Jumat, 06 Juni 2014

Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.

Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.1
Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau Komunisme.2 Dengan berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir menyebutkan3:
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون ! (الذاريات:٥٦)
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.4
Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni :
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia, yang kemudian di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.5

Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung sekuler.6
Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana tersebut juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu tentang sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara agama dan negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.7
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun dengan cara memperkenalkan Pancasila yang sebelumnya ia tentang sendiri.8

1 M. Natsir, Agama dan Negara, 128.
2 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 87.
3 ِِaż-ża>riya>t (27) : 56.
4 M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 436.
5 Ibid.
6 Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, hlm.73. lihat Juga, Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61. Deliar Noer juga berpendapat bahwa pandangan mereka ( Soekarno dan Natsir) mewakili pandangan dua golongan besar di Indonesia, yakni golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, baca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, 315.
7 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61.
8 Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar