Senin, 04 Februari 2013

NIKAH BEDA AGAMA


Perkawinan Beda Agama di dalam Kompilasi Hukum Islam
Pada hakikatnya, sebagian hukum materiil dalam wilayah atau lingkungan peradilan agama di Indonesia sudah dikodifikasi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang mengandung hukum materiil di bidang perkawinan. Akan tetapi, hal-hal yang ada di dalamnya baru merupakan pokok-pokoknya saja, dan belum secara menyeluruh terjabarkan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang diatur dalam Islam. Akibatnya, para hakim yang memutus suatu perkara itu akhirnya merujuk kepada kitab fikih yang sesuai dengan mazhabnya, yang otomatis pemahaman terhadap kitab-kitab fikih itu berbeda-beda antara hakim-hakim tersebut. Sebagai akibatnya, akan menghasilkan keputusan yang berbeda mengenai satu perkara. Tetapi dengan adanya KHI, pendapat-pendapat dalam kitab-kitab fikih yang dirujuk oleh para hakim itu diunifikasi dan dikodifikasi, sehingga dalam mengambil suatu keputusan, para hakim akan merujuk pada KHI. Ini akan mengakibatkan adanya kepastian hukum yang seragam tanpa mengurangi kemungkinan terjadinya putusan-putusan yang bercorak variabel.[1] Pegangan dan rujukan hukum yang mesti mereka pedomani sama di seluruh Indonesia yakni KHI sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.
Kompilasi Hukum Islam –yang selanjutnya disebut KHI saja- terdiri dari tiga buku, yaitu buku I tentang hukum perkawinan, buku II tentang hukum kewarisan dan buku III tentang hukum perwakafan. Adapun mengenai perkawinan beda agama, diatur dalam buku I hukum perkawinan pada pasal 40 huruf (c) dan pasal 44 KHI. Kedua pasal itu menyatakan:
Pasal 40 huruf (c): Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, huruf (c); seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 44: Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Dari kedua pasal ini, nyatalah KHI melarang perkawinan beda agama baik itu perkawinan antara pria muslim dengan wanita non-muslim maupun sebaliknya.
Secara umum, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI di bidang perkawinan pada dasarnya merupakan penegasan ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi, penegasan ulang itu dibarengi dengan penjabaran dan penambahan lanjut atas ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Maksud penjabaran dan penambahan lanjut tersebut bertujuan akan membawa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bersifat dan bernilai syari'at Islam. Tidak sebagaimana KHI yang hanya diperuntukan oleh umat Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang beragama Islam maupun tidak. Oleh karenanya, KHI sebagai peraturan yang mengatur hukum perdata bagi umat Islam, sedikit banyak merevisi, dengan tidak meninggalkan seluruh peraturan-peraturan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tetap dijadikan acuan. Dengan penjelasan lain, ketentuan pokok yang bersifat umum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan hukum Islam yang akan diberlakukan khusus bagi mereka yang beragama Islam.
Berkaitan dengan perkawinan beda agama, perlu juga disini diterangkan bagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang perkawinan beda agama, untuk menunjukkan adanya hubungan keterkaitan antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan KHI, yaitu berupa penegasan KHI tentang hukum perkawinan beda agama terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pada hakikatnya, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama melalui pasal-pasalnya. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Ketentuan pasal ini lebih menitikberatkan sahnya suatu perkawinan pada agama dan kepercayaannya masing-masing.
Kemudian dalam penjelasan pasal ini dikemukakan bahwa; tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Penegasan yang dilakukan KHI terhadap pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dibaca pada kedua pasal KHI yang melarang perkawinan beda agama yang sudah disebutkan di atas. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang secara tegas melalui pasalnya tentang perkawinan beda agama, ditambah lagi tidak ada satu pun pasal dalam undang-undang itu yang secara tegas melarang perkawinan beda agama. Undang-undang itu hanya menyebutkan bagaimana suatu perkawinan itu disebut sah atau tidak menurut undang-undang. Sedangkan KHI secara tegas melalui pasal-pasalnya melarang bentuk apa pun dari perkawinan beda agama sehingga tidak adanya penafsiran ganda dan adanya kepastian hukum yang jelas.
Dari sini terlihat, KHI secara tegas melarang perkawinan beda agama dalam bentuk apapun, sehingga tertutup kemungkinan bagi seorang beragama Islam baik pria maupun wanita untuk melakukan perkawinan beda agama, walaupun ada ayat al-Qur'an yang membolehkan salah satu bentuk perkawinan agama.
KHI disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dan disebarluaskan melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694/EV/HK.003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991.[2] Terlepas dari kedudukan instruksi presiden (inpres) dalam tata hukum perundangan di Indonesia yang masih menjadi polemik,[3] KHI telah dirumuskan dengan sungguh-sungguh, karena KHI boleh dikatakan sebagai konsensus (ijma>') para ulama Indonesia. KHI dibangun dengan tidak memihak kepada mazhab tertentu, tetapi dibangun sesuai dengan kesepakatan para ulama, intelektual dan tokoh masyarakat ditambah dengan membedah khazanah keilmuan Islam klasik, yang lebih dikenal dengan kitab kuning, dengan nuansa Indonesia. KHI benar-benar sangat dibutuhkan untuk ketertiban masyarakat Islam masa kini dan masa yang akan datang. Kandungan isinya pun secara sungguh-sunguh telah diupayakan agar benar-benar sesuai dengan keinginan dan kesadaran masyarakat pemakainya. Bahan, ukuran, warna dan jahitannya telah diusahakan persis sesuai dengan kesadaran yang hidup secara aktual di tengah-tengah dinamika tuntunan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi.[4]


[1] M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 32.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 26.
[3] Sebagai suatu instrumen hukum, Inpres tidak termasuk kedalam salah satu tata aturan perundang-undangan yang ditetapkan MPRS No. XX/MPRS/1966. Akan tetapi, presiden sebagai Kepala Pemerintahan berhak dan berwenang mengeluarkan Inpres kepada para pembantunya sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Permasalahannya adalah apakah inpres mengikat kepada seluruh umat Islam Indonesia atau tidak?. Para ahli hukum berbeda pendapat mengenai posisi inpres dalam tata hukum di Indonesia. Pendapat ekstrim mengatakan bahwa inpres tidak termasuk sebagai hukum positif tertulis, sebalikya, ada yang berpendapat tergolong hukum positif tertulis. Pendapat terakhir ini beralasan bahwa perundang-undangan yang ditetapkan dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 memang merupakan dasar hukum yang mempunyai kekuatan hukum positif secara tertulis. Keberadaannya dapat memaksa dan mengikat pada setiap warga negara. Sedangkan Inpres adalah instrumen hukum yang absah dilakukan presiden dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada pihak yang diperintah. Oleh karena inpres juga mengikat dan memaksa kepada pihak yang diperintah, dalam hal ini instansi pemerintah, yaitu pegawai departemen agama dan para hakim di pengadilan agama, dan juga masyarakat yang memerlukan, untuk dipedomani dan disebarluaskan, maka KHI sebagai ijma' ulama dari berbagai mazhab harus dipedomani dalam menyelasaikan perkara-perkara perdata umat Islam. Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 174-175. Pendapat yang lebih lentur dikemukakan oleh M.Yahya Harahap, ia mengemukakan bahwa tidak penting apakah kedudukan Inpres yang melahirkan KHI itu termasuk dalam tata perundang-undangan negara atau tidak. Ia mengatakan bahwa bagi mereka yang kaku dan formalistik, wujud kelahiran KHI dianggap kurang memenuhi syarat perundang-undangan. Akan tetapi, bagi mereka yang melihatnya dari sudut sosiologis, berpandangan bahwa hukum adalah pakaian masyarakat yang harus sesuai ukuran dan jahitannya dengan kebutuhan masyarakat. Tidak mesti suatu perangkat hukum harus dicipta secara kaku menurut hukum tata negara dalam bentuk undang-undang yang bernilai sebagai hukum positif dan objektif. Tetapi, suatu perangkat hukum yang dirumuskan dalam bentuk lain, asal nilai-nilainya benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan, mempunyai validitas dan otoritas sebagai hukum untuk mengayomi ketertiban hidup masyarakat. Lihat  M. Yahya Harahap, dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam, hlm. 37-38.
[4] Ibid.,hlm. 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar