Senin, 11 Februari 2013

Tugas, Fungsi Dan Tanggung Jawab Hakim

Tugas, Fungsi Dan Tanggung Jawab Hakim
            Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya.[1]  ia menjadi tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan. Disamping itu mempunyai kewajiban ganda, disatu pihak merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar al-hukum) terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak tertulis, dilain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro dituntut untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat.
            Dalam undang-undang disebutkan tugas pengadilan adalah : tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[2] Artinya hakim sebagai unsur pengadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[3] Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut seperti persepsi masyarakat tentang tentang keadilan, kepastian, hukum dan kemamfaatan. Hal ini menjadi tuntutan bagi hakim untuk selalu meningkatkan kualitasnya sehingga dalam memutuskan perkara benar-benar berdasarkan hukum yang ada dan keputusannya dapat dipertanggungjawabkan.
            Dalam hadis dijelaskan :
(اذا تقاضى اليك رجلان فلا تقض للآول حتى تسمع كلا م الآخر فسوف تدرى كيف تقضى) قال على : فما زلت قا ضيا بعد [4]
            Dalam menyelesaikan suatu perkara ada beberapa tahapan yang harus di lakukan oleh hakim diantaranya :[5]
                        Mengkonstatir yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu.
                        Mengkualifisir yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya.
                        Mengkonstituir yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.
            Tahapan-tahapan tersebut menjadikan hakim dituntut untuk jeli dan hati-hati untuk memberikan keputusan sekaligus menemukan hukumnya, karena pada dasarnya hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keyakinannya  sesuai dengan doktrin Curia Ius Novit[6].Karena dalam undang-undang dijelaskan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diputus, dengan alasan bahwa hukum yang ada tidak ada atau kurang jelas.[7]
            Sedangkan fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.[8] Artinya hakim mengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas.
            Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak.            
            Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk baik perkara tersebut telah di atur dalam Undang-undang maupun yang tidak terdapat ketentuannya. Disini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya hakim harus bersifat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undang untuk memeriksa dan mengadili perkara, dengan penilaian yang obyektif pula karena harus berdiri di atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh memihak salah satu pihak.



                [1]  Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung : Rosda Karya , 1997), hlm. 104.

                [2] Undang-undang Nomor  4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 Ayat (1) dan lihat  Undang-undang Nomor  7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Pasal 56 ayat (1)

                [3] Undang-undang Nomor  4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 Ayat (1)   

                [4]  Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 6 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.316.    

                [5]  H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet. ke-3, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 37.
                [6]  Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.37.

                [7]  Undang-undang Nomor 07 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 56 Ayat (1).

                [8]  Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara.,.hlm.38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar