Lembaga eksekutif
Menurut al-Maududi, lembaga eksekutif dalam Islam
dinyatakan dengan istilah ul al-amr dan dikepalai oleh seorang Amir
atau Khalifah.39 Berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah, umat
Islam diperintahkan untuk mentaatinya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini
mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran.40
Al-Maududi mendasarkannya pada firman Allah swt dalam al-Qur`an:41
...ولاتطع من
أغفلناقلبه عن ذكرناواتّبع هواه وكان أمره فرطا
Juga firman-Nya dalam surat asy-Syu`arā:42
ولاتطيعواأمرالمسرفين الّذين يفسدون فىالأرض ولايصلحون
Dan beberapa Hadis seperti:
لاطاعة في معصية الله إنّماالطّاعة فىالمعروف43
Dengan mengutip sebagian pidato Abu Bakar sesaat
setelah dibai`at sebagai Kha-lifah dari riwayat Hussain Haykal, al-Maududi
menyatakannya sebagai isi sumpah umum yang harus diucapkan oleh seorang Kepala
Negara Islam.44
Dalam suatu negara Islam, pemilihan Kepala Negara
harus dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum muslimin tanpa adnya
pemaksaan, ancaman atau kekerasan;45 dan tidak ada satu klan atau satu kelompok
pun yang memonopoli jabatan ini. Tentang mekanisme lebih rinci mengenai
pemilihan ini haruslah disesuaikan dengan tempat dan kondisi suatu negara
karena metode-metode ini dirancang hanya untuk menentukan siapa yang paling
dipercaya oleh umat dari suatu bangsa.46
Dalam kaitannya dengan hadis mengenai khalifah harus
dari suku Qura-isy,47 al-Maududi menjelaskan bahwa hal ini
bukanlah berarti hak kekhalifahan hanya untuk satu suku saja yakni Quraisy,
tapi sebabnya adalah kondisi masa itu yang mengharuskan diisinya jabatan
khalifah hanya oleh seorang dari suku Qura-isy sebagai suku yang memiliki
sifat-sifat khusus dalam mencegah timbulnya per-selisihan. Rasulullah saw
sendiri ketika menasehati agar jabatan khalifah berada di tangan suku Quraisy
juga menjelaskan bahwa jabatan ini tetap berada dikalangan mereka selama masih
ada sifat-sifat khusus pada diri mereka. Maka secara otomatis jabatan khalifah
ini akan berada di luar lingkungan Quraisy apabila telah tiada lagi sifat-sifat
tersebut.48 Uraian ini dan uraian serupa al-Maududi
dalam bukunya yang lain telah memaparkan dengan jelas bagaimana sikap
al-Maududi dalam kaitannya dengan hadis kekhalifahan suku Quraisy tersebut.49
39 Ibid., hlm. 223. Menurut
penulis, istilah ul al-amr tidaklah hanya terbatas untuk lembaga eksekutif
saja melainkan juga untuk lembaga legislatif, yudikatif dan untuk kalangan
dalam arti yang lebih luas lagi. Namun dikarenakan praktek pemerintahan Islam
tidak menyebut istilah khusus untuk badan-badan di bawah kepala negara yang
bertugas meng-execute ketentuan perundang-undangaaan seperti Diwan al-Kharāj (Dewan Pajak), Diwan
al-Ahdasׂ(Kepolisian), wali untuk setiap
wilayah, sekretaris, pekerjaan umum, Diwan al-Jund (militer), sahib al-bait al-māl (pejabat
keuangan), dan sebagainya yang nota bene telah terstruktur dengam jelas sejak
masa kekhilafahan Umar bin Khattab; maka untuk hal ini istilah ul al-amr
mangalami penyempitan makna untuk mewakili lembaga-lembaga yang hanya berfungsi
sebagai eksekutif. Sedang untuk Kepala Negara, al-Maududi menyebutnya sebagai
Amir dan dikesempatan lain sebagai Khalifah.
40 Ibid.
41
Al-Kahfi (18): 28.
42
Asy-Syu`arā (26): 151-152.
43 Muslim, Sahˉih Muslim bi Syarh an-Nawawiy (Ttp.: Dār al-Fikr, 1983), XII: 226-227, “Kitāb al-Imārah,” “Bāb Wujūb Tā`ah al Umarā` fˉi gair Ma`siyah.”
Hadis dari Muhammad Ibn al-Musannā
dari Muhammad Ibn Ja`far dari
Syu`bah dari Zubaid dari Sa`d Ibn `Ubaidah dari Abū `abd al-Rahmān dari `Aliy Ibn Abū Tālib. Hadis ini
diriwayatkan juga oleh Bukhārˉi, Abū Dāwud, an-Nasā`i, Ahmad Ibn Hanbal, dll.
Lihat: Abū Hājar Muhammad as-Sa`ˉid Ibn Basyūnˉi Zaglūl, Mausū`ah
Atrāf al-Hadˉisׂan-Nabawiy asy-Syarˉif (Beirut:
Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.t.), VII: 256.
44 Isi sumpah itu kurang lebih berbunyi:
“Bantulah aku sepanjang aku bertindak dengan benar; tetapi jika aku menyimpang,
luruskanlah jalanku. Taatilah aku sepanjang aku taat pada Allah dan Rasul-Nya,
tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka tak seorangpun wajib
mentaatiku.” Al-Maududi, Islamic Law, hlm. 241.
45
Ibid., hlm. 235. Pernyataannya ini oleh al-Maududi didasarkan pada
praktek al-Khulafa ar-Rasyidūn
yang tidak mengangkat khalifah kecuali melalui musyawarah terbuka (pengangkatan
Abu Bakar); konsultasi Khalifah dengan para sahabat terkemuka yang merupakan
perwakilan dari kaum muslimin sebagai hasil dari seleksi alamiah seperti
dijelaskan sebelumnya yang kemudian disepakati massa (pengangkatan Umar);
pembentukan dewan yang terdiri dari enam orang sahabat yang ditugaskan memilih
Khalifah selanjutnya dari kalangan mereka dengan persetujuan kaum muslimin
(pengangkatan Usman); dan desakan dari para sahabat senior kepada Ali untuk
menduduki jabatan Khalifah yang diikuti dengan bersedianya Ali dan persetujuan
dari mayoritas muslim. Lihat: Ibid., hlm. 232-234.
46 Ibid., hlm. 235.
47 Hadis ini tersedia dalam beberapa redaksi
atau lafaz. Salah satunya seperti:
الأئمّة
من قريش. Ahmad
Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal wa bihā
misyih mutakhab kunuz al-`Ummāl fˉi sunan al-Aqwāl wa al-Af`āl (Beirut:
Dār as-Sādr,
t.t.), III: 129. Hadis dari `Abdullāh
dari ayahnya dari Muhammad Ibn
Ja`far dari Syu`bah dari `Aliy Abˉi
al-Asad dari Bakˉir Ibn Wahb al-Jaziriy dari Anas Ibn Mālik. Hadis yang semakna
diriwayatkan juga oleh Bukhārˉi, Muslim dan ad-Dārimˉi. Lihat: A. J. Wensinck, al-Mu`jam
al-Mufahras li Alfāz al-Hadˉisׂan-Nabawiy (Leiden: Brill, 1936), I:
101.
48 Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,
hlm. 322-323. Masih mengenai kaitan hadis ini dengan pernyataannya bahwa tak
ada satu kelompok pun yang memonopoli jabatan khalifah, al-Maududi juga telah
membahasnya dalam bukunya Rasa`il wa Masa`il, vol. I, hlm. 76, cet.
ke-3, Lahore.
Lihat: Al-Maududi, Islamic Law, hlm. 235 (footnote no. 2).
49 Kritik balik untuk Munawir Sjadzali dengan
pernyataannya, “...Cukup menarik bahwa al-Maududi diam tentang hadis yang
mengharuskan Kepala Negara dari suku Quraisy.” Lihat: Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, hlm. 176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar