- Pengertian Kontrak Asuransi
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian oleh karena
itu perjanjian sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian
perjanjian asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi
tetap pada pengertian dasar dari perjanjian.
Secara umum
pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih
2. Suatu
hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang saatu (yang berpiutang
atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain (yang berhubungan
atau debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggunga jawab atas
suatu prestasi.[1]
- Syarat-Syarat Perjanjian Asuransi
Perjanjian
asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mempunyai syarat
yang khusus dan unik sehingga perjanjian ini mempunyai karakteristik tertentu
yang sangat khas dibandingkan dengan perjanjian lain. secara umum perjanjian
asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum perjanjian, di samping memenuhi asas
atau prinsip tertentu yang mewujudkan sifat atau ciri khusus dari perjanjian
itu sendiri[2].
Menurut hukum
Islam syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam akad, ialah :
1. Ahliyatu
al- ‘Aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
2. Qabiliyatu
al-Mahalli al-'Aqdi Li Hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima
hukumnya)
3. Al-Wilyatus
Syar’iyah fi Maudlu’i (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang
yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid
sendiri)
4. La
Yakun al-‘Aqdu au Maudlu’uhu Mamnu’am bi an-Nassin Syar’iyin (janganlah
akad itu akad yang dilarang syara’)
5. Kaunu
al- ‘Aqdi Mufidan (akad itu memberi faedah)
6. Baqau
al-Ijabi Salihan Ila Mauqu’i al-Qabul (Ijab itu berjalan terus, tidak
dicabut, sebelum terjadi qabul). Maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya
sebelum qabul batallah ijab.
7. Ittihadu
Majlisi al-‘Aqdi (bersatunya majlis akad), karenanya, ijab menjadi batal
apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qabul.
Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab asy-Syafi’i, tidak terdapat
dalam mazhab-mazhab yang lain[3].
Beberapa syarat di atas merupakan
syarat pokok bagi setiap perjanjian. Artinya setiap perjanjian harus memenuhi
syarat di atas bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Jika ada salah satu
syarat tersebut dihilangkan maka secara otomatis perjanjian yang dibuat tidak
sah menurut hukum.
Pelaksanaan perjanjian asuransi,
ditandai dengan pemenuhan kewajiban penanggung untuk memberikan ganti kerugian
kepada tertanggung atau pengambil asuransi. Pemenuhan kewajiban tersebut tidak
segera diberikan secara otomatis, melainkan harus memenuhi asas dan syarat
tertentu.
Sesuai dengan
karakteristik yang dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah
sah diadakan dan sudah berjalan tidak selalu berakhir dengan pemenuhan yang
sempurna, belum pasti ia mendapatkan ganti rugi, apabila ia tidak secara nyata
memang menderita kerugian. Tidak berarti penanggung tidak bertanggungjawab.
Dalam perjanjian asuransi diperjanjian, apabila tertanggung menderita kerugian
secara riil, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi proteksi
yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi apabila syarat-syarat di bawah
ini dipenuhi :
Jumlah
yang diasuransikan harus banyak dan cukup homogen agar kalkulasi logikanya
dapat mendekati frekuensi kemungkinan dan kesulitan-kesulitan kerugian.
Obyek
asuransi diperkirakan tidak mengalami kerusakan secara serempak
kemungkinan
kerugian harus bersifat aksidental saja, di luar kesadaran dari orang yang
mengasuransikan dirinya.
harus
ada cara untuk menentukan apakah kerugian itu benar-benar terjadi dan besarnya
kerugian tersebut.[4]
[1]
Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastagin,
(Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 82.
[2]
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. III (Jakarta:
Sinar Grafika, 1997), hlm. 108
[3]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. II (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), hlm. 27-28
[4]
Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi hlm. 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar