Landasan Etika
Profesi Dalam Islam
Persoalan
etika dalam Islam sudah banyak dibicarakan dan termuat dalam al-Qur'an dan
al-Hadis. Etika Islam adalah merupakan sistem akhlak yang berdasarkan
kepercayaan kepada tuhan, dan sudah tentu berdasarkan kepada agama, dengan
demikian al-Qur'an dan al-Hadis adalah merupakan sumber utama yang dijadikan
landasan dalam menentukan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi
manusia, ada yang menerangkan tentang baik dan buruk, boleh dan dilarang, maka
etika profesi hakim di sini merupakan bagian dari perbuatan yang menjadi fokus
bahasan.
Namun al-Qur'an yang menerangkan tentang kehidupan
moral, keagamaan dan sosial muslim tidak menjelaskan teori-teori etika dalam
arti yang khusus sekalipun menjelaskan konsep etika Islam, tetapi hanya
membentuk dasar etika Islam, bukan teori-teori etika dalam bentuk baku.[1]
Tetapi masalah yang paling utama adalah bagaimana mengeluarkan ethik Islam yang
bersumber dari al-Qur'an yang melibatkan seluruh moral, keagamaan, dan sosial
masyarakat muslim guna menjawab semua permasalahan yang timbul baik dari dalam
maupun dari luar.
Dengan
demikian perlu dari kedua sumber tersebut yang pada umumnya memiliki sifat yang
umum, karena itu perlu dilakukan upaya-upaya dan kualifikasi agar dipahami
sehingga perlu melalui penjelasan dan penafsiran. Permasalahan kehidupan
manusia yang semakin kompleks dengan dinamika masyarakat yang semakin
berkembang. Maka akan dijumpai berbagai macam persoalan – persoalan terutama
masalah moralitas masyarakat muslim, pada masa Nabi Muhammad yang terbentuk setelah turunnya wahyu al-Qur'an,
sehingga masih bisa dikembalikan kepada
sumber al-Qur'an dan penjelasan dari Nabi sendiri. Seiring dengan
perkembangan masyarakat dan keagamaan ketika itu yang dihadapkan dengan masalah
budaya, adat dan pola pikir masyarakat yang berkembang saat itu, maka keadaan
moralitas menjadi sangat penting dan komplek.
Al-Qur'an
sendiri menjelaskan tentang etika dengan berdasarkan tiga terma kunci, utama
yang merupakan pandangan dunia al-Qur'an. Ketiga terma kunci tersebut adalah iman,
Islam, dan taqwa yang jika direnungkan akan memperlihatkan arti
yang identik. Istilah iman berasal dari akar kata (ا مّن) yang
artinya ”keamanan”, “bebas dari bahaya, “damai”, Islam yang akar katanya
(سلم )yang artinya “aman dan
integral”, “terlindungi dari disintegrasi dan kehancuran”. Dan taqwa yang
sangat mendasar bagi al-Qur'an disamping kedua istilah di atas, yang memiliki
akar kata (وقي)
juga berarti “melindungi dari bahaya”, “menjaga kemusnahan, kesia-siaan, atau
disintegrasi”.[2] Sehingga pembahasan etika yang terdapat dalam
al-Qur'an mengandung cakrawala yang luas karena menyagkut nilai-nilai yang
terkandung dalam kehidupan manusia baik secara individu, masyarakat dan Negara
secara umum demi mencapai kebahagian baik di dunia dan di akhirat.
Menurut
Madjid Fakhri, sistem etika Islam dapat dikelompokkan menjadi empat tipe.
Pertama, moral skripturalis. Kedua, etika teleologis. Ketiga, teori-teori etika
filsafat. Keempat, etika religius.[3]
Dari keempat tipologi etika Islam tersebut, etika religius akan menjadi pilihan
sebagai landasan teori yaitu nilai-nilai etika yang didasarkan pada konsep
al-Qur'an tentang nilai-nilai etika hukum dalam Islam. Dengan demikian penyusun
hanya akan menjelaskan salah satu macam etika yaitu etika religius yang menjadi
landasan.
Etika
religius adalah etika yang dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur'an
tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi, dan cenderung melepaskan dari
kepelikan dialektika dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit
moralitas Islam secara utuh.[4]
Bahan-bahan etika religius adalah pandangan-pandangan dunia al-Qur'an,
konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal
sufisme. Karena itu sistem etika religius muncul dalam berbagai bentuk yang
kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang paling Islami. Diantara
eksponennya adalah Hasan al-Basri, al-Mawardi, al-Raghib al-Isfahani,
al-Ghazali, dan Fakhruddin ar-Razi. al-Ghazali yang sistem etikanya mencakup
moralitas filosofis, teologis, dan sufi, adalah contoh yang paling
representatif dari etika religius.[5]
Sementara
kajian epistemologi terhadap nilai-nilai suatu perbuatan, oleh F. Huorani
dikelompokkan menjadi empat aliran,
yaitu: Pertama, Obyektifisme; “right” memiliki arti yang obyektif, yaitu
suatu perbuatan itu disebut benar apabila terdapat kualitas benar pada
perbuatan itu. Aliran ini biasanya dimiliki oleh aliran mu’tazilah dan filsuf
muslim. Kedua, Subyektivism; “right” tidak memiliki arti yang obyektif,
tetapi sesuai dengan kehendak dan perintah dan ketetapan Allah swt. Tipe ini
disebut secara spesifik oleh George F. Huorani dengan theistic subjectivisme
atau divine subjectivisme. Terma ini disepadankan oleh George F.
Huorani dengan sebutan ethical voluntarism. Ketiga, Rationalism;
‘right” itu dapat diketahui dengan akal semata atau akal bebas. Artinya, akal
manusia dinilai mampu membuat keputusan etika yang benar berdasarkan data
pengalaman tanpa menunjuk kepada wahyu. Aliran ini dengan pendayaannya terhadap
akal disepadankan oleh George F. Huorani dengan kelompok intuitionist. Aliran
ini dibagi 2 yaitu: pertama, “right” selalu dapat diketahui oleh akal secara
bebas. Kedua, “right” dalam beberapa kasus dapat diketahui oleh akal semata,
pada kasus lain diketahui oleh wahyu, sunnah, ijma', dan qiyas, atau
dapat diketahui oleh akal dan wahyu dan seterusnya. Aliran ini secara spesifik
disebut dengan partial rationalism. Keempat,Traditionalism;
“right” tidak akan pernah dapat diketahui dengan akal semata tetapi hanya dapat
diketahui dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang merujuk kepada wahyu.
Menurut George F. Huorani, aliran ini bukan tidak sama sekali tidak
memanfaatkan kemampuan akal, tetapi kemampuan akal dipergunakan pada saat
menafsirkan al-Qur'an dan sunnah, menetapkan ijma' atau menarik qiyas.
Aliran seperti ini biasanya dianut oleh para fuqoha dan mutakallimun.[6]
[2] Fazlur
Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlurrahman, Taufiq
Adnan Amal (peny.) (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 66.
[4] Ibid.,
hlm. 68.
[5] Majid
Fakhry, Etika dalam Islam., hlm. xxi – xxiii.
[6] Amril
M., "Studi Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani (w.+ 1108 M),"
disertasi IAIN Sunan Kalijaga,
(2001), hlm. 25-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar