Lembaga legislatif
Pada masa Nabi saw, ada dua jenis kelompok orang
yang menjadi anggota Majelis Syura. Yang pertama yaitu orang-orang yang
bersekutu dengan Nabi saw sejak permulaan sekali; dan yang kedua, orang-orang
yang kemudian menjadi ter-kemuka karena pengorbanan, wawasan dan kemampuan
mereka. Adalah sesuatu yang alami jika tokoh-tokoh yang lewat upayanya telah
menumbuhsuburkan Islam dan telah mendapat kepercayaan dari umat Islam dengan
seleksi alamiah ini harus diikutsertakan dalam Majelis Syura dengan
kepemimpinan Nabi saw. Orang-orang ini merupakan wakil rakyat dan anggota
Majelis Syura dengan kepercayaan kaum muslimin dengan tingkat yang sedemikian
rupa sehingga jika pemilihan dalam bentuk modern harus dilaksanakan maka
orang-orang ini jugalah yang akan terpilih. Begitu juga pada masa Khalifah yang
empat, kedua kelompok orang ini juga terpilih melalui proses seleksi alamiah
dan secara otomatis termasuk dalam Majelis Syura dengan para Khalifah sebagai
pemegang eksekutif-nya. Dan meskipun pemilihan umum harus dilaksanakan, maka
mereka jugalah yang akan terpilih dan menerima persetujuan publik.31
Inilah kelompok orang yang menjalankan fungsi
legislatif dan dikenal da-lam terminologi fiqih dengan sebutan ahl al- hall
wa al-`aqd (lembaga penengah dan pemberi ketetapan), dan kelompok ini
jugalah yang tanpa sarannya akan me-nyebabkan tidak dapat dilaksanakannya
keputusan yang berkaitan dengan semua masalah penting. Lembaga ini memegang
kedudukan yang sangat dipercaya dan diberi hak untuk mengambil
keputusan-keputusan bersama mengenai semua masalah penting yang menyangkut
umat. Lembaga ini jugalah yang bertindak sebagai ahl asy-syūrā yang
diberi hak untuk memberi saran-saran kepada Khalifah mengenai masalah-masalah
penting yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.32
Karena lembaga ini harus terdiri dari orang-orang
yang dipercaya oleh rakyat, maka, setelah mempertimbangkan kondisi dan
kebutuhan masa sekarang, kita dapat mengambil semua cara-cara yang mungkin dan
diperbolehkan untuk dapat menentukan dengan benar orang-orang yang paling besar
mendapat kepercayaan masyarakat.33
Dalam lembaga ini haruslah tidak terdapat partai
oposisi tertentu. Seluruh majelis adalah partai penguasa eksekutif sepanjang ia
tetap berada di jalur yang benar. Tetapi segera setelah ia menyimpang, seluruh
majelis secara otomatis berubah menjadi partai oposisi.34 Kita harus merombak sistem ketaatan pada
partai tertentu yang dominan, yang menjadi perantara pendapat masyarakat hingga
menjadi kriteria untuk menilai benar dan tidak benar. Ini akan memungkinkan
salah satu kelompak yang terlalu memprioritaskan kepentingan golongan atau
partai di atas kepentingan masyarakat akan menjadi berkuasa dan merajalela.35
Jika keadaan menjadi demikian, maka pembentukan partai-partai atau
golongan-golongan dalam dewan legislatif harus dilarang oleh undang-undang.
Namun ini bukan berarti negara tidak menyediakan tempat bagi timbulnya
partai-partai. Berbagai partai negara boleh saja mengambil bagian dalam
pemilihan sebagai partai-partai yang mengirimkan anggota-anggota terbaiknya
bagi dewan-dewan legislatif. Tetapi segera setelah pemilihan usai, para anggota
dewan harus sepenuhnya mentaati negara, undang-undang dasar dan harus memberi
suara serta bertindak sesuai dengan kesadaran mereka masing-masing tanpa ada
paksaan yang didasarkan pada kepentingan partai-partai tertentu yang
bertentangan dengan kepentingan umat.36 Terlepasnya anggota majelis dari pengaruh
kepentingan golongan dan keharusan mereka untuk taat pada undang-undang dasar
inilah yang dimaksud al-Maududi dengan menganut partai penguasa eksekutif
selama tidak terjadi penyelewengan oleh penguasa eksekutif itu sendiri. Di satu
sisi adanya pengawasan terhadap partai yang hanya mengutamakan kepentingan yang
menguntungkan golongan, dan di sisi lain pengawasan ketat terhadap penguasa
eksekutif dalam bentuk penolakan dari seluruh anggota majelis atas
penyelewengan eksekutif terhadap undang-undang dasar.37
Lembaga legislatif dalam suatu negara Islam memiliki
beberapa fungsi yang harus dijalankannya. Pertama, bila terdapat pedoman yang
jelas dalam al-Qur`an dan as-Sunnah maka lembaga harus menegakkannya dalam
bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi dan rincian yang
relevan, serta menetapkan peraturan-peraturan untuk mengundangkannya. Kedua,
bila pedoman-pedoman al-Qur`an dan as-Sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi
lebih dari satu, maka legislatif harus memutuskan interpretasi mana yang harus
dituangkan dalam undang-undang dasar. Untuk tujuan ini maka lembaga legislatif
haruslah beranggotakan orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan dan
kapasitas untuk menafsirkan printah-perintah al-Qur`an. Ketiga, bila tidak ada
isyarat yang jelas dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, legislatif harus menetapkan
hukumnya dengan tetap menjaga semangat hukum Islam atau dengan menganut hukum
yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqih mengenai masalah tersebut dengan
memilih salah satu diantaranya. Keempat, bila al-Qur`an dan as-Sunnah tidak
memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun, begitu juga dalam konvensi
khalifah yang empat, lembaga legislatif dapat merumuskan hukum tanpa batasan
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan semangat syari`ah, berdasar
prinsip bahwa apapun yang tidak dilarang oleh hukum maka berarti diperbolehkan.38
31
Al-Maududi, Islamic Law and Constitution, hlm. 236-238.
32 Ibid., hlm. 238-239.
33
Ibid., hlm. 240.
34
Ibid.
35 Ibid., hlm. 242.
36
Ibid., hlm. 323.
37 Kritik balik untuk Munawir Sjadzali
yang menyimpulkan maksud adanya satu partai pemerintah dalam legislatif oleh
al-Maududi hanyalah akan memperlemah majelis dalam menghadapi eksekutif. Lihat
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 177.
38
Al-Maududi, Islamic Law, hlm. 221-222.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar