Jumat, 06 Juni 2014

Pemikiran Montesquieu Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara




Negara-negara yang lahir dan berkembang pada zaman purba seperti Babylonia, Assiria, Mesopotamia dan Mesir Kuno pada umumnya memiliki penguasa yang kekuasaannya bersifat absolut, mutlak dan tidak terbatas. Mereka adalah penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam segala bidang, baik perundang-undangan, pemerintahan maupun kehakiman. Untuk mempertahankan sifat kekuasaannya tersebut, antara lain dengan cara melarang orang mengadakan pemikiran dan mengeluarkan pendapat mengenai masalah kenegaraan. Itulah sebabnya bahwa pada zaman purba tersebut ilmu kenegaraan yang menyangkut sumber dan pembatasan kekuasaan belum lahir dan berkembang. Ilmu-ilmu kenegaraan dalam sejarah perkembangan pemikirannya mulai muncul ke permukaan pada sekitar abad ke-5 SM di Athena, Yunani Kuno dengan prinsip demokrasinya. Perkembangan ini muncul akibat kebebasan yang diberikan pada setiap warga untuk berfikir dan berpendapat tentang masalah kenegaraan. Meskipun demokrasi pada masa itu sudah dikenal, namun lahirnya kembali sistem demokrasi pada abad ke-19 seakan-akan merupakan sesuatu yang baru. Ini dikarenakan sejak memasuki zaman Imperium Romawi, zaman abad pertengahan, zaman Renaissance hingga abad ke-18 Masehi, sistem demokrasi ditumbangkan oleh sistem otoriter yang absolut, mutlak dan tidak terbatas. Praktek ketatanegaraan yang absolut inilah yang kemudian dihadapi oleh John Locke di penghujung abad ke-17, Montesquieu, Jean Jacques Rousseau dan Immanuel Kant di abad ke-18. Pemikiran-pemikiran ini kemudian diikuti oleh perkembangan politik yang cukup drastis pada penghujung abad ke-18 di beberapa negara barat. Declaration of Independence dan  Bill of Rights di Amerika pada tahun 1776 dan 1778, Declaration des droits de l`homme et du citoyen di Perancis pada tahun 1789, The Parlementary Reform Bill diikuti peralihan system dari oligarki ke demokrasi pada abad ke-19 dan 20 di Inggris.[1]
Dengan adanya gebrakan pemikiran dari beberapa tokoh tersebut – tanpa adanya jaminan kebebasan berpikir dari pemerintah seperti pada masa Yunani Kuno – akhirnya wacana tentang sumber dan pembatasan kekuasaanpun ikut mencuat ke permukaan dengan munculnya teori pemisahan lembaga kekuasaan oleh Locke dan Montesquieu, kedaulatan rakyat oleh Rousseau dan Negara Hukum oleh Immanuel Kant. Munculnya sistem pemerintahan presidensil, parlementer dan referendum yang dianut oleh negara-negara di Eropa, merupakan hasil penafsiran dari teori pemisahan kekuasaan Montesquieu yang membagi kekuasaan tersebut ke dalam tiga lembaga yang terpisah satu sama lain.
Prinsip pemisahan lembaga kekuasaan ini, oleh Montesquieu diawali dengan wacana tentang makna kebebasan. Menurut Montesquieu – sebagaimana yang ia tulis dalam buku kesebelas dari L`Esprit des Lois-nya – kata-kata liberty (kebebasan) memiliki variasi makna yang tak terhingga. Sebagian orang mengunakan istilah itu untuk menggulingkan penguasa tirani. Sebagian lagi menggunakannya sebagai kekuasaan untuk memilih pemimpin yang harus mereka taati. Ada juga yang menyamakannya dengan hak untuk membawa senjata dan menggunakan kekerasan. Yang lain mengartikan kebebasan sebagai hak istimewa untuk diperintah oleh pemimpin pribumi dari daerah mereka sendiri, atau oleh hukum-hukum mereka sendiri. Beberapa orang mengkaitkan kebebasan dengan bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki; mereka yang memiliki selera republik mengkaitkan kebebasan pada sistem ini, mereka yang menyukai monarki menerapkannya pada sistem monarki. Jadi mereka semua telah menerapkan istilah kebebasan pada pemerintahan yang paling cocok dengan kebiasaan dan kecenderungan mereka. Oleh karena rakyat dalam sistem republik tidak memiliki pandangan yang pasti dan gamblang mengenai sebab-sebab penderitaan mereka dan juga karena para hakim sepertinya bertindak sesuai hukum, maka secara umum kebebasan dapat dikatakan berada pada sistem republik, bukan pada sistem monarki. Jadi karena dalam sistem demokrasi rakyat kelihatannya dapat berbuat sesuka mereka, maka jenis pemerintahan ini dianggap paling bebas dan kebebasan itu langsung dikaitkan dengan kekuasaan rakyat. Meskipun benar bahwa dalam demokrasi rakyat sepertinya dapat bertindak sesuka mereka, namun kebebasan politik tidaklah berarti kebebasan tanpa batas. Dalam suatu pemerintahan dan komunitas masyarakat yang diatur oleh hukum, kebebasan hanyalah merupakan kekuasaan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya kita lakukan dan bukanlah merupakan desakan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kita lakukan. Dengan kata lain, kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang dibolehkan hukum. Dan jika seorang warga boleh melakukan sesuatu yang dilarang hukum maka sebenarnya ia tidak dapat merasakan kebebasan lebih lama lagi karena semua warga lain dalam negara itu akan mempunyai kekuasaan yang


[1] Soehino, Hukum Tata Negara, hlm. 37,38,41; Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar, hlm. 98; Khoiruddin Nasution, “Islam dan Demokrasi,” Jurnal Ilmu Syari`ah Asy-Syir`ah, Vol.36,No.I (2002), hlm. 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar