Minggu, 24 Februari 2013

Macam-macam Bentuk Delik Penyertaan



A.    Macam-macam Bentuk Delik Penyertaan
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas maka delik penyertaan dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu:
1.      Yang Melakukam Perbuatan (Dader, Plegen)
Pengertian yang melakukan perbuatan (pleger) adalah: orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud.[1] Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.[2]
Menurut pasal 55, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu, jika dilihat dari segi perbuatan maka mereka berdiri sendiri dan perbuatan mereka hanya memenuhi sebagian dari syarat-syarat tindak pidana. Menurut Adami Chazawi, terdapat perbedaan antara Pleger dengan Pembuat Tunggal (Dader), perbedaan itu adalah seorang Pleger masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal satu orang, baik secara psikis atau secara fisik. Jadi, seorang pleger memerlukan sumbangan perbuatan peserta lain untuk mewujudkan tindak pidana. Akan tetapi perbuatan tersebut haruslah sempurna sehingga perbuatan itu tidak hanya untuk menentukan terwujudnya tindak pidana yang dituju tersebut.[3]        
2.      Yang Menyuruh Melakukan (Doenplegen, Medelijke Dader)
Menurut Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.[4]
Wujud dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal 55 ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam undang-undang tidak menerangkan secara tegas mengenai apa yang dimaksud dengan yang menyuruh melakukan, akan tetapi banyak ahli hukum mengambil pengertian dan syarat orang yang menuruh melakukan yang merujuk pada ketetapan MvT WvS Belanda yang menyatakan:
“Yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantara orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan”.[5]                                      
Dari keterangan MvT tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jelas orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana dikarenakan adanya unsur-unsur yang menunjukkan adanya daya paksa terhadap orang yang disuruh. Menurut Hazewinkel-Suringa dan beberapa penulis terkemuka seperti Simons, Van Hamel dan Trapman, bahwa yang menyuruh melakukan dapat dipersalahkan menyuruh melakukan suatu tindak pidana apabila padanya terdapat semua unsur dari tindak pidana.[6]
3.      Yang Turut Serta Melakukan (Medeplegen, Mede Dader)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (mede plegen), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah ”setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakuakn suatu tindak pidana”. Keterangan ini belum menberikan penjelasan yang tuntas, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan.[7] Begitu halnya menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam KUHP sendiri tidak ada penegasan secara jelas mengenai maksud dari turut serta melakukan (mede plegen).  
Adapun Martiman Prodjohamidjoyo memberikan pengertian yang dimaksud dengan yang turut serta melakukan (mede plegen) adalah apabila beberapa orang pelaku perserta bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.[8]
Perbedaan pendapat mengenai maksud yang turut serta melakukan terdiri dua golongan; pandangan pertama yang bersifat subjektif dengan menitik beratkan pada maksud dan tabiat dari para turut serta pelaku (mede dader). Sedangkan pendapat yang kedua merupakan pendapat yang bersifat objektif yang lebih melihat pada wujud dari perbuatan dari para turut serta pelaku, wujud tersebut harus sama sengan rumusan tindak pidana dalam undang-undang (delicts omschrijving). Masing-masing pendapat ini memiliki pandangan yang berbeda dalam menafsirkan maksud dari turut serta melakukan.
Turut serta pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) yang berarti bahwa masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama memenuhi rumusan tindak pidana, ini merupakan pandangan yang bersifat sempit yang dianut oleh Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak pidana dan pandangan ini condong pada pandangan yang bersifat obyektif. Adapun pandangan yang bersifat luas tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana asalkan adanya unsur kesengajaan yang sama dengan kesengajaaan pembuat pelaksana. Pandangan ini condang pada pandangan yang bersifat subjektif.[9] 
4.      Yang Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker)
Orang yang membujuk melakukan perbuatan merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan suatu tindak pidana. Orang ini menempati posisi yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Karena dia memiliki peran akan dilaksanakan atau tidaknya suatu tindak pidana selain orang yang melakukan dan orang yang menyuruh melakukan tindak pidana.
Yang dimaksud dengan yang membujuk melakukan tindak pidana atau disebut pembujuk adalah setiap perbuatan yang menggerakkan yang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.[10] Orang yang sengaja membujuk melakukan tindak pidana disebut juga auctor intellectualis, seperti pada orang yang menyuruh melakukan tindak pidana tidak mewujudkan tindak pidana secara meteriel tetapi melalui orang lain.[11]
 Menurut pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP dirumuskan bahwa penganjur atau pembujuk adalah orang yang dengan pemberian, upah, perjanjian, penyalah gunaan kekuasaan, paksaan ancaman dan tipu daya atau karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan dengan sengaja menganjurkan orang lain melakukan perbuatan.[12]  Dari rumusan pasal 55 tersebuat diatas dapat dirimuskan bahwa adanya daya upaya untuk terjadinya penganjuran dalam melakukan perbuatan tindak pidana, daya upaya tersebut menurut Moeljatno adalah:
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu.
2. Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat.
3. Dengan kekuasaan.
4. Memakai ancaman atau penyertaan.
5. Memberi kesempatan, sarana dan keterangan.


                [1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana., hlm. 82
               
                [2] Ibid., hlm 83
               
                [3] Ibid.
                [4] Martiman Projohamidjoyo, Asas-asas Hukum Pidana., hlm. 53

                [5] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana., hlm. 85
                [6] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana., hlm. 112.

                [7] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana., hlm. 96.

                [8] Martiman Prodjohamidjoyo, Asas-asas Hukum Pidana., hlm. 55.
                [9]  Adami Chazawi, Pelajaran Hukm Pidana., hlm. 96-97.
                [10]Martiman Prodjohamidjojo, Asas-asas., hlm. 57.

                [11]Moeljatno, Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan, (Jakarta: Bina Aksara,1983). hlm. 52.

                [12]Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar., hlm. 152.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar