Para
ahli hukum Islam (fuqaha’)
secara sederhana membagi riba menjadi empat macam yaitu: Pertama
riba fadli, yaitu
menukarkan dua barang yang sejenis dengan barang yang tidak sama.
Kedua riba qardi,
yaitu
berutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang.
Ketiga riba yad,
yaitu
berpisah dari tempat akad sebelum timbang-terima. Keempat
riba nasi’ah, yaitu
disyaratkan salah satu dari kedua barang yang ditukarkan tersebut
ditangguhkan penyerahannya.29
Riba nasi’ah
juga disebut riba duyun—yakni
riba
yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung
muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi
semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban
hanya karena berjalannya waktu.30
Sebagian
ulama ada yang membagi riba tersebut atas tiga macam, yaitu riba
fadli, riba yad, dan
riba nasi’ah. Riba
qardi termasuk
ke dalam riba
nasi’ah.
Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perak, dan
makanan yang mengenyangkan atau berguna untuk yang mengenyangkan,
misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama
sejenisnya—seperti emas dengan emas, gandum dengan
gandum—diperlukan tiga syarat: 1. Tunai; 2. Serah terima; dan 3.
Sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘illat
ribanya satu—seperti emas dengan perak—boleh tidak sama
timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan
‘illat
ribanya berlainan perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja
seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu
syarat dari yang tiga tersebut.31
Sementara
Ibnu Qayyim, membagi riba atas dua bagian: jali
dan
khafi.
Riba jali adalah
riba nasi’ah,
diharamkan karena mendatangkan mandharat
yang
besar. Riba yang sempurna (riba
al-kamil)
adalah riba nasi’ah.
Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Sedangkan riba khafi
diharamkan untuk merutup terjadinya riba jali
(wa al-khafi haramun
li annahu zari’atun ila al-jali).32
Semua
agama samawi (revealed
relegion)
telah melarang praktek bunga bank, karena dapat menimbulkan dampak
bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat langsung
pada praktek riba pada khususnya. Adapun dampak akibat dari praktek
riba adalah:
- Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
- Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat ciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal itu sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
- Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman dan bunganya.33
- Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama atau saling menolong dengan sesama manusia, dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan prasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu penderitaan orang lain.
29
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm. 290.
30
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi
dan Ilustrasi, cet. I (Yogyakarta: Ekonsia, 2003), hlm 6.
31
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm 290.
32
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank, dan
Kredit Perumahan” dalam Chuzaimah T. Yanggo dkk (ed.),
Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. I (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 35.
33
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, hlm. 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar