.[5] Sedangkan menurut Hasbullah Bakri adalah suatu perbuatan yang disertai niat (direncanakan) sebelumnya untuk menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan alat-alat yang dapat mematikan dengan sebab-sebab yang tidak dibenarkan oleh ketentuan hukum. Hasbullah Bakri memasukkan alat pembunuhan dalam defenisinya untuk membedakannya dari pembunuhan semi sengaja.[6]
Pembunuhan ini memiliki beberapa unsur untuk dapat dipidananya pelaku, yaitu
a.      Korban adalah orang yang masih hidup. Maksudnya ketika pembunuhan itu dilakukan korban dalam keadaan hidup kendati dalam keadaan kritis. Jika pembunuhan dilakukan pada orang yang telah mati maka bukan termasuk dalam pembunuhan ini.
b.      Kematian korban merupakan hasil dari perbuatan pelaku. Dalam hal ini tidak ada keharusan bahwa pembunuhan tersebut harus dilakukan dengan cara-cara tertentu. Namun para ulama mengkaitkan dengan alat yang digunakan oleh pelaku. Abu Hanifah mensyaratkan bahwa alat yang digunakan haruslah yang lazim dapat menimbulkan kematian. Jiak alat yang digunakan tidak lazin dapat menimbulkan kematian akan mengandung syubhat, sedangkan syubhat harus dihindari.
c.      Adanya niat. Keinginan atau kesengajaan pelaku yang merupakan itikad jahat untuk menghilangkan nyawa korban. Kematian tersebut adalah bagian dari skenario perbuatanya, artinya kematian tersebut memang dikehendaki sebagai tujuan akhir. Niat pelaku memang susuah untuk dibuktikan karena meupakan sesuatu yang abstrak dan tidak dapat dilihat, akan tetapi niat pelaku dapat dilihat dengan alat yang digunakan dalam pelakukan pembunuhan. Seorang pelaku pembunuhan sengaja akan menggunakan alat yang dengan cepat dapat menghilangkan nyawa orang lain.[7]
2.      Pembunuhan semi sengaja (qatlul syibhul ‘amd) adalah pembunuhan yang dilakukan seorang secara tidak sengaja dan tidak bermaksud untuk membunuhnya tetapi hanya bermaksud untuk melukainya, tetapi menimbuklan kematian.[8] Menurut Imam Syaf’i yang dikutib Sayyid Sabiq, pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang sengaja dalam pemukulannya dan keliru dalam pembunuhannya.[9]
Menurut para ulama seperti Abd Qadir ‘Audah, mereka berpendapat bahwa dalam pembunuhan semi sengaja tidak terletak pada niat. Menurut Sayyid Sabiq, pembunuhan semi sengaja karena pembunuhan itu diragukan antara kesengajaan dan kesalahan, karena secara prinsip pemukulan yang dimaksud tetapi membunuh tidak dimaksud.[10]
Unsur-unsur pembunuhan semi sengaja:
a.      Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian. Perbuatan yang dapat mengakibatkan kematian tersebuat tidak ditentukan, dapat beruapa pemukulan, penusukan dal lain sebagainya. Disyaratkan korban adalah orang yang terpelihara darahnya.
b.      Ada maksud penganiayaan atau permusuhan. Pelaku tidak bermaksud melakukan pembunuhan akan tetapi melakukan penganiayaan yang dapat berakibat pada kematian.
c.      Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian korban.[11]
3.      Pembunuhan tidak sengaja. Pembunuhan ini kebalikan dengan pembunuhan sengaja, menurut Sayyid Sabiq, pembunuhan tidak sengaja adalah ketidak sengajaan dalam dua unsur, yaitu perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Dalam pembunuhan ini perbuatan tidak diniati dan akibat yang ditimbulkan tidak dikehendaki.
Unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja:
a.      Perbuatan pelaku tidak disengaja dan tidak diniati. Pelaku tidak mempunyai niat jahat dengan perbuatannya. Hal itu karena kesalahan semata.
b.      Akibat yang ditimbulkan tidak dikehendaki. Kematian korban tidak diharapkan.
c.      Adanya keterkaitan kausalitas antara perbuatan dengankematian korban. [12]


[1] Pembunuhan menurut Wojowasito tersebut dikutip dari. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayat), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 113.

[2] H.A. Djazuli, Fiqih Jinayat (Upaya Penaggulangan Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm.121. 
[3] Zubair Laini, ”Kejahatan Terhadap Jiwa Manusia (Misdrijven Tegen Het Leven)”, Artikel dalam Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek dan Tantngannya) (ed.) Jaenal Aripin, M Arskal Salim GP, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm.147.

[4] R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm. 359.

[5] Salim Segaf al-Jufri, Jarimah (Pidana/Kriminal), http://www.syari’ahonline.com, akses 18 februari 2004.

[6]  Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam., hlm. 118.
[7] Ibid., hlm 119

[8] Salim Segaf al-Jufri, Jarimah (Pidana/Kriminal), http://www.syari’ahonline.com, akses 18 februari 2004.

[9]  Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam., hlm. 122.

[10] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa Mohamamd Nabhan Husein, Cet I, 14 jilid (Bandung: PT. Alma’arif,1984), hlm. 32.

[11] H. A. Djazuli, Fiqih Jinayat., hlm. 132.

[12] H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam., hlm. 121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar