Negara-negara yang lahir dan berkembang pada zaman purba
seperti Babylonia, Assiria, Mesopotamia dan Mesir Kuno pada umumnya memiliki
penguasa yang kekuasaannya bersifat absolut, mutlak dan tidak terbatas. Mereka
adalah penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam segala bidang,
baik perundang-undangan, pemerintahan maupun kehakiman. Untuk mempertahankan
sifat kekuasaannya tersebut, antara lain dengan cara melarang orang mengadakan
pemikiran dan mengeluarkan pendapat mengenai masalah kenegaraan. Itulah
sebabnya bahwa pada zaman purba tersebut ilmu kenegaraan yang menyangkut sumber
dan pembatasan kekuasaan belum lahir dan berkembang. Ilmu-ilmu kenegaraan dalam
sejarah perkembangan pemikirannya mulai muncul ke permukaan pada sekitar abad
ke-5 SM di Athena, Yunani Kuno dengan prinsip demokrasinya. Perkembangan ini
muncul akibat kebebasan yang diberikan pada setiap warga untuk berfikir dan
berpendapat tentang masalah kenegaraan. Meskipun demokrasi pada masa itu sudah
dikenal, namun lahirnya kembali sistem demokrasi pada abad ke-19 seakan-akan
merupakan sesuatu yang baru. Ini dikarenakan sejak memasuki zaman Imperium
Romawi, zaman abad pertengahan, zaman Renaissance hingga abad ke-18 Masehi,
sistem demokrasi ditumbangkan oleh sistem otoriter yang absolut, mutlak dan
tidak terbatas. Praktek ketatanegaraan yang absolut inilah yang kemudian
dihadapi oleh John Locke di penghujung abad ke-17, Montesquieu, Jean Jacques
Rousseau dan Immanuel Kant di abad ke-18. Pemikiran-pemikiran ini kemudian
diikuti oleh perkembangan politik yang cukup drastis pada penghujung abad ke-18
di beberapa negara barat. Declaration of Independence dan Bill of Rights di Amerika pada tahun 1776
dan 1778, Declaration des droits de l`homme et du citoyen di Perancis
pada tahun 1789, The Parlementary Reform Bill diikuti peralihan system
dari oligarki ke demokrasi pada abad ke-19 dan 20 di Inggris.[1]
Dengan adanya gebrakan pemikiran dari beberapa tokoh
tersebut – tanpa adanya jaminan kebebasan berpikir dari pemerintah seperti pada
masa Yunani Kuno – akhirnya wacana tentang sumber dan pembatasan kekuasaanpun
ikut mencuat ke permukaan dengan munculnya teori pemisahan lembaga kekuasaan
oleh Locke dan Montesquieu, kedaulatan rakyat oleh Rousseau dan Negara Hukum
oleh Immanuel Kant. Munculnya sistem pemerintahan presidensil, parlementer dan
referendum yang dianut oleh negara-negara di Eropa, merupakan hasil penafsiran
dari teori pemisahan kekuasaan Montesquieu yang membagi kekuasaan tersebut ke
dalam tiga lembaga yang terpisah satu sama lain.
Prinsip pemisahan lembaga kekuasaan ini, oleh Montesquieu
diawali dengan wacana tentang makna kebebasan. Menurut Montesquieu –
sebagaimana yang ia tulis dalam buku kesebelas dari L`Esprit des Lois-nya
– kata-kata liberty (kebebasan) memiliki variasi makna yang tak
terhingga. Sebagian orang mengunakan istilah itu untuk menggulingkan penguasa
tirani. Sebagian lagi menggunakannya sebagai kekuasaan untuk memilih pemimpin
yang harus mereka taati. Ada
juga yang menyamakannya dengan hak untuk membawa senjata dan menggunakan
kekerasan. Yang lain mengartikan kebebasan sebagai hak istimewa untuk
diperintah oleh pemimpin pribumi dari daerah mereka sendiri, atau oleh
hukum-hukum mereka sendiri. Beberapa orang mengkaitkan kebebasan dengan bentuk
pemerintahan yang mereka kehendaki; mereka yang memiliki selera republik
mengkaitkan kebebasan pada sistem ini, mereka yang menyukai monarki
menerapkannya pada sistem monarki. Jadi mereka semua telah menerapkan istilah
kebebasan pada pemerintahan yang paling cocok dengan kebiasaan dan
kecenderungan mereka. Oleh karena rakyat dalam sistem republik tidak memiliki
pandangan yang pasti dan gamblang mengenai sebab-sebab penderitaan mereka dan
juga karena para hakim sepertinya bertindak sesuai hukum, maka secara umum
kebebasan dapat dikatakan berada pada sistem republik, bukan pada sistem monarki.
Jadi karena dalam sistem demokrasi rakyat kelihatannya dapat berbuat sesuka
mereka, maka jenis pemerintahan ini dianggap paling bebas dan kebebasan itu
langsung dikaitkan dengan kekuasaan rakyat. Meskipun benar bahwa dalam
demokrasi rakyat sepertinya dapat bertindak sesuka mereka, namun kebebasan
politik tidaklah berarti kebebasan tanpa batas. Dalam suatu pemerintahan dan
komunitas masyarakat yang diatur oleh hukum, kebebasan hanyalah merupakan
kekuasaan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya kita lakukan dan bukanlah
merupakan desakan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kita lakukan.
Dengan kata lain, kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang
dibolehkan hukum. Dan jika seorang warga boleh melakukan sesuatu yang dilarang
hukum maka sebenarnya ia tidak dapat merasakan kebebasan lebih lama lagi karena
semua warga lain dalam negara itu akan mempunyai kekuasaan yang
[1] Soehino,
Hukum Tata Negara, hlm. 37,38,41; Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar,
hlm. 98; Khoiruddin Nasution, “Islam dan Demokrasi,” Jurnal Ilmu Syari`ah
Asy-Syir`ah, Vol.36,No.I (2002), hlm. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar