Jumat, 06 Juni 2014

PENGERTIAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM ISLAM



Lembaga legislatif
Pada masa Nabi saw, ada dua jenis kelompok orang yang menjadi anggota Majelis Syura. Yang pertama yaitu orang-orang yang bersekutu dengan Nabi saw sejak permulaan sekali; dan yang kedua, orang-orang yang kemudian menjadi ter-kemuka karena pengorbanan, wawasan dan kemampuan mereka. Adalah sesuatu yang alami jika tokoh-tokoh yang lewat upayanya telah menumbuhsuburkan Islam dan telah mendapat kepercayaan dari umat Islam dengan seleksi alamiah ini harus diikutsertakan dalam Majelis Syura dengan kepemimpinan Nabi saw. Orang-orang ini merupakan wakil rakyat dan anggota Majelis Syura dengan kepercayaan kaum muslimin dengan tingkat yang sedemikian rupa sehingga jika pemilihan dalam bentuk modern harus dilaksanakan maka orang-orang ini jugalah yang akan terpilih. Begitu juga pada masa Khalifah yang empat, kedua kelompok orang ini juga terpilih melalui proses seleksi alamiah dan secara otomatis termasuk dalam Majelis Syura dengan para Khalifah sebagai pemegang eksekutif-nya. Dan meskipun pemilihan umum harus dilaksanakan, maka mereka jugalah yang akan terpilih dan menerima persetujuan publik.31
Inilah kelompok orang yang menjalankan fungsi legislatif dan dikenal da-lam terminologi fiqih dengan sebutan ahl al- hall wa al-`aqd (lembaga penengah dan pemberi ketetapan), dan kelompok ini jugalah yang tanpa sarannya akan me-nyebabkan tidak dapat dilaksanakannya keputusan yang berkaitan dengan semua masalah penting. Lembaga ini memegang kedudukan yang sangat dipercaya dan diberi hak untuk mengambil keputusan-keputusan bersama mengenai semua masalah penting yang menyangkut umat. Lembaga ini jugalah yang bertindak sebagai ahl asy-syūrā yang diberi hak untuk memberi saran-saran kepada Khalifah mengenai masalah-masalah penting yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.32
Karena lembaga ini harus terdiri dari orang-orang yang dipercaya oleh rakyat, maka, setelah mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan masa sekarang, kita dapat mengambil semua cara-cara yang mungkin dan diperbolehkan untuk dapat menentukan dengan benar orang-orang yang paling besar mendapat kepercayaan masyarakat.33
Dalam lembaga ini haruslah tidak terdapat partai oposisi tertentu. Seluruh majelis adalah partai penguasa eksekutif sepanjang ia tetap berada di jalur yang benar. Tetapi segera setelah ia menyimpang, seluruh majelis secara otomatis berubah menjadi partai oposisi.34 Kita harus merombak sistem ketaatan pada partai tertentu yang dominan, yang menjadi perantara pendapat masyarakat hingga menjadi kriteria untuk menilai benar dan tidak benar. Ini akan memungkinkan salah satu kelompak yang terlalu memprioritaskan kepentingan golongan atau partai di atas kepentingan masyarakat akan menjadi berkuasa dan merajalela.35 Jika keadaan menjadi demikian, maka pembentukan partai-partai atau golongan-golongan dalam dewan legislatif harus dilarang oleh undang-undang. Namun ini bukan berarti negara tidak menyediakan tempat bagi timbulnya partai-partai. Berbagai partai negara boleh saja mengambil bagian dalam pemilihan sebagai partai-partai yang mengirimkan anggota-anggota terbaiknya bagi dewan-dewan legislatif. Tetapi segera setelah pemilihan usai, para anggota dewan harus sepenuhnya mentaati negara, undang-undang dasar dan harus memberi suara serta bertindak sesuai dengan kesadaran mereka masing-masing tanpa ada paksaan yang didasarkan pada kepentingan partai-partai tertentu yang bertentangan dengan kepentingan umat.36 Terlepasnya anggota majelis dari pengaruh kepentingan golongan dan keharusan mereka untuk taat pada undang-undang dasar inilah yang dimaksud al-Maududi dengan menganut partai penguasa eksekutif selama tidak terjadi penyelewengan oleh penguasa eksekutif itu sendiri. Di satu sisi adanya pengawasan terhadap partai yang hanya mengutamakan kepentingan yang menguntungkan golongan, dan di sisi lain pengawasan ketat terhadap penguasa eksekutif dalam bentuk penolakan dari seluruh anggota majelis atas penyelewengan eksekutif terhadap undang-undang dasar.37
Lembaga legislatif dalam suatu negara Islam memiliki beberapa fungsi yang harus dijalankannya. Pertama, bila terdapat pedoman yang jelas dalam al-Qur`an dan as-Sunnah maka lembaga harus menegakkannya dalam bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi dan rincian yang relevan, serta menetapkan peraturan-peraturan untuk mengundangkannya. Kedua, bila pedoman-pedoman al-Qur`an dan as-Sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi lebih dari satu, maka legislatif harus memutuskan interpretasi mana yang harus dituangkan dalam undang-undang dasar. Untuk tujuan ini maka lembaga legislatif haruslah beranggotakan orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menafsirkan printah-perintah al-Qur`an. Ketiga, bila tidak ada isyarat yang jelas dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, legislatif harus menetapkan hukumnya dengan tetap menjaga semangat hukum Islam atau dengan menganut hukum yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqih mengenai masalah tersebut dengan memilih salah satu diantaranya. Keempat, bila al-Qur`an dan as-Sunnah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun, begitu juga dalam konvensi khalifah yang empat, lembaga legislatif dapat merumuskan hukum tanpa batasan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan semangat syari`ah, berdasar prinsip bahwa apapun yang tidak dilarang oleh hukum maka berarti diperbolehkan.38


31 Al-Maududi, Islamic Law and Constitution, hlm. 236-238.

32 Ibid., hlm. 238-239.

33 Ibid., hlm. 240.

34 Ibid.

35 Ibid., hlm. 242.

36 Ibid., hlm. 323.

37 Kritik balik untuk Munawir Sjadzali yang menyimpulkan maksud adanya satu partai pemerintah dalam legislatif oleh al-Maududi hanyalah akan memperlemah majelis dalam menghadapi eksekutif. Lihat Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 177.
38 Al-Maududi, Islamic Law, hlm. 221-222.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar