Dalam
pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa
Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam
konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de
facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam
diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih
dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
agama.1
Menurut
A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada
dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung
falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau
Komunisme.2
Dengan berdasarkan H{ujjah
nas} al-Qur’a>n yang dianggapnya
mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir
menyebutkan3:
و
ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون !
(الذاريات:٥٦)
Jadi,
ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini
hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar
mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.4
Namun
demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah
telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni :
Aturan
atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita,
dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya
aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia, yang kemudian
di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama
makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap
masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri
seseorang, yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.5
Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad
Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama,
faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan
pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis
sekuler. Kedua, faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan
muslim saat itu, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan yang cukup
reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung sekuler.6
Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana
tersebut juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu
tentang sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara
agama dan negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di
Turki.7
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran
Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di
Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan
Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik Islam,
meskipun dengan cara memperkenalkan Pancasila yang sebelumnya ia
tentang sendiri.8
1
M. Natsir, Agama dan Negara, 128.
2
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 87.
4
M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 436.
5
Ibid.
6
Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, hlm.73. lihat Juga,
Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61. Deliar Noer
juga berpendapat bahwa pandangan mereka ( Soekarno dan Natsir)
mewakili pandangan dua golongan besar di Indonesia, yakni golongan
nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, baca Deliar Noer,
Gerakan Modern Islam, 315.
7
Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61.
8
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar