Minggu, 01 Juni 2014

Pemikiran Afzalur Rahman tentang Kontrak Asuransi



  1. Pengertian Kontrak Asuransi
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian oleh karena itu perjanjian sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian dasar dari perjanjian.
Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut :
1.   Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
2.   Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang saatu (yang berpiutang atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain (yang berhubungan atau debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggunga jawab atas suatu prestasi.[1]


  1. Syarat-Syarat Perjanjian Asuransi
Perjanjian asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mempunyai syarat yang khusus dan unik sehingga perjanjian ini mempunyai karakteristik tertentu yang sangat khas dibandingkan dengan perjanjian lain. secara umum perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum perjanjian, di samping memenuhi asas atau prinsip tertentu yang mewujudkan sifat atau ciri khusus dari perjanjian itu sendiri[2].
Menurut hukum Islam syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam akad, ialah :
1.      Ahliyatu al- ‘Aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
2.      Qabiliyatu al-Mahalli al-'Aqdi Li Hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya)
3.      Al-Wilyatus Syar’iyah fi Maudlu’i (akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri)
4.      La Yakun al-‘Aqdu au Maudlu’uhu Mamnu’am bi an-Nassin Syar’iyin (janganlah akad itu akad yang dilarang syara’)
5.      Kaunu al- ‘Aqdi Mufidan (akad itu memberi faedah)
6.      Baqau al-Ijabi Salihan Ila Mauqu’i al-Qabul (Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul). Maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya sebelum qabul batallah ijab.
7.      Ittihadu Majlisi al-‘Aqdi (bersatunya majlis akad), karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain, belum ada qabul. Syarat yang ketujuh ini disyaratkan oleh mazhab asy-Syafi’i, tidak terdapat dalam mazhab-mazhab yang lain[3].
Beberapa syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian. Artinya setiap perjanjian harus memenuhi syarat di atas bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Jika ada salah satu syarat tersebut dihilangkan maka secara otomatis perjanjian yang dibuat tidak sah menurut hukum.
Pelaksanaan perjanjian asuransi, ditandai dengan pemenuhan kewajiban penanggung untuk memberikan ganti kerugian kepada tertanggung atau pengambil asuransi. Pemenuhan kewajiban tersebut tidak segera diberikan secara otomatis, melainkan harus memenuhi asas dan syarat tertentu.
Sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah sah diadakan dan sudah berjalan tidak selalu berakhir dengan pemenuhan yang sempurna, belum pasti ia mendapatkan ganti rugi, apabila ia tidak secara nyata memang menderita kerugian. Tidak berarti penanggung tidak bertanggungjawab. Dalam perjanjian asuransi diperjanjian, apabila tertanggung menderita kerugian secara riil, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi proteksi yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi apabila syarat-syarat di bawah ini dipenuhi :
Jumlah yang diasuransikan harus banyak dan cukup homogen agar kalkulasi logikanya dapat mendekati frekuensi kemungkinan dan kesulitan-kesulitan kerugian.
Obyek asuransi diperkirakan tidak mengalami kerusakan secara serempak
kemungkinan kerugian harus bersifat aksidental saja, di luar kesadaran dari orang yang mengasuransikan dirinya.
harus ada cara untuk menentukan apakah kerugian itu benar-benar terjadi dan besarnya kerugian tersebut.[4]


[1] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi Islam, alih bahasa Soeroyo dan Nastagin, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), IV: 82.
[2] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. III (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 108

[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 27-28

[4] Afzalur Rahman, Doktin Ekonomi hlm. 91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar